Lakon DPR Dadi Ratu
Oleh: Mohamad Sobary
Ketika kekuasaan negara dibagi ke dalam trias politica, di
dalamnya tidak lagi ada keraguan bagi para pemimpin bangsa, bagi para
penyelenggara negara, bagi politisi maupun para intelektual dan ahli hukum,
terutama hukum tata negara, bahwa trias politica itu bukan hanya merupakan
solusi filosofis terhadap tingkah laku politik penguasa otoriter, melainkan
juga merupakan petunjuk teknis mengenai batas-batas kewenangan antara
legislatif, eksekutif, dan yudikatif .
Dalam rumusan lebih teknis lagi, siapa ”duduk” di mana,
”memikirkan” apa, dan ”mengerjakan” kewajiban kenegaraan macam apa, ibaratnya
seperti kitab suci bagi kaum beriman. Di sana tidak ada lagi pertanyaan karena
segala urusan sudah jelas dan tinggal perkara pelaksanaannya di dalam hidup
sehari-hari.
Dalam tingkat kesadaran filosofis seperti ini, tak perlu dikatakan
bahwa dunia sebenarnya telah mengubur kaum zalimin, raja-raja dan para penguasa
otoriter yang selamanya enggan berbagai kekuasaan dengan siapa pun, kecuali
dengan diri sendiri. Mereka dikutuk nenek moyang kita dengan kemarahan yang
bijak: raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah.
Kita tahu kutukan itu berlaku secara turun-temurun hingga hari
ini. Naluri dan kesadaran kerakyatan kita tajam. Perlawanan kita terhadap
orang-orang zalim juga kuat. Tiap saat mereka kita amati. Tak peduli bahwa
mereka berbaju rohaniwan atau berlagak demokratis.
Kita sudah paham sepaham-pahamnya bahwa tak mungkin ada kaum
otoriter yang bisa berubah mendadak menjadi orang suci seperti para santo dan
wali-wali. Tidak ada pesakitan yang tiba-tiba menjadi orang saleh. Tidak ada
dan tak mungkin ada keanehan seperti itu.
Hiruk-pikuk politik yang membikin nilai rupiah kita anjlok dan
”harga” bangsa kita di bidang kerakyatan seperti kembali ke zaman jahiliah,
yang diperlihatkan DPR kita sekarang, membuktikan itu. Oleh karena itu, tugas
politik kita menjaga, dengan saksama, agar mereka tak bisa leluasa berbuat
kerusakan lebih lanjut. Kita mengawal mereka terus-menerus.
Tiap saat gejala kejahatan itu terlihat, kita meneriakinya.
Mungkin persis seperti kita menjaga padi disawah menjelang panen: tiap saat
kita mengusir gerombolan ribuan burung yang merusak padi kita. Orang Jawa
memiliki mitologi yang menganggap kuburan Dasamuka di Gunung Somawana di
Kendal, Jawa Tengah. Di dekat gunung itu ada gunung lain lagi yang disebut
Gunung Kendalisada.
Di tempat ini Anoman bertapa sambil selalu siap siaga menjaga agar
roh Dasamuka tak bangkit lagi dan tak pernah lagi berbuat kerusakan di muka
bumi. Itu tugas ”politik” paling utama yang dipanggul Anoman. Kenyataannya, roh
penjahat itu sering tiba-tiba bangkit lagi dan merasuki manusia untuk berbuat
kerusakan.
Sering hal itu terjadi pada saat Anoman lengah. Seolah
kebangkitannya merupakan ejekan bahwa biarpun dunia tak boleh dirusak oleh
penjahat, kesempatan selalu muncul atau sengaja dimunculkan oleh penjahat itu.
Di luar mitologi Jawa, tetapi di dalam politik kita, sebenarnya para penjahat
ibaratnya otomatis sudah ”terkubur” begitu dunia menerima gagasan trias
politica .
Tapi sebenarnya kita tak pernah tahu di mana kuburan para penjahat
politik itu. Kita hanya diberi tahu sedikit rahasia alam: roh-roh jahat itu
setiap saat bangkit bukan di Gunung Somawana, melainkan di Senayan. Mereka
bersuara mengerikan seperti Dasamuka. Tapi bukan hanya itu. Suara Mak Lampir
pun terdengar. Begitu juga hawa panas dari Betari Durga.
Representasi simbolik Duryudana dan Sengkuni, yang kejahatannya
menggetarkan gunung-gunung dan menimbulkan gempa bumi dan aneka macam bencana
terus-menerus selama masa pemerintahan yang lalu, kelihatannya sekarang muncul
lagi di Senayan.
Inilah ironi sejarah yang paling getir. Orang-orang yang disuruh
menjaga tukang copet malah mencopet. Tugas pokok memelihara keseimbangan jagat
malah mengguncang-guncang jagat. Papan catur nasional, tempat seluruh rakyat
bermain untuk mengontrol agar pemerintah tidak lagi bisa berbuat seenak
sendiri, malah dikuasai secara mutlak, bukan untuk mewakili kepentingan rakyat,
melainkan untuk kepentingan mereka sendiri, orang per orang, partai per partai,
dan kepentingan persekongkolan Dasamuka, Mak Lampir, Duryudana, dan Sengkuni,
dibantu Durga.
Mereka rapat siang malam dibayar dengan uang negara dan
mengesankan bahwa mereka bekerja keras sampai kadang-kadang rapat ditunda, lalu
dilanjutkan lagi, seolah mereka itu pahlawan yang sedang berjuang. Kecuali
orang tua, anak-istri, dan suami atau partai mereka sendiri, siapa yang percaya
bahwa mereka sedang berbuat baik bagi seluruh bangsa? Para wakil rakyat itu tidak
mewakili rakyat.
Jika diamati baik-baik, di sana ada orangorang itu gigih membuat
citra seolah dirinya paling saleh di muka bumi. Ada pula yang suka
ngeden-ngeden dan minta dipercaya bahwa dia demokratis. Banyak pula yang
mewakili simbol demokrat atau mantan aktivis lembaga swadaya masyarakat, tetapi
tak kurang- kurangnya mereka yang masih tetap 100% Orde Baru yang terlatih
menipu.
Semua unsur itu tampil menjadi suatu kekuatan menakutkan. Mereka
bersorak-sorai untuk merampas hak-hak politik rakyat. Mereka yang mewakili
partai besar bebas berbuat menclamencle, plintat-plintut dalam sikap maupun
dalam omongan. Jarang yang bisa dipercaya. Di layar televisi, tampak
wajah-wajah yang tak jelas kiblatnya, tetapi mereka berbicara atas nama rakyat.
Mereka mengira rakyat masih sebodoh zaman Orde Baru.
Kelihatannya semua merasa kuat dan yakin, tak ada kekuatan lain
yang bisa mengalahkan mereka. Sebentar-sebentar mereka berteriak tentang
rakyat. Tapi tidak ada orang yang mau percaya bahwa mereka membela kepentingan
rakyat. Inilah tragedi politik yang terjadi di dalam lakon DPR dadi ratu. Ratu
atau raja bagi siapakah mereka? Bukan raja yang diakui rakyat. Mereka ratu,
raja, bagi ambisi dan keserakahan politik mereka sendiri. []
KORAN SINDO, 18 November 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga
Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar