Selasa, 05 Juni 2018

(Tokoh of the Day) KH. Achmad Shaleh Binaspa, Gresik - Jawa Timur


KH Achmad Shaleh Binaspa, Potret Keteladanan Ulama Lokal


Seperti kampung Bawean, Gresik, Jawa Timur lainnya, Burne-Binaspa pada masa awal abad 20 tradisi mistik masih sangat kental dan kuat, sementara kesadaran keagamaan masih rendah. Kejadian-kejadian di masyarakat kerap dilihat dari sudut pandang mistik dari pada sudung pandang ilmu pengetahuan dan agama. Sementara kegiatan keagamaan yang hidup pun lebih banyak diikuti karena alasan trasidi dan peninggalan nenek moyang dari pada mengerti alasan dan dalil syar’inya.

Hal ini bisa dipahami sebab orang yang mumpuni dalam bidang agama masih sangat minim.Hanya satu dua orang yang terdidik dan cukup menguasai ilmu agama. Minimnya lembaga agama dan pendidikan di Binaspa berjalan cukup lama hingga seperempat awal abad 20 yakni sekitar tahun 60-70an. Termasuk minimnya orang yang menuntut ilmu agama (tafaqquh fiddin) ke luar daerah seperti ke Jawa juga masih sangat minin-untuk mengatakan tidak ada. 

Dalam situasi dan kondisi daerah yang minim orang terdidik, apa lagi di daerah pedalaman seperti Binaspa maka dirasa wajar jika hanya segilintir orang saja yang paham ilmu agama. Sebab kala itu, masyarakat lebih berfokus pada penghidupan dari pada pendidikan. 

Masyarakat lebih konsentrasi pada urusan pencaharian dan keletarian mata pencaharian dari pada urusan agama dan dakwah. Di antara segelintir orang tersebut adalah KH Achmad Sholeh, kiai yang cukup disegani dan berpengaruh di daerah Binaspa. Beliau adalah salah satu menantu dari Kiai Badri, termasuk seorang tokoh syiar Islam di Binaspa yang cukup berhasil.

Membincang Kiai Sholeh, masih cukup relevan mengingat jasa dan keteladan beliau yang sangat kuat di kawasan Binaspa dan sekitarnya. Keteladan beliau masih sangat relevan untuk diterapkan oleh generasi saat ini sebagai bekal hidup dan berdakwah.Kiai Soleh, demikian namanya popular, dilahirkan di Sumber Torak, Sidogedungbatu, Sangkapura pada tahun 40an, wafat pada 2009 lalu.

Makam beliau ada dipemakaman umum Panyalpangan, sebelah utara Burne. Kiai Sholeh adalah salah satu putera dari pasangan Siti Num dengan Mis’ab Sumber Torak. Mis’ab adalah salah satu tokoh masyarakat Sumber Torak yang juga mendidik santri di kampungnya.Mushalla peninggalannya masih ada sampai sekarang.

Kiai Mis’ab, orang tua Kiai Soleh, adalah teman dekat Kiai Hamid Pancor, tokoh yang cukup berpengaruh di Bawean. Sama dengan Kiai Badri, yang diceritakan sebelunya, juga teman akrab Kiai Hamid. Yang mana kelak Kiai Badri menjadi mertua Kiai Sholeh atas permintaan Kiai Hamid.

Orang tua dan mertua Kiai Sholeh sebenarnya sama-sama jaringan Kiai Hamid Pancor. Saking dekatnya, saat pernikahannya, Kiai Sholeh diantar dari dalem Kiai Hamid. Hal ini pertanda betapa Kiai Hamid dengan Kiai Mis’ab dan kiai Badri cukup dekat baik secara emosional maupun kultural.

Konon, sebelum Kiai Badri mengawinkan Aisyah (istri Kiai Sholeh), sempat bingung mencarikan calon suami buat anaknya yang satu itu, yang cukup dibanggakan karena akhlak dan ibadahnya yang baik dan tekun, perempuan yang langka pada masanya. Akhirnya suatu saat dipersuntingkan dengan santrinya sendiri yaitu Kiai Sholeh dengan anjuran Kiai Hamid. 

Sebelum dikawinkan, Kiai Hamid Pancor sempat melihat (menengok) calon istri Sholeh. Menurut cerita, saat Kiai Hamid melihat Aisyah, bilau mengatakan “begus-begus, shalehah, cocok-cocok”... artinya bagus, cocok dijadikan istri Sholeh, insyaallah barokah, sakinah mawaddah warahmah. Perkataan beliau tersebut pertanda setuju dan mengiyakan dilanjutknnya pernikahan. Persetujuan Kiai Hamid, yang katanya orang Bawean adalah wali Allah, adalah nilai plus tersendiri bagi Kiai Sholeh.

Saat pernikahan digelar, sebagaimana tradisi Bawean yang berlaku, si mempelai putera diantarkan ke rumah mempelai perempuan. Saking dekatnya antara Kiai Hamid dengan Kiyai Shaleh yang dinggap santrinya sendiri, beliau (Kiai Hamid) sendirilah yang mengiringinya dan bahkan membawa payung untuk mempelai putera (Kiai sholeh) menuju rumah mempelai puteri di kampung Burne.

Bahkan pemberangkatannya mempelai putera bukan dari Sumber Torak (rumah Sholeh), tapi dari Pancor, dalem Kiai Hamid. Sebuah kebanggan tersendiri buat Sholeh, sebab tidak semua santri yang dapat pelayanan  demikian dari Kiai Hamid, kiai yang terkenal karamoh dan keberaniannya.

Menurut penuturan Basori Alwi, putera Kiai Sholeh, saat mempelai putera (Sholeh) sampai di Burne bersama Kiai Hamid, tiba-tiba Kiai Hamid menepuk-nepukkan tangggannya ke tanah Burne sambil mengatakan “Sholeh….!!! Tempat kamu di sini, kamu cocok tinggal di sini, kamu tidak akan meninggal dunia sebelum kamu naik haji ke baituulah.” 

Setelah berselang beberapa tahun kemuida, apa yang dikatakan Kiai Hamid menjadi kenyataan, Burne dibawah bimbingan Kiai Sholeh makin maju dan baik utamanya dari segi pendidikan dan keagamaan. Dan fakta berikutnya, beliau baru meninggal dunia seteleh melaksanakan ibdah haji.

Kiai sholeh sendiri sadar dan pernah mengatakan saat akhir hayatnya, setelah beliau datang dari Mekkah, mengatakan bahwa dirinya sudah tidak lama lagi akan dipanggil kehadirat ilahi. Sambil mengingat dawu Kiai Hamid yang dahulu kala pernah mengatakan bahwa dirinya tidak akan meninggal dunia sebelum menunaikan ibadah haji. Setelah menunaikan haji, bagi Kiai Sholeh kematian sudah dekat.

Sekalipun bukan santri langsung yang ngaji ke Kiai Hamid, Kiai Sholeh termasuk orang kesayangan Kiai Hamid.Tidak heran jika beliau terus dikawal oleh Kiai Hamid sampai ke jenjeng pernikahan. Sebagaimana adat yang sudah berlangsung lama di Bawean, saat diselenggarakan selamatan/walimah ursy, ada panitia yang membawa kotak untuk menarik sumbangan berupa uang seikhlasnya dari para undangan.

Saat panitia menyuguhkan kotak sumbangan, undangan tidak banyak yang memberi uang/ mengisi kotak terebut. Hanya satu dua orang yang tampak memberinya. Namun pada saat itu, Kiai Hamid, langsung mengepakkan dan menjulurkan sorbannya ke para undangan, tiba-tiba dan seakan otomatis, para undangan langsung memberi sumbangan. Konon, menurut kesaksian undangan, hampir semua undangan memberikan sumbangan.Hal tersebut merupakan salah satu kekaramahan Kiai Hamid menurut penuturan masyarakat.

Lebih lanjut, dengan pernikahannya bersama Aisyah, Kiai Sholeh dikaruniai tiga putera yaitu Bashori Alwi, Maliha dan Sulaikha.Sejak pernikahannya bersama Aisyah, Kiai Sholeh tinggal di kampung Burne hingga akhir hanyatnya.Beliau dengan sabar dan istikamah mendidik dan membina santri dan siswa di madrasah dan langgar dari berbagai daerah.

Siang mengajar di lembaga, dan malamnya mengajar santri di Langgar. Di Burne, dis sela-sela kesibukannya bertani dan beternak, seperti kegiatan masyarakat yang lain, Kiai Sholeh tetap setia mendampingi santrinya siang dan malam mengajarkan ilmu agama.

Sholeh muda,sama seperti anak-anak lainnya suka bergaul dan bermain layakknya orang Bawean yang lain. Menurut cerita beliau tidak terlalu cerdas, namun beliau tekun dan tabah dalam belajar sehingga walaupun tidak cerdas secara kognitif akhirnya beliau menjadi orang alim.

Sebelum melanjutkan pendidikannya ke Jawa, Sholeh nagji/nyantri ke Kiai Badri, yang kelak menjadi mertuanya sendiri. Kepada Kiai Badri beliau belajar al-Quran,  ilmu fiqh dan ilmu agama lainnya. Selepas belajar dari kiyai Badri Burne, Sholeh muda kemudian melanjutkan beajarnya ke Kiai Hatmin Laccar, desa Kebuntelukdalam, Kiai yang terkenal alim dan taadlu’.

Di Laccar, Sholeh punya kesempatan medalami Quran dan ilmu agama lebih mendalam. Sebab di sanaSholeh tidak hanya ngaji malam hari seperti halnya di Burne, tapi mondok, menetap di asrama pondok, pulang kampung setelah libur pondok. Oleh karenanya Sholeh bisa lebih focus belajar ke Kiai Hatmin, yang kolega Kiai Umar, Kiai Usman dan Kiai Hamid Pancor. Namun Kiai Hatmin tidak dikauniai putera.Sehingga setelah beliah wafat tidak ada generasi yang melanjutkan pondokya di Laccar.

Setelah beberapa tahun modok di Laccar, Sholeh kemudian merantau ke Sengkep, Kepulauan Riau, daerah kawasan Pulau Tanjung Pinang. Di sana beliau bekerja layaknya orang Bawean yang lain. Sengkep termasuk salah satu tujuan orang Bawean mencari nafkah, selain ke Singapura dan Malaysia. Namun tidak lama kemudian setelah dari Sengkep, Sholeh kemudian melanjutkan belajarnya ke Jawa, yaitu Wonorejo, Luamajang Jawa Timur.

Di sana Sholeh belajar ke Kiai Syarifuddin, kayai yang terkenal alim dan melahirkan banyak kiai baik di Jaa maupun di Bawean. Kebanyakan orang Bawean yang mondok di sana, setelah pulang ke masyarakat menjadi tokoh masyarakat, seperti Kiai Muhammad Yusuf Telukdalam yang kemudian mendirikan pondok Lao’an, Kiai Suyuthi Guntung, dan lain-lain. Saat ini pondok Wonorejo di berinama sesuai nama pendirinya yaitu Pesantren Kiai Syarifuddin, untuk mengabadikan nama Kiai Syarifuddin sebagai perintis dan pendiri pesantren. Saat ini pondok tersebut diasuh oleh puteranya yang bernama KH Adnan.

Mengabdi kepada Masyarakat
Selepas dari Lumajang, Kiai Sholeh akhirnya mengabdikan dirinya di masyarakat, khususnya di Burne-Bisanpa bersama istrinya Aisyah sebagaimana diceriatakan sebelumnya untuk menyebarkan syiar agama Islam sebagaimana para pendahulunya. Awal mula Kiai Sholeh tinggal di Burne, Burne tidak seramai saat ini. Hanya ada satu dua rumah di sana, begitu pula dengan santri yang ngaji.

Jumlahnya tidak sebanyak waktu beliau menjadi pengasuh.Santri yang mengaji ke beliau diperkirakan mencapai 60-sampai 100an. Jumlah yang cukup banyak untuk kalangan pedalaman, pegunungan, termasuk kawasan Bawean secara umum.Sebab kiyai-kiyai kampung yang ngajar ngaji paling tidak santrinya hanya berkisar tidak lebih dari 30 kala itu.

Bahkan saat kepemimpinan beliau di Burne, Kiai Sholeh sempat mendirikan pondok pesantren karena banyaknya wali santri yang meminta beliau untuk memondokkan anaknya, tidak hanya ngaji mosengan (malam hari) saja tapi juga mondok (full day).Di tengah kesibukannya sebagai kiyai yang tugas kesehariannya sebagai guru dan pengayom masyarakat, beliau juga selalu menyempatkan diri mengahadiri undangan masyarakat dan mengisi pengajian di berbagai tempat.

Mulai dari undangan hari besar Islam seperti Isra’ mi’raj, maulid nabi, hari raya sampai hajatan masyarakat seperti selamatan sunatan, mau mondok, walimah ursy, tahilalan dan sebagainya. Bahkan menurut pengakuan salah satu santrinya, Hasiwi, kini jadi tokoh masyarakat Panyalpangan, dia (Hasiwi) dapat menghafal surat Yasin bukan karena sengaja menghafal, tapi karena seringnya diajak kai ikut mengahadiri selamatan yang diadakan masyarakat yang di dalamnya selalu dibaca surat Yasin.

Di samping itu, beliau juga sabar melayani setiap tamu yang datang untuk meminta petunjuk atas masalah yang dihadapinya. Mulai dari urusan lembaga pendidikan, keagamaan dan kemasyarakatan sampai urusan yang sangat pribadi, seperti mau merantau ke luar negeri, masalah kesehatan, penyakit yang menjangkitnya,urusan kanuragan, jodoh dan lain sebagainya.

Banyaknya tamu, undangan, santri yang ngaji menandakan betapa kepercayaan masyarakat begitu tinggi kepada baliau, hingga tidak heran jika pesan, patuah-patuah, dan dawuh-dawuh beliau masih kuat mengakar di tengah-tengah masyarakat. Sebagian besar masyarakat Burne-Binaspa dan sekitarnya (Panyalpangan, Somber Torak, Kajubulu Rampak) setia mengikuti apa yang menjadi perintahnya.

Jika ada masalah tertentu yang dihadapi masyarakat, beliau selalu menjadi rujukan utama. Jika beliau melarangnya, masyarakat pun setia menaatinya, begitu pun sebaliknya. Artinya masyarakat tidak berani melangkah sebelum ada petunjuk yang jelas dari beliau.

Berkat kegigihannya dalam berdakwah, baik dakwah bil lisan (dengan ucapan) dan bil hal (dengan tindakan), kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan pun meningkat. Hal itu terbukti dengan banyaknya santri yang ngaji ke Kiai Sholeh, yang melanjutkan ke jenjang pendidikanm yang lebih tinggi, baik melanjutkan di daerah Bawean atau ke Jawa.

Dimana pemandangan tersebut sangat jarang sebelum beliau menekuni lembaga pendidikan di Burne. Dengan banyaknya santri yang ngaji dan melanjutkan ke luar kampung, di Binaspa-Panyalpangan tidak lagi mengalami kesulitan mencari orang ahli di bidang agama.Bahkan banyak alumninya yang sudah menjadi ustadz, guru ngaji yang mendirikan langgar di kampungnya masing-masing, mushalla pun menjamur di berbagai tempat.

Terkenal Sakti
Pada paruh awal abad 20 banyak kiyai  di Bawean yang terkenal sakti. Banyak kesaksian masyarakat yang menyaksikan kesaktian kiyai. Bukan hanya kiyai tapi juga tokoh atau pendekar-pendekar pencak silat, tidak terkecuali Kiai Sholeh. Pernah suatu ketika di Burne ada hujan lebat bersama angin yang sangat kencang, orang-orang sekitar merasa sangat ketakutan dan khawatir akan terjadi bencana dan musibah yang tidak diinginkan, tidak lama kemudian Kiai Sholeh dengan bacaan takbir serta mengibaskan tserbannya ke atas, angin pun hilang seketika. Orang-orang disekitarnya pun terheran-heran menyaksikan kejadian tersebut.

Dalam kesaksian yang lain, konon suatu ketika ada kejadian di daerah Bawean, ada sebuah mobil yang jatuh ke jurang. Masyarakat pun sibuk bergotong-royong mencoba mengangkat mobil tersebut dari jurang dengan berbagai cara. Segala usaha pun sudah dilakukan, namun usaha mereka tidak membuahkan hasil yang memuaskan, hingga pada akhirnya tinggallah Kiai Sholeh.Sebagian masyarakat yang menjadi saksi kala itu, meminta beliau untuk mengangkat mobil yang jatuh ke jurang tersebut.

Akhirnya, berkat pertolongan Allah swt dengan hanya bermodalkan tangannya sendiri beliau mampu mengangkat mobil tersebut dari jurang tanpa bantuan orang lain. Masyarakat yang menyksikan kejadian tersebut pun terheran-heran dan makin percaya akankehebatan Kiyai sholeh.

Sementara dalam kesaksian yang lain, Kiai Sholeh pernah dicari polisi karena kejadian tertentu, lalu dengan bacaan mantra beliau menghilang seketikadan tidak terlihat oleh siapa pun termasuk polisi yang sedang mencarinya. Kerena orang yang dicari sudah tidak ada kemana rimbanya, polisi yang mencarinya pun dengan kecewa pergi tanpa hasil.Beliau mengatakan bahwa ilmu semacam itu bisa dipelajari, ada bacaannya dan bukan pertanda orang yang bisa melakukan hal tersebut dekat dengan Allah.

Beberapa kejadian aneh di laur nalar kebanyak orang, kerap terjadi di masyarakat Bawean kala itu. Hal itu bisa dipahami, mengingat kultur masyarakat yang masih kental dengan budaya mistik dan trasional. Di samping itu persoalan yang terjadi di masyakat tidak selalu bisa diselasaikan dengan ilmu pengetahuan (ilmiah). 

Kadang bahkan sering kali harus menggunakan kekuatan supra rasional, kekuatan fisik, sebab tantangan dakwah pun selalu berbenturan dengan kekautan yang sifatnya supra natural. Sehingga seorang da’i, tokoh masyarakat perlu menguasai dan membekali dirinya dengan ilmu tersebut agar dakwahnya lebih efektif dan mudah diterima oleh masyarakat.

Santun dan tak pernah menyinggung perasaan

Kesan yang sangat kuat terasa dibenak masyarakat, salah satunya adalah beliau terkenal santun dan lemah lembut baik dalam berucap maupun bertindak. Beliau sangat santun baik terhadap keluarga maupun terhadap masyarakat. Santun dan lembut  bukan berarti lemah, beliau sangat tegas dalam urusan agama dan ibadah. Beliau punya komitmen yang tinggi dalam urusan menjalankan perintah dan menjauhi larangan agama.

Disamping itu, dalam berdakwah tabligh (menyampaikan pesan) kepada masyarakat beliau tidak pernah menyinggung hati dan perasaan orang lain. Beliau sangat hati-hati dalam pemilihan kosa kata, kata-kata yang dipakai dalam menyampaikan pesan (mauidzah hasanah) kepada masyarakat sehingga masyarakat menerimanya dengan legowo, menerima dengan lapang dada.

Sekalipun beliau tahu persis persoalan dan sumber masalah yang terjadi di masyarakat, jika berkenaan dengan perasaan orang lain, beliau selalu menyampaikan dengan kata-kata yang sopan dan santun tidak menyakiti hati orang di sekelilingnya.

Sebuh teladan yang sangat berarti dan layak kita jadikan contoh, namun berat melaksanakannya kecuali bagi mereka yang memiliki pikiran yang jernih dan hati yang bersih.Tidak heran jika beliau diterima banyak kalangan, mulai dari kalangan masyarakat paling bawah hingga masyarakat professional.Tidak heran setelah beliau tiada masyarakat merasa sangat kehilangan yang belitu mendalam atas kepergiannya.

Pesan yang selalu belaiu sampaikan kepada masyarakat adalah shalat lima waktu, yakni pentingnya menjaga shalat wajib. Sesibuk apa pun, kata beliau kita jangan sampai meninggalkan shalat. Kalau bisa sebaiknya shalat dengan berjamaah di awal waktu. Sebab shalat adalah kunci kemakmuran, keberhasilan dan kesuksesan seseorang baik secara individu maupun secara kolektif (bersama-sama), baik di dunia maupun di akhirat.

Beliau dalam menyampaikan urusan agama tidak selalu memperberat masyarakat, maksudnya tidak menyuguhkan pesoalan agama yang sifatnya khilafiyah, yang banyak membingungkan dan mempersulit masyarakat. Tapi beliau lebih memilih yang sekiranya mudah dipahami dan dikerjakan masyarkat tapi tidak memudah-mudahkan apa lagi mengentengka urusan agama.

Kesederhanaan dan kebersahajaan beliau juga semakin menambah simpati masyarakat kepada beliau. Beliau tidak pernah menampakkan kealiman kepada orang lain baik dari sisi penampilan, tindakan maupun ucapan. Beliau selalu tampil sederhana dan bersahaja apa adanya di tengah-tengah masyarakat. Bahkan beliau dikenal selalu mengalah jika ada masalah di masyarakat, tidak maunya dan menang sendiri. Ketawadhu’an dan kelembuatan Kiai Sholeh dalam bertutur menjadi kesan tersendiri di hati masyarakat.

Dalam berdakwah di masyarakat, Kiai Sholeh termasuk berhasil khususnya di daearah kawasan. Keberhasilan dakwah beliau tidak lepas dari keistikamahan, kesabaran dan ketelatenan beliau dalam membimbing santri dan masyarakat.

Di samping itu dukungan dari keluraga, masyarakat, dan teman-teman sejawatnya tidak kalah penting dalam keberhasilan syiar Islam beliau. Sehingga dengan kekuatan di intenal diri beliau yang sudah mapan serta jaringan, hubungan baik dengan koleganya membuat keberhasilan dakwahnyapun makin terasa di tengah-tengah masyarakat. Wallahu a’lam bisshawab. []

Ainul Yakin, asal Bawean, saat ini aktif sebagai pengajar di Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar