Islamisitas: Parameter Ekonomi
Oleh: Azyumardi Azra
Kegagalan atau sedikitnya ketidaktepatan dalam mengukur berbagai
hal yang berhubungan dengan apa yang disebut Rehman dan Askari (2010) sebagai
‘Islamic’ (Islami) yang dapat menggambarkan tingkat ‘Islamisitas’ berkaitan
arah penelitian yang mereka lakukan. Pada kenyataannya, kedua peneliti ini
awalnya hanya berusaha mengungkapkan dampak atau pengaruh agama dan
religiositas terhadap kehidupan ekonomi, pembangunan ekonomi, keuangan,
politik, dan pandangan sosial warga apa pun agamanya di negara-negara tertentu
dengan mempertimbangkan demografi keagamaan.
Karena itu, tujuan penelitian tentang tingkat Islamisitas menurut
Rehman dan Askari adalah dua: Pertama, "untuk menguji apa yang kami
pandang sebagai ajaran-ajaran penting Islam yang mesti membentuk
kebijakan-kebijakan sebuah negara yang dilabeli sebagai ‘Islamic”.
Kedua, “untuk mengukur tingkat kepenganutan kepada ajaran dan
doktrin agama di negara-negara yang kami label sebagai Islami, dengan
mengembangkan indeks yang mengukur tingkat ‘Islamisitas’ negara-negara
berdasarkan ajaran Islam”.
Meski demikian, secara kontradiktif keduanya tidak menguji tingkat
Islamisitas hanya pada negara-negara Islam atau bermayoritas penduduk Muslim,
tetapi juga mencakup negara mayoritas non-Muslim tempat kaum Muslim hanya
menjadi kelompok minoritas. Hal pokok yang dilihat bukan keimanan dan
pengamalan Islam as such,
melainkan sejauh mana negara tertentu kondusif dalam prinsip-prinsip Islam.
Penting ditekankan, dalam mengukur Islamisitas ekonomi perlu
dilihat empat hal: Pertama, pasar bebas dan kinerja ekonomi yang kuat; kedua, good government governance
dan rule of law;
ketiga, aktualisasi kesetaraan dan HAM secara mapan; dan keempat, hubungan baik
dengan negara-negara lain dan kontribusi kepada masyarakat internasional.
Dilihat dari keempat perspektif ini, bisa segera dibayangkan jika
negara Islam atau mayoritas Muslim umumnya lemah dalam keempat hal tersebut.
Dan sebaliknya, negara-negara mayoritas non-Muslim memiliki skor tertinggi dan
tinggi. Tidak ada penjelasan substantif lain yang diberikan Rehman dan Askari
tentang distorsi dan inakurasi yang mereka buat.
Kenyataan bahwa umumnya negara-negara Islam atau mayoritas Muslim
‘terpuruk’ dalam hal apa yang disebut Rehman dan Askari sebagai tingkat
‘Islamisitas’, hemat saya berakar pada dan terkait dengan banyak faktor yang
sama sekali tidak disinggung keduanya. Faktor-faktor ini semestinya
dipertimbangkan dalam menentukan Islamisitas negara-negara Islam dan
berpenduduk mayoritas Muslim.
Dalam pandangan saya, sejauh menyangkut keempat faktor tadi,
sedikitnya terdapat empat faktor yang membuat negara-negara Islam dan mayoritas
Muslim gagal mencapai skor yang tinggi.
Pertama, faktor sejarah, yaitu banyak kawasan Dunia Muslim
mengalami penjajahan Eropa dalam waktu relatif lama yang mengakibatkan
terjadinya retardasi dalam kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan
pendidikan masyarakat Muslim. Akibatnya, meski kemudian negara-negara Islam dan
mayoritas Muslim mencapai kemerdekaan pasca-Perang Dunia II, mereka umumnya
hingga sekarang tetap berada dalam retardasi dan keterbelakangan.
Kedua, faktor struktural, terkait dengan penjajahan Eropa, yang
mengakibatkan terciptanya ketimpangan, disparitas, dan gap dalam berbagai
bidang kehidupan tadi. Ketika banyak kawasan Dunia Muslim mencapai kemerdekaan
seusai Perang Dunia II, ketimpangan-ketimpangan struktural itu karena berbagai
faktor juga terus bertahan sampai sekarang.
Ketiga, faktor politik bahwa sampai sekarang ini, banyak negara
Islam dan mayoritas Muslim masih menganut otoritarianisme dan totalitarianisme.
Sebagian lain memang sudah menjadi demokrasi atau tengah dalam transisi menuju
demokrasi. Tetapi juga, segera jelas, kelompok negara-negara terakhir ini yang
masih jauh dari stabil itu mampu memperbaiki keadaan ekonomi, sosial, budaya,
dan pendidikan.
Keempat, lemahnya penegakan hukum. Terkait dengan faktor ketiga di
atas, banyak negara Islam dan mayoritas Muslim bukan hanya belum mampu
menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, melainkan juga sangat lemah
atau tidak berdaya sama sekali menegakkan hukum dan ketertiban.
Tak kurang penting, beberapa negara Islam semacam Yaman,
Afghanistan, Irak, Suriah, atau Somalia sudah dapat dikatakan merupakan negara
gagal karena tidak mampu menegakkan hukum, menciptakan ketertiban, dan
melindungi warga dari beragam bentuk tindak kekerasan di antara berbagai
kelompok warganya sendiri. []
REPUBLIKA, 24 Januari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar