Rabu, 14 Februari 2018

Nasaruddin Umar: Politik Islam atau Islam Politik?



Politik Islam atau Islam Politik?
Oleh: Nasaruddin Umar

SETIAP kali Islam bersentuhan dengan politik praktis, di situ ada sesuatu yang sulit dibedakan, apakah yang lebih dominan di situ ialah politik Islam atau Islam politik? Islam dan masalah politik memang tidak bisa dipisahkan karena sejak awal posisi Nabi Muhammad Rasulullah SAW memegang peran ganda. Di samping sebagai Nabi dan Rasul yang memimpin dan mengarahkan umat juga sebagai pemimpin pemerintahan dunia Islam, khususnya di Madina saat itu.

Sebagai pemimpin umat dan sekaligus pemimpin bangsa tentu memerlukan keluarbiasaan. Bukan hanya harus sukses dalam medan perang, tetapi juga selalu unggul dalam dunia diplomasi. Dalam dunia diplomasi ia seorang diplomat yang kawakan, disegani kawan dan musuh. Di medan perang ia juga sering tampil sebagai panglima angkatan perang dengan sangat mengesankan semua pihak. Ia seolah membawa dunia diplomasi dan dunia perang yang amat berbeda dengan masyarakat (Arab).

Perjuangan yang diplomasi Nabi ialah memanggil Suhael berdiskusi dengan Nabi. Setelah itu Rasulullah menerangkan kepada para sahabatnya, mengapa perjanjian itu diterima. Pertama, pencoretan kata bismillahirrahmanirrahim dan kata Rasulullah memang masalah, tetapi lebih besar akibatnya bagi umat Islam jika perjanjian itu ditolak karena posisi umat Islam masih minoritas.

Butir-butir perjanjian itu diterima agar kaum kafir Quraisy Mekah tidak ditahan di Madinah agar tidak ikut membebani ekonomi Madinah yang sudah dibanjiri pengungsi. Sebaliknya, orang Islam yang dibiarkan ditahan di Mekah pasti akan berusaha menjalankan politik tertentu untuk memecah-belah kekuatan kaum kafir Quraisy di sana. Alhasil, semua prediksi Rasulullah benar dan sahabat kemudian mengagumi kecerdasan Rasulullah SAW.

Demikianlah politik Islam. Terkadang harus mundur selangkah untuk meraih kemenangan. Dalam posisi umat Islam masih minoritas tidak ada cara terbaik kecuali kooperatif dengan keinginan mayoritas, demi menyelamatkan umat. Terkadang juga harus bersabar dan menanti saat yang tepat untuk memulai sebuah strategi baru untuk mencapai kesuksesan menyeluruh.

Politik Islam bukan untuk menoleransi jatuhnya korban hanya untuk mencapai kemenangan politik secara simbolis. Kemenangan substansial jauh lebih berharga ketimbang kemenangan simbolik. Untuk apa kemenangan simbolik jika substansi Islam tidak bisa diimplementasikan. Di sinilah tantangan bangsa kita di masa depan, sebuah bangsa yang dipadati umat Islam. Perlu banyak belajar dari pengalaman dunia Islam dalam lintasan sejarah.

Masih ingat kita dalam sejarah ketika Ali dan Mu’awiya berseteru, masing-masing tidak ada yang mau mengalah. Ali sudah dilantik menjadi khalifah keempat, tetapi tidak diakui oleh Mu’awiyah. Karena tidak ada yang mau mengalah, terjadilah peperangan yang disebut Perang Shiffin. Mu’awiyah didukung oleh ‘Aisyah, istri Nabi dan Ali tentu saja didukung oleh istrinya, Fathimah, putri Nabi. Perang tidak dapat dielakkan antara keduanya.

Di tengah perang saudara ini, Amr ibn ‘Ash yang dikenal sebagai politikus cerdik di pihak Mu’awiyah, menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. Ia menggunakan simbol 500 Alquran yang diusung di ujung tombak sambil mengajak semua pasukan untuk kembali kepada penyelesaian secara Alquran. ]

Ali dan Mu’awiyah menyetujuinya. Ali mengutus Abu Musa al-Asy’ary, seorang ulama yang disegani dan Amru ibn Al-Ash mewakili pihak Mu’awiyah. Amr ibn ‘Ash tahu kesalehan dan kelemahan Abu Musa. Amr meminta agar demi kemuliaan Islam dan demi kemaslahatan umat Islam, sebaiknya Ali dan Mu’awiyah mengundurkan diri lalu dicari tokoh lain yang lebih netral.

Abu Musa sebagai perunding mewakili pihak Ali ibn Abi Thalib menerima usulan itu. Ia diminta berpidato lebih awal di depan massa dan pasukan kedua belah pihak. Ia menyerukan bahwa sekarang ini tidak ada lagi khalifah dan kini saatnya kita akan mencari khalifah yang dapat diterima oleh semua pihak.

Tiba giliran Amr ibn ‘Ash menelikung pernyataan itu dengan mengatakan, oleh karena sekarang tidak ada lagi khalifah, maka dengan ini kami melegalkan Mu’awiyah sebagai khalifah. Tentu saja pihak Ali tidak menerimanya maka peperangan pecah kembali. Begitulah seterusnya hingga Ali mati terbunuh.

Perang Shiffin merupakan perang saudara dalam dunia Islam. Peperangan ini sering disebut fitnah kubra atau fitnah terbesar dalam sejarah umat Islam. Fitnah inilah kemudian melahirkan aliran teologi seperti syiah, murjiah, khawarij, dan simbol ahlu sunnah. Perkembangan politik ini banyak berpengaruh dalam pemikiran politik dunia Islam. []

MEDIA INDONESIA, 09 Februari 2018
Nasaruddin Umar  ;   Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar