Kamis, 01 Februari 2018

Shambazy: Pilkada-Pilpres: ”Faktor Rasa Asyik”



Pilkada-Pilpres: ”Faktor Rasa Asyik”
Oleh: Budiarto Shambazy

Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah 2018 dan Pemilihan Legislatif-Pemilihan Presiden 2019 akan berlangsung aman. Indonesia tidak akan bergejolak alias bebas dari instabilitas politik, apalagi mengalami krisis seperti tahun 1998.

Stabilitas politik tetap terjaga karena demokrasi kita telah terkonsolidasi dengan nyaris sempurna. Lagi pula, sepanjang sejarah kita, proses pemilu, pilpres, dan pilkada tidak pernah memicu gejolak besar yang mengganggu kehidupan sehari-hari.

Jadwal Pilkada 2018 memang padat. Dimulai dengan masa kampanye 15 Februari-24 Juni 2018, kemudian pilkada serentak itu sendiri digelar pada 27 Juni 2018.

Total ada 579 pasangan calon yang berlaga untuk merebut kursi kepala daerah di 171 lokasi, termasuk di 17 provinsi atau separuh dari jumlah provinsi di negeri ini. Jumlah pemilih pada pilkada serentak ini mencapai sekitar 160 juta jiwa.

Dari masa kampanye sekitar empat bulan itu, diperkirakan kampanyenya mereda ketika umat Muslim memulai ibadah puasa pada medio Mei. Kelesuan itu berlangsung lebih kurang satu setengah bulan mulai dari puasa hari pertama diikuti perayaan Idul Fitri, dan kemudian kesibukan para pemudik sekitar dua pekan setelah Lebaran.

Jangan pula dilupakan pada pada 14 Juni-15 Juli 2018 akan berlangsung Piala Dunia sepak bola di Rusia yang dapat menjadi pengalih dari hebohnya Pilkada 2018.

Setelah pencoblosan usai, penetapan hasil Pilkada 2018 untuk tingkat kabupaten/kota akan diumumkan pada 4-6 Juli dan untuk tingkat provinsi 7-9 Juli 2018.

Apa yang terjadi setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan penetapan? Jika menilik pada penyelenggaraan pilkada-pilkada sebelumnya, tak mustahil terjadi amok massa berskala rendah, seperti pembakaran kantor-kantor KPU daerah (KPUD) di sejumlah lokasi rawan. Juga pasti terjadi perselisihan di antara pasangan calon yang akan disengketakan ke Mahkamah Konstitusi.

Setelah ingar bingar Pilkada 2018 rampung, masih ada proses Pileg-Pilpres 2019. Bersamaan dengan penetapan hasil Pilkada 2018 itu, KPU sudah harus memulai tugas mengurus Pileg-Pipres 2019.

Dalam periode 4-17 Juli 2018, semua partai peserta Pileg 2019 mulai menyiapkan anggota DPR/DPRD masing-masing. Begitu juga dengan calon-calon ”senator” atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Penetapan seluruh anggota DPR/DPRD yang berkompetisi diumumkan KPU pada 20-23 September 2018.

Pilpres 2019

Jangan dilupakan pula, sejak Juli 2018 kita mulai dihebohkan oleh persiapan-persiapan final menjelang penyelenggaraan Asian Games di Jakarta dan Palembang pada 18 Agustus-2 September 2018.

Tri Sukses Asian Games mencakup sukses penyelenggaraan (fasilitas olahraga dan infrastruktur), sukses prestasi (jumlah medali emas dan peringkat peserta), serta sukses ekonomi (pariwisata, merchandising, dan penjualan tiket). Tercapai atau tidaknya Tri Sukses ini, akan cukup berpengaruh terhadap popularitas Presiden Jokowi.

Nah, sekarang mari kita tinjau jadwal Pilpres 2019. Sebagai petahana, Presiden Jokowi sudah harus mendaftar sebagai capres pada 4-10 Agustus 2018. Bukan saja dirinya, Jokowi juga sudah harus mendaftarkan cawapres pilihan dia pada hari-hari tersebut. Demikian pula tentunya, capres-cawapres lainnya.

Pada 13 Oktober 2018, kampanya Pilpres 2019 sudah dimulai sampai 13 April 2019. Total ada waktu sekitar setengah tahun untuk kampanye capres-cawapres.

Jeda politik dengan demikian hanya terjadi pada periode Juli-September 2018. Pada Oktober 2018, sudah dimulai pula kampanye Pilpres 2019 sampai April 2019. Bangsa ini jelas akan menjalani banyak agenda nasional tahun 2018-2019. Meski, sekali lagi, seluruh rangkaian Pilkada-Pileg-Pilpres 2018-2019 berlangsung aman.

Tahun-tahun demokrasi

Saya kurang setuju dengan istilah yang sering didengang-dengungkan, yakni ”tahun politik”. Istilah ini menimbulkan kesan agak muram, lebih kurang mencerminkan keterbelahan politik kita yang marak sekali ditampakkan di media sosial melalui fenomena hoaks beberapa tahun terakhir ini.

Selain itu, suasana politik kita juga agak terganggu akibat manipulasi politik identitas terutama yang menyinggung suku, agama, dan ras.

Istilah yang lebih tepat adalah ”tahun-tahun demokrasi” pada dua tahun berturut-turut 2018 dan 2019. Apalagi, agenda politik nasional kita boleh padat, tapi diselingi pula oleh kesempatan beribadah sepanjang Ramadhan dan menikmati sajian olahraga Piala Dunia dan Asian Games 2018.

Hidup pun serasa lengkap. Dalam bahasa Inggris, ”What’s more could you ask for?” Sebagai warga negara dalam sebuah demokrasi yang sehat, kita dapat menikmati seluruh sajian dengan rasa optimisme yang tinggi.

Tahun-tahun demokrasi bermakna bahwa kita memiliki hak memilih kepala daerah, anggota legislatif, dan presiden-wakil presiden. Kita memilih mereka bukan untuk mengepalai suku kita atau berdasarkan kesamaan agama kita dengan mereka. Kita memilih mereka karena kemampuan mereka. Di lain pihak, kita tidak memilih calon-calon yang lain karena kita menganggap mereka kurang bisa memperjuangkan aspirasi dan kepentingan kita.

Betul ada teori yang mengkhawatirkan menipulasi politik identitas akan di copy paste di daerah-daerah tertentu pada Pilkada 2018 maupun Pilpres 2019. Kekhawatiran ini sepertinya agak berlebihan.

Alasannya, kompetisi Pilkada 2018 umumnya tidak terjadi antara dua paslon (bipolaritas) yang konfrontatif dan kondusif untuk manipulasi politik identitas. Namun, antara lebih dari dua kontestan (multipolaritas) yang kurang konfrontatif dan kondusif untuk memanipulasi politik identitas.

Dan, semangat menahan diri agar tak terjebak manipulasi politik identitas sudah diingatkan sebaik-baiknya oleh jajaran penyelenggara, pengamanan, dan pengawas pemilihan di tingkat lokal ataupun nasional.

Dalam dunia ekonomi dikenal istilah ”faktor rasa asyik” (the feel-good factor) yang merujuk pada daya beli masyarakat yang mencukupi. Rasa asyik serupa juga sedang kita rasakan dalam menghadapi tahun-tahun demokrasi 2018-2019. Siapa bilang demokrasi tidak mengasyikkan? []

KOMPAS, 29 Januari 2018
Budiarto Shambazy  ;  Wartawan Kompas 1982-2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar