Senin, 04 Juni 2018

Azyumardi: Radikalisme di Perguruan Tinggi (1)


Radikalisme di Perguruan Tinggi (1)
Oleh: Azyumardi Azra

Pascapengeboman bunuh diri di Surabaya (13-14 Mei), meluas pembicaraan di kalangan publik tentang meningkatnya atau bertahannya paham radikal di kampus Perguruan Tinggi Negeri (PTN) khususnya. Pembicaraan dan perdebatan ini terkait adanya pernyataan yang beredar luas dalam media sosial dari beberapa dosen—termasuk di antaranya profesor—yang seolah-oleh merestui aksi bom bunuh diri.

Dalam pernyataan di media sosial itu, mereka menganggap pengeboman bunuh diri sebagai rekayasa Polri dan pemerintah. Menurut mereka, bom bunuh diri Surabaya bertujuan; pertama, untuk menyudutkan ‘umat Islam’; kedua, guna mendapatkan peningkatan anggaran pemberantasan terorisme; dan ketiga, sebagai pengalihan isu upaya penggantian kepemimpinan nasional dalam Pilpres 2019.

Rektor PTN terkenal di mana ada tiga dosennya yang pernyataan mereka beredar luas dalam media sosial segera mengeluarkan klarifikasi. Dia mengungkapkan pernyataan ketiga dosennya itu tidak merepresentasikan PT-nya. Dia juga menyatakan memproses ketiga dosen tersebut atas pernyataan mereka.

Selain itu, juga ada kalangan dosen dan profesor PTN yang mendukung atau memberikan justifikasi pada pemahaman dan praksis yang ingin membentuk dawlah Islamiyah atau khilafah. Pemikiran dan praksis ini pada saat yang sama, baik secara langsung maupun by implication menolak NKRI dan Pancasila.

Kasus-kasus itu tentu saja tidak perlu mendorong siapa pun untuk ngebyah uyah atau menggeneralisasi sebagai fenomena yang sangat umum di seluruh PTN Indonesia—PTUN dan yang berkarakter Islam (PTKIN), juga PTS (PTUS dan PTKIS). Namun, gejala semacam itu, tetap perlu dicermati dan diwaspadai karena adanya bukti-bukti kuat infiltrasi dan penyebaran paham radikal di banyak PT.

Belum lama ini (28/4/2018), Budi Gunawan, kepala BIN menyatakan, adanya tiga PTN sebagai tempat penyebaran paham radikal. Dia tidak menyebut eksplisit nama ketiga PTN tersebut di antara 20 PT di 15 provinsi yang menjadi sasaran survei BIN.

Budi Gunawan mengungkapkan lebih jauh, 39 persen mahasiswa dari berbagai PT di Indonesia telah terpapar paham radikal. Dari pernyataan Budi Gunawan, kata ‘terpapar’ tampaknya berarti sekaligus mengikuti paham radikal. Selanjutnya, menurut dia, 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen siswa SMA setuju dengan ‘jihad’ untuk menegakkan dawlah Islamiyah atau khilafah.

Keterangan lebih lanjut diberikan Hamli, direktur Pencegahan BNPT dalam seminar tentang radikalisme yang diselenggarakan Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (25/5/18). Menurut Hamli, hampir seluruh PTN dan PTS telah terpapar pada paham dan praksis radikalisme.

Malah dia menyebut nama tujuh PTN yang nyata-nyata disusupi paham radikal. Hamli mengungkapkan, bagian PTN dan PTS yang paling rentan tersusupi paham radikal adalah prodi eksakta dan kedokteran. Dalam konteks terakhir ini, adanya fakultas dan prodi eksakta di lingkungan UIN, IAIN, dan STAIN juga memberi potensi cukup besar bagi infiltrasi dan penyebaran paham radikal.

Mengapa prodi-prodi semacam itu lebih rentan? Hal ini terkait dengan watak ilmu eksakta yang pada dasarnya memberikan perspektif ‘hitam-putih’. Perspektif ini juga memengaruhi cara pandang dalam melihat agama—yang kemudian juga dilihat secara hitam-putih. Padahal, agama juga merupakan realitas dan gejala historis sosiologis; memunculkan fenomena ‘abu-abu’ dalam ekspresi keagamaan.

Berbagai penelitian lebih akademik dan ilmiah yang dilakukan lembaga penelitian kampus semacam PPIM dan CSRC UIN Jakarta atau independen, seperti Maarif Institut atau Wahid Foundation, dalam beberapa tahun sebelumnya telah mengungkapkan gejala penyebaran radikalisme di lingkungan PTN atau PTS. Dalam penelitian akhir 2017 lalu, PPIM menyebut gejala ini sebagai ‘api dalam sekam’.

Juga terungkap dalam berbagai penelitian itu, peningkatan gejala radikalisme terjadi tidak hanya di kalangan mahasiswa, tetapi juga dosen. Tidak terlalu aneh, jika mahasiswa yang pengalaman intelektualnya lebih terbatas dapat lebih mudah terpengaruh dan terekrut ke dalam pemikiran radikal.

Tetapi, agak mengherankan jika kalangan dosen yang telah memiliki pengalaman intelektual lebih panjang juga terekrut ke dalam pemikiran radikal. Mereka lebih jauh memadukan pemikiran radikal dengan teori rekayasa dan konspirasi. Mereka kemudian menjadi agen penyebaran paham radikal, teori rekayasa dan konspirasi di kalangan civitas academica. []

REPUBLIKA, 31 Mei 2018
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar