Senin, 28 Januari 2019

(Hikmah of the Day) Sikap Tawadhu' Mbah Kiai Umar Abdul Mannan


Sikap Tawadhu' Mbah Kiai Umar Abdul Mannan

Mbah Kiai Umar Abdul Mannan (wafat 1980), pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta, dikenal luas sebagai seorang kiai yang sangat tawadhu’. Hal ini tidak lepas dari cara Mbah Umar memperhatikan kitab Ta’limul Muta’allim secara kritis, yakni bukan tentang hak-haknya sebagai guru melainkan tentang kewajiban-kewajibannya. Selain Ta'limul Muta'allim, kitab lain yang juga menjadi rujukan Mbah Umar dalam bertawadhu' (berendah hati) adalah kitab al-Barzanji.

Sebagai contoh, Mbah Umar sebagai guru tidak pernah berpikir bagaimana dibayari santri sebab itu sama saja dengan tamak dalam hal duniawi. Bahwa seorang thalibul ‘ilmi atau santri, diibaratkan seperti budak dalam hubungannya dengan guru seperti yang diungkapkan Sayyidina Ali karramallahu wajhah, Mbah Umar sebagai guru tidak menggunakan hal itu untuk memperlancar tercapainya kepentingan duniawi beliau.

Hal itu juga merupakan refleksi dari sikap tawadhu’ dan keikhlasan beliau dalam mendidik para santri. Mbah Umar adalah orang yang jujur dan tulus karena beliau memang seorang sufi yang secara istiqamah memilih hidup zuhud. Beliau tidak silau terhadap gemerlapnya dunia. Maka bisa dimengerti apa yang disebut ndalem Mbah Umar hanyalah sebuah rumah yang sangat sederhana.

Oleh karena Mbah Umar memelihara sikap tawadhu’, maka santri-santri tetap beliau hargai dengan tidak merendahkan apalagi menghina mereka. Mbah Umar tetap menjunjung kesantunan kepada para santri. Mbah Umar tidak pernah memberikan sesuatu kepada santri dengan menggunakan tangan kiri atau dengan cara melemparkannya.

Sikap tawadhu’ Mbah Umar tersebut sebenarnya tidak hanya merupakan cerminan dari praktik tawadhu’ seperti yang dimaksudkan dalam kitab Ta’limul Muta’allim tetapi juga dalam kitab al-Barzanji yang ditulis Sayyid Ja'far bin Hasan bin Abdul Karim.

Dalam kitab Al Barzanji dijelaskan Nabi Muhammad adalah seorang pribadi yang sangat tawadhu’. Wakâna shallallâhu ‘alaihi wa sallama syadîdal hayâ’ wat-tawâdhu’i. Wujud nyata dari tawadhu’ beliau antara lain mencintai fakir miskin dan mau bergaul bersama mereka.

Bentuk tawadhu’ seperti yang dicontohkan Rasulullah tersebut diikuti oleh Mbah Umar dengan baik. Buktinya Mbah Umar banyak berhubungan dengan wong-wong cilik yang kalau dilihat dari segi nasab biasa-biasa saja. Kepada mereka Mbah Umar seringkali berbicara dalam bahasa krama hinggil, seperti kepada tukang becak, tukang bangunan, tukang pos, para santri yang belum cukup beliau kenal, dan sebagainya. Semua itu merupakan bukti bahwa Mbah Umar memang orang yang sangat tawadhu’.

Terhadap orang-orang yang Mbah Umar meyakininya lebih tinggi karena lebih sepuh, misalnya, beliau senantiasa memberikan penghormatan yang disebut ta'dzim. Hal ini antara lain dapat dilihat contohnya ketika Mbah Kiai Umar menerima tamu sahabat beliau Mbah Kiai Ali Maksum dari Krapyak Bantul Yogyakarta. Mbah Umar mencium tangan Mbah Kiai Ali Maksum (Rais 'Aam PBNU 1980-1984) seperti dapat dilihat pada gambar.

Dengan mengacu pada apa yang dipraktikkan Mbah Kiai Umar, kita dapat menyimpulkan antara lain bahwa orang tawadhu' adalah orang yang senantiasa menahan diri untuk tidak merasa lebih tinggi dari pada orang lain yang secara sosiologis sebenarnya berada di bawahnya, sedangkan terhadap orang lain yang diyakininya lebih tinggi, orang tersebut senantiasa melakukan ta’dzim, yakni bersikap memuliakan dengan memberikan penghormatan yang tulus. []

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar