Selasa, 12 Juni 2018

Buya Syafii: AR Fachruddin, Seorang Sufi Sejati (I)


AR Fachruddin, Seorang Sufi Sejati (I)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Seiring dengan semakin gersang dan langkanya tokoh teladan dalam masyarakat kontemporer Indonesia, menghadirkan sosok AR Fachruddin, si sufi, terasa perlu dan mendesak. Perkataan sufi, sufisme, tasawuf tidak populer di kalangan Muhammadiyah, mungkin karena pengaruh Wahhabisme yang kering dari nilai-nilai spiritual. Tetapi cara hidup seorang sufi banyak dijumpai pada tokoh-tokoh dan warga Muhammadiyah tanpa menyebutnya sebagai praktik sufisme.

AR Fachruddin (14 Februari 1916-17 Maret 1995), ketua PP Muhammadiyah, 1968-1990, dalam hidup kesehariannya adalah seorang sufi sejati yang legendaris. Sampai akhir hayatnya, tidak punya rumah pribadi yang mungkin belum tentu nyaman bagi anak-anaknya.

Semua nilai luhur dan asketik yang biasa disandangkan kepada sosok sufi ada pada Pak AR (panggilannya sehari-hari): sederhana, lurus, jujur, wara’, disiplin, suka menolong, santun, lembut, gaul, humoris, dan sejumlah karakter mulia lainnya menyatu dengan seluruh kepribadiannya. Dia selalu tampil sebagai manusia tanpa beban. Sangat sejati.

Jika Iqbal mengatakan bahwa ruh manusia akan menemui kesulitan untuk terbang tinggi karena terkunci di bumi, Pak AR telah memutuskan semua kunci itu melalui kesadaran yang dalam, dianyam oleh penghayatan agama yang tulus. Saya “iri” dengan sosok ini.

Tetapi, tuan dan puan jangan salah kira. Dalam serba kesederhanaannya, Pak AR dikaruniai pisau batin yang sangat tajam. Dengan pisau itulah dia memahami dan menyikapi berbagai watak manusia. Saya kenal secara pribadi selama beberapa tahun, tetapi tidak perinci, sampai disentakkan oleh karya Bung Syaefudin Simon, Pak AR Sang Penyejuk, Tangerang Selatan: Global Express Media, 2018, tebal 287 halaman, tidak termasuk sambutan dan kata pengantar.

Simon, alumnus Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada, pernah mondok di tempat tinggal Pak AR di Jln Cik Di Tiro No 19A, Yogyakarta, sebuah bangunan milik Muhammadiyah yang dipinjamkan kepada sang sufi dan keluarganya. Sejak 2003, rumah itu telah diubah menjadi kantor pusat PP Muhammadiyah dengan No 23.

Saya masih ingat pada suatu hari awal tahun 1960-an, Pak AR sambil berdiri naik KA dari Solo ke Wonogiri yang penuh sesak dengan para pedagang desa dan penumpang lainnya. Di wajahnya tak sedikit pun terbayang rasa kesal, tidak tampak pancaran keluhan sama sekali.

Semua dilakoninya dengan tenang, nyaman, dan ceria. Dalam buku Simon ini, kisah-kisah inspiratif, mengagumkan, dan menyentuh tentang tokoh yang satu ini telah direkam dengan baik dalam rakitan bahasa yang lancar dan mengalir.

Melalui WA saya telah mengabarkan kepada beberapa sahabat tentang buku yang sangat layak dibaca ini. Dua pembaca yang saya berikan buku itu sama berkomentar tentang Pak AR: penaka nabi!

Pak AR adalah saksi hidup tentang sosok seorang pemimpin teladan yang legendaris dan saya tidak mampu menirunya. Saya harus punya rumah setelah berkali-kali pindah tempat yang sangat melelahkan. Saya tidak sekuat Pak AR menghadapi cobaan dan rintangan dalam hidup. Sufisme Pak AR sangat autentik, sepi dari topeng-topeng dalam bentuk apa pun, sebagaimana terlihat pada sebagian tokoh spiritual yang pura-pura sufi.

Ampun, Pak AR, saya terlalu lemah untuk mengikuti jejak manusia panutan ini. Guru Pak AR adalah kehidupan itu sendiri, bukan sekolah formal. Dari pengalaman hidup, dia belajar, merenung, dan ujungnya membuahkan kearifan yang jadi buah bibir orang banyak sampai hari ini.

Daya jangkau karya Simon ini akan sangat efektif sekiranya ada pihak yang bersedia menampilkannya dalam bentuk film, di tengah-tengah gersangnya keteladanan elite saat ini. Betapa pun mungkin para elite telah berlumuran dosa dan dusta selama ini dalam persaingan politik yang tunamoral, dengan mengikuti keteladanan Pak AR, siapa tahu batinnya akan luluh juga.

Jika mimpi ini menjadi kenyataan, bangsa ini pasti akan menuai berkah yang luar biasa karena kisah Pak AR telah mengubah perilaku para elite “yang terhormat” itu, tanpa perlu hidup sangat sederhana seperti Pak AR. Kesederhanaan ekstrem biarlah melekat pada pribadi Pak AR untuk selama-lamanya sebagai sumur rohani yang tidak akan kering.

Tentu Pak AR punya kekurangan: suka merokok. Pada suatu hari saya goda, mengapa Pak AR banyak merokok. Jawaban humorisnya di luar perkiraan: saya hanya merokok satu-satu. Siapa yang tidak mati kutu untuk bisa melanjutkan pertanyaan lagi. Emangnya, merokok satu bungkus sekali isap?

Tetapi jenis jawaban semacam itu telah mengendorkan urat saraf sekalipun harapan si penanya sesungguhnya belum terpuaskan. Semula saya ingin mengkritik Pak AR yang perokok, tetapi diskakmat dengan cara seperti itu. []

REPUBLIKA, 12 Juni 2018
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar