Menatap Langkah NU di
Abad Kedua
Judul
Buku : Peta Jalan NU Abad Kedua
Penulis
: Ahmad
Bagdja dkk
Editor
: Abdul Aziz
Tebal
buku : 194 halaman
Penerbit
: Yayasan Talibuana Nusantara
Tahun
Terbit : Mei 2018
Dilaunching
: 7 gustus 2018
Peresensi
: Didik Suyuthi
Genap 8 tahun lagi,
atau tepatnya pada 2026, Nahdlatul Ulama akan berusia satu abad. Sebuah usia
yang lebih dari cukup untuk disebut matang. Tetapi bukan satu abad itu yang
perlu disongsong. Yang perlu disiapkan adalah bagaimana mewarnai perjalanan
abad berikutnya. NU di abad kedua.
Melihat judulnya
saja, Peta Jalan NU Abad Kedua, buku ini dari awal sudah berupaya meluruskan
cara pandang dalam meneropong dimensi waktu. Dalam dua-tiga tahun terakhir,
bahkan sejak Muktamar ke-33 NU di Jombang, semangat menyongsong satu abad NU
telah didengungkan.
Buku ini
mengingatkan, disongsong atau tidak, satu abad NU pasti datang. Jadi bukan
menyongsong miladnya yang selalu seremonial itu. Yang lebih penting adalah
bagaimana perkhidmatan NU di abad digital nanti terorganisasi lebih sistemik
lagi.
Buku setebal 194
halaman ini merupakan ringkasan hasil diskusi panjang tokoh-tokoh NU generasi
kedua. Yakni mereka yang telah mengikuti perjalanan jamiyah ini sejak 40 atau
50-an tahun yang lalu. Yang hingga saat ini masih konsisten menjaga nafas
perkhidmatan NU. Mereka antara lain Ahmad Bagdja, Mustofa Zuhad, Maskuri
Abdillah, Masduki Baidlowi, Endin Soefihara, Nasihin Hasan, dan yang lain.
Beberapa gagasan dan
elaborasi penting disajikan antara lain; terkait upaya pengembangan organisasi
dan reorganisasi yang berorientasi tidak lagi pada pendekatan geografi
melainkan pendekatan komunitas.
Struktur organisasi
NU saat ini secara hierarkis-demorafis mengikuti pola pemerintahan negara.
Secara pararel dapat dilihat, NU berkantor pusat di Jakarta. Membawahi seluruh
wilayah di Indonesia. Pengurus wilayahnya berkantor pusat di ibukota provinsi,
dan seterusnya ke bawah.
Pertanyaannya, apakah
NU akan berkhidmat dalam kerangka sistemik yang sama persis dengan pemerintah?
Dengan mengikuti model hierarki pemerintahan yang rentang kendalinya sangat
panjang ini, sementara SDM dan pendanaan yang dimiliki relatif terbatas. Dengan
pola hierarki ini, efektifkah NU selama ini menjalankan tugas pokok dan
fungsinya?
Di sinilah
reorganisasi NU dibutuhkan. Pengembangan struktur menurut buku futuristik ini,
ke depan perlu mempertimbangkan dinamika stakeholders yang semakin
terdiferensiasi seiring perkembangan zaman. Contoh, dinamika masyarakat urban
yang tumbuh di perkotaan sudah mengalami diferensiasi yang semakin rumit. Ada
masyarakat industri perkotaan seperti kalangan perbankan, kalangan industri
kreatif dan jasa, yang pertumbuhannya sangat pesat.
Ini semua sangat
memerlukan pendekatan khusus. Dalam arti pengorganisasian tidak cukup hanya
dengan pendekatan geografi. Tetapi perlu juga mempertimbangkan pengembangan
struktur organisasi di komunitas-komunitas baru sesuai dengan perkembangan
masyarakat urban, yang sangat dinamis, yang tak bisa dijangkau oleh eksistensi
struktur organisasi yang terlalu administratif seperti pemerintahan
negara.
Terawangan penting
lainnya, ke depan NU harus berjejaring dan berinteraksi dengan komponen
potensial yang lebih luas lagi, baik di tingkat domestik maupun internasional.
Selama lima belas tahun terakhir tidak dapat dipungkiri terjadi interaksi yang
semakin meningkat antarorganisasi dari berbagai jenis dan bidang. Berbagai
perkumpulan, yayasan, jaringan kerja, perhimpunan, lembaga bantuan, kelompok
hobi, bahkan instansi dan perusahaan swasta telah memperluas jangkauan kegiatan
mereka ke bidang yang selama ini hanya menjadi trade mark kegiatan klasik
organisasi nirlaba.
Dalam perkembangan
situasi ini, akan muncul berbagai lembaga, instansi pemerintah maupun swasta
yang bakal mengincar kompetensi, expertise dan waktu pengurus NU yang sangat
berharga. NU tidak mungkin mengelak dan harus berjejaring dan bekerjasama dengan
pihak tersebut. Sebab jika tidak, NU akan merasakan kesulitan menghadapi ragam
persoalan kemasyarakatan secara sendirian di zaman yang semakin
multidimensional itu.
Jadi pilihannya, NU
harus aktif masuk ke wilayah sistem yang lebih besar, baik di tingkat
kabupaten/kota, provinsi, nasional, maupun internasional. Ketidaksiapan masuk
ke wilayah sistem yang lebih besar ini akan membawa NU hanya pada saling
ketergantungan dalam berbagai dimensi. Kekurangan di daerah dilimpahkan ke
pusat, kelemahan di pusat dilemparkan ke daerah, dan seterusnya. Inilah situasi
yang amat sangat tidak boleh terjadi. Situasi yang menempatkan NU menjadi
bagian dari suatu kesatuan sistem, dimana NU akhirnya hanya menjadi sub-sistem.
[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar