Rabu, 06 Juni 2018

Buya Syafii: Politik Pascakebenaran


Politik Pascakebenaran
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Kabarnya istilah 'politik pascakebenaran' (post truth politics) diciptakan David Roberts pada tahun 2010. Bungkusnya memang mentereng 'politik pascakebenaran', sedangkan maksudnya tidak lain politik kebohongan, politik dusta. Sudah menjadi menjadi rahasia umum di dunia bahwa kebanyakan politisi itu memang gemar menjual dusta untuk meraih tujuan-tujuan jangka pendek, demi kekuasaan dan kepuasan duniawi. Saya sudah sejak lama mengatakan ‘politik cari makan,’ karena cara itu dipandang lebih gampang, sekalipun tunamartabat.

Donald J Trump sampai hari ini tidak putus-putusnya jadi bulan-bulanan di media Amerika, karena dipandang sering menjual dusta. Pada April 2018, jurnalis kawakan Rick Cusick telah menulis buku The Art of The Lie: From Satan to Trump (Trine Press, 2018), pada 21 Juni tahun ini akan terbit dalam format sampul tipis.

Pada bagian depan wajah Trump terbelah: separuh wajah setan separuh lagi wajah manusia. Demikian bebasnya pers di negeri itu, tidak peduli membidik seorang presiden.

Ajaibnya Trump masih bertahan sampai sekarang bersama sejumlah pendukungnya. Maka sistem demokrasi yang sarat dengan dusta bisa saja memunculkan seorang presiden dengan wajah terbelah itu.

Jauh sebelum itu, seorang Adolf Hitler yang ingin menaklukkan Eropa dan pernah pula lama berkuasa di Jerman, sebuah bangsa yang sejibun melahirkan filsuf, masih segar dalam ingatan kolektif kita. Dalam karya Mein Kampf yang terkenal itu Hitler berpesan bahwa dusta yang dikatakan terus-menerus akan dianggap benar oleh publik.

Saat itu resep politik Hitler ini belum disebut sebagai ‘politik pascakebenaran’ karena istilah itu baru saja muncul, sedangkan praktiknya mungkin sudah ada sepanjang sejarah umat manusia. Dalam literatur agama-agama, sikap dusta dihukum sebagai kejahatan moral.

Dalam Alquran surah al-Rahmân (55) di samping jenis manusia yang suka berdusta, jenis jin pun punya sifat serupa: “Maka kekuasaan Tuhan kamu [jin dan manusia] manakah yang hendak kamu dustakan?” Pertanyaan ini dalam surah itu diulang sampai 31 kali dengan redaksi yang sama: fabiayyi âlâirabbikumâ tukadzdzibân.

Maka sifat dusta atau membuat kabar dusta telah melekat dengan jenis kedua makhluk ini sejak zaman entah berantah. Ternyata dusta itu kabarnya paling banyak itu dilakukan oleh politisi, tidak jarang dibungkus dengan ayat-ayat Kitab Suci, sehingga orang yang pendek akal mudah tertipu, terutama dalam media sosial yang sudah sangat menjamur sekarang ini.

Dalam Alquran, jumlah perkataan dusta dengan bermacam jenisnya mendekati angka 300, termasuk dalam surat Makkiyyah ini: “Tahukah engkau orang yang mendustakan agama?” (QS al-Ma'un ayat 1). Dalam surah al-Munâfqûn (Madaniyyah) ayat 1 terbaca potongan ungkapan ini: “... Allah menyaksikan bahwasanya orang-orang munafik itu pembohong.”

Saya takut jangan-jangan termasuk manusia jenis ini, demi membela seorang tokoh, misalnya. Maka perlindungan Allah benar-benar diperlukan agar terhindar dari sifat yang terkutuk ini.

Dalam kearifan budaya Minang, sifat munafik itu dilukiskan sebagai: “Telunjuk lurus, kelingking berkait.” Pada umumnya, si pendusta itu mukanya tebal, tidak punya malu, karena hati nuraninya telah tertutup oleh daki moral ini yang dilakukannnya berulang-ulang.

Pada era Orba (Orde Baru) pernah pula dikemas dusta sejarah yang mengatakan bahwa Pancasila bukan hasil galian Bung Karno, tetapi berasal dari Muhammad Yamin untuk mendukung gerakan de-Soekarnoisasi ketika itu. Bung Hatta cepat menyangkal dusta semacam itu: Pancasila berasal dari Bung Karno, sekalipun pandangan politik kedua proklamator itu tidak selalu seiring.

Tetapi Hatta dengan integritas moralnya yang prima tidak mau terjebak oleh kicauan ‘politik pascakebenaran’ serupa itu. Yang lebih berbahaya adalah ‘politik pascakebenaran’ yang dikemas dalam bungkus teologis, seolah-olah Tuhan bisa disandera oleh bungkus dusta itu. Mahasuci Allah dari segala jenis rekayasa kotor itu, sekalipun dikerjakan berulang-ulang.

Pada tahun politik ini, sikap kritis dari rakyat banyak dalam mengolah sumber berita sungguh sangat diperlukan agar bangsa ini tidak terbelah oleh kebenaran semu yang sering diteriakkan, demi meraih keuntungan politik jangka pendek. Indonesia terlalu mulia untuk dijadikan korban jenis politik tunamoral sebagai bagian dari ‘politik pascakebenaran’ untuk lebih memancing emosi publik yang labil itu. []

REPUBLIKA, 05 June 2018
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar