KH Bisri Syansuri
Ulama Barisan Fiqih Indonesia
KH Bisri Syansuri
adalah salah seorang kiai pendiri NU yang dinilai menyelesaikan persoalan
melalui pendekatan fiqih murni. Pandangan ini terkadang sering bertolak
belakang dengan kiai pendiri NU yang lain, yaitu KH Abdul Wahab Hasbullah yang
ahli di bidang ilmu ushul fiqih. Meski demikian, keduanya menyandarkan pendapat
pada literatur keilmuan Islam yang luas, buah kaderisasi langsung dari
Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama pinilih lain.
KH Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) menyebutnya kakeknya itu sebagai kiai dalam barisan fiqih bersama
teman-temannya yang lain, di antaranya Abdul Manaf dari Kediri, As’ad Syamsul
Arifin dari Situbondo Ahmad Baidowi dari Banyumas, Abdul Karim dari Sedayu,
Nahrawi dari Malang, Maksum Ali dari Pesantren Maskumambang di Sedayu dan
lain-lain. Barisan peminat fiqih dan penganut hukum agama yang tangguh ini
menjadi kiai-kiai pesantren yang sekarang ini merupakan pusat pendalaman
ilmu-ilmu agama di pulau Jawa.
Menurut Gus Dur yang
mengutip perkataan Kiai Syukri Ghozali, mereka adalah generasi terbaik yang
langsung dididik oleh Kiai Haji Hasyim Asy'ari.
Kecenderungannya
terhadap fiqih Kiai Bisri ini akan kelihatan menonjol dalam kehidupannya baik
sebagai seorang kiai maupun ketika ia memimpin Nahdlatul Ulama.
Proses Belajar
Kiai Bisri dilahirkan
di pada hari Rabu tanggal 28 Dzulhijjah tahun 1304 H atau 18 September 1886 di
Tayu, Pati. Semasa kecil, Bisri belajar pada KH Abd Salam, seorang ahli dan
hafal Al-Qur’an dan juga ahli dalam bidang fiqih. Atas bimbingannya ia belajar
ilmu nahwu, saraf, fiqih, tasawuf, tafsir, hadits. Gurunya itu dikenal sebagai
tokoh yang disiplin dalam menjalankan aturan-aturan agama. Watak ini menjadi
salah satu kepribadian Bisri yang melekat di kemudian hari.
Sekitar usia 15 tahun,
tiap bulan Ramadhan, Bisri mulai belajar ilmu agama di luar tanah kelahirannya,
pada kedua tokoh agama yang terkenal pada waktu itu yaitu KH Kholil Kasingan
Rembang dan KH Syu’aib Sarang Lasem.
Kemudian ia
melanjutkan berguru kepada Syaikhona Kholil Bangkalan. Di pesantren inilah ia
kemudian bertemu dengan Abdul Wahab Hasbullah, seorang yang kemudian menjadi
kawan dekatnya hingga akhir hayat di samping sebagai kakak iparnya.
Lalu Bisri berguru
kepada Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng. Di pesantren itu, ia
belajar selama 6 tahun. Ia memperoleh ijazah dari gurunya untuk mengajarkan
kitab-kitab agama yang terkenal dalam literatur lama mulai dari kitab fiqih
Al-Zubad hingga ke kitab-kitab hadits seperti Bukhari dan Muslim.
Gus Dur menilai literatur
keagamaan yang dikuasai Kiai Bisri terasa terlalu bersifat sepihak karena lebih
ditekankan pada literatur fiqih yang lama, tapi penguasaan itu memiliki
intensitas luar biasa sehingga secara keseluruhan membentuk sebuah kebulatan
yang matang dalam kepribadiannya dan pandangan hidupnya.
Pada tahun 1912
sampai 1913 Kiai Bisri Syansuri berangkat melanjutkan pendidikan ke Mekah
bersama Abdul Wahab Hasbullah. Di kota suci itu, mereka belajar kepada
Syekh Muhammad Bakir Syekh Muhammad Said Yamani Syekh Ibrahim Madani, dan Syekh
Al-Maliki. Juga kepada guru-guru Kiai Haji Hasyim Asy'ari, yaitu Kiai Haji
Ahmad Khatib Padang dan Syekh Mahfudz Tremas.
Mendirikan Pesantren
Perempuan
Sepulang dari Mekkah,
Kiai Bisri mendirikan pesantren di Denanyar, Jombang. Pada tahun 1919 KH Bisri
Syansuri membuat percobaan yang sangat menarik yaitu dengan mendirikan kelas
untuk santri perempuan di pesantrennya. Para santri putri itu adalah anak
tetangga sekitar yang diajar di beranda belakang rumahnya.
Menurut Gus Dur, langkah
Kiai Bisri tersebut terbilang aneh di mata ulama pesantren, namun itu tidak
luput dari pengamatan gurunya yaitu Kiai Hasyim Asy'ari yang datang di kemudian
hari melihat langsung perkembangan kelas perempuan tersebut.
Meskipun tidak
mendapatkan izin khusus dari Kiai Hasyim, Kiai Bisri tetap melanjutkan kelas
perempuan tersebut karena sang guru juga tidak memberikan larangan. Bagi Gus
Dur, ini adalah hal yang menarik. Sebab, ketika sahabat-sahabat karibnya saat
di Mekkah mendirikan cabang Sarekat Islam, Kiai Bisri tidak ikut karena dia
menunggu izin dari Kiai Haji Hasyim Asy’ari. Namun ketika mendirikan kelas
khusus perempuan dia tidak menunggu mendapatkannya.
Bagi Gus Dur ini
adalah sebuah proses pematangan dalam fiqih Kiai Bisri yang di kemudian hari akan
kelihatan, yang akan memantapkannya mengambil keputusan sendiri berdasarkan
pemahaman fiqihnya juga tanpa harus kehilangan hormat kepada guru.
Memimpin NU dan
Melawan RUU Perkawinan Orde Baru
Setelah Kiai Abdul
Wahab Hasbullah wafat, Rais Aam NU berada di pundak KH Bisri Syansuri pada
tahun 1972, era mulai menguatnya pemerintahan Orde Baru. Tantangan besar yang
pertama adalah munculnya sebuah Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang secara
keseluruhan berwatak begitu jauh dari ketentuan-ketentuan hukum agama, sehingga
tidak ada alternatif lain kecuali menolaknya. Sangat menarik untuk diikuti
bahwa proses perundingan dalam upaya menyetujui RUU tersebut agar menjadi
Undang-Undang (UU) berlangsung sangat alot dan ketat.
Sebagian besar
peserta yang terlibat dalam proses perundingan tersebut berasal dari NU yang
berhadapan dengan unsur dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Hal
ini menunjukkan, begitu besarnya pengaruh para ulama di dalam dan di luar PPP
pada saat itu.
“Para jenderal yang
saat itu memiliki nama dan wewenang yang cukup besar, seperti Soemitro,
Daryatmo dan Soedomo harus berhadapan dengan Kiai Bisri yang terkenal tidak
mengenal kompromi dan penganut penerapan Masa Perjuangan dan Perpolitikan KH. Bisri
Syansuri fiqih secara ketat,” demikian tulis H. Abd. Aziz Masyhuri, dalam
bukunya Al-Magfurlah KH. Bisri Syansuri, Cita-cita dan Pengabdiannya.
Kemudian, Kiai Bisri
bersama kiai-kiai NU lain membuat RUU tandingan, di dalam buku KH Abdus Salam
menjelaskan RUU itu dengan mengutip Andrée Feillard, dalam bukunya “Nu
Vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna.
Isi RUU Alternatif
rancangan para ulama yang dimotori KH Bisri Syansuri, yang meliputi pertama,
Perkawinan bagi orang muslim harus dilakukan secara keagamaan dan tidak secara
sipil (pasal 2: NU berhasil memenangkan pendapatnya);
Kedua, masa ‘iddah,
saat istri mendapatkan nafkah setelah diceraikan harus diperpendek. Pemerintah
mengusulkan satu tahun, sedangkan NU minta tiga bulan karena menuntut seorang
dari Muslimat, suami berhak rujuk kembali kepada istri selama masa ‘iddah itu.
Tidak ada perkecualian diberlakukan bagi wanita usia lanjut.
Ketiga, pernikahan
setelah kehamilan di luar nikah tidak diizinkan. NU cukup berhasil dalam arti
definisi anak yang sah adalah yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan.
Keempat, pertunangan
dilarang karena “dapat mendorong ke arah perzinahan. NU berhasil, pasal 13 ini
dihapus.
Kelima, Anak angkat
tidak memiliki hak yang sama dengan anak kandung. Dalam hal ini NU berhasil;
pasal 42 mengatakan bahwa anak yang sah adalah yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan.
Keenam, penghapusan
sebuah pasal dari rancangan undang-undang yang diajukan yang menyatakan bahwa
perbedaan agama bukan halangan bagi perkawinan. Pasal 11 ini dihilangkan dan
tidak disinggung.
Ketujuh, batas usia
yang diperkenankan untuk menikah ditetapkan adalah 16 tahun, bukan 18 tahun
bagi wanita 19 tahun bagi pria dan bukan 21 tahun. Pada pasal 7 ini, NU
berhasil.
Kedelapan,
penghapusan pasal mengenai pembagian rata harta bersama antara wanita dan pria
karena dalam Islam “hasil usaha masing-masing suami atau istri secara
sendiri-sendiri menjadi milik masing-masing yang mengusahakannya”. Pada pasal
ini, NU berhasil.
Kesembilan, NU
menolak larangan perkawinan antara dua orang yang memiliki hubungan sebagai
anak angkat dan orang tua angkat atau anak-anak dari orang tua angkat. Pasal
ini disempurnakan menjadi hubungan sebagai anak angkat tidak dilarang, tetapi
disinggung pula soal hubungan persusuan.
Kesepuluh, NU menolak
larangan melangsungkan perkawinan lagi antara suami-istri yang telah bercerai.
Dalam pasal 10 ini, NU berhasil.
Perlawanan NU dalam
RUU Perkawinan di awal Orde Baru tersebut tidak terlepas dari Kiai Bisri
Syansuri ahli fiqih yang telah matang, bersama kiai-kiai NU lain. []
(Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar