Kamis, 15 Februari 2018

Kang Sobary: Mahkota, Tahta, dan Cinta



Mahkota, Tahta, dan Cinta
Oleh: Mohamad Sobary

INTRIK di dalam keraton Ayodya menimbulkan tragedi dalam sejarah kemanusiaan yang begitu mengenaskan. Dewi Kekayi, sumber malapetaka itu dikutuk, dimaki-maki, dan didengki. Namun, ini belum semuanya. Baginda raja Prabu Dasarata merasakan dilema besar. Raja itu tak berdaya. Kekuasaannya tak mampu mengubah keadaan. Tangis dan penyesalan berkepanjangan. Tahta raja basah oleh air mata duka.

Di dalam film Ramayana , produksi nasional kita yang tak kalah dari film Ramayana  versi India, yang kedua-duanya dapat disaksikan di YouTube , dikisahkan bahwa istri selir Baginda raja, Dewi Kekayi, menagih janji. Ketika Baginda mabuk cinta kepadanya, Kekayi mengajukan syarat: dia mau menjadi selir asal Baginda bersedia memenuhi permintaannya. Raja pun tanpa berpikir panjang menyatakan bersedia. Bagi seorang raja, apa susahnya memenuhi sebuah permintaan? Apa lagi  buat seorang yang dicintainya.

Apa permintaan itu? Istri selir itu tak pernah mau mengatakannya. Ini kelihatannya merupakan suatu taktik politik yang sengaja dipendam untuk menantikan momentum yang tepat. Hari itu momentum itu tiba, mengentak dan tak terduga. Ketika putra mahkota, Rama, hendak dinaikkan tahta, Kekayi bertanya kepada suaminya, apakah Baginda masih ingat akan janjinya dan dengan tegas Baginda menjawab, jelas masih ingat.  

"Katakan saja apa permintaanmu? Mustahil aku tak memenuhinya," jawab Baginda. Dan, istri selir memohon dengan  tegas, "Naikkan putraku, Barata, ke atas tahta. Batalkan rencana penobatan Rama hari ini". Geledek menyambar telinga Baginda. Inilah permulaan geger besar di lingkungan keluarga keraton Ayodya. Kekayi juga mengancam: "Kalau Baginda tak mau memenuhi pemintaanku, dunia akan mengejekmu Baginda, bahwa kau tak memenuhi darma seorang raja".  

 Kecuali itu, Kekayi  juga menuntut agar Rama dibuang ke hutan selama 12 tahun lamanya. "Hanya itu yang kuminta Baginda," kata Kekayi yang suaranya terdengar di telinga Baginda seperti suara kematian yang mengerikan. Wajah selirnya itu menatapnya dengan pancaran seorang pembunuh yang keji dan dingin. Dia tahu, istana geger dan penuh jerit tangis yang menyesali dan mengutuknya. Namun, dia tak peduli.

Ringkas cerita, Rama, diikuti Laksmana, adiknya, dan Shinta, istrinya, meninggalkan keraton menuju hutan pembuangan dengan damai, tapi rakyat Ayodya marah besar. Di sepanjang jalan Rama ditangisi rakyatnya. Karena menderita sakit batin yang dalam, Baginda wafat ketika Rama di hutan pembuangan.

Kisah Rama masih panjang. Namun, di sini kisah  itu kita akhiri. Ringkas cerita, Rama kembali ke Ayodya sesudah masa pembuangannya berakhir. Adiknya, Barata, yang naik tahta secara terpaksa, menyambutnya dan menyerahkan kembali tahtanya kepada kakaknya itu. Dia mengatakan, Rama yang punya hak atas tahta. Dia hanya mewakilinya sejenak. Kalau Rama tidak pulang sesudah masa pembuangannya berakhir, Barata sudah menyiapkan diri untuk mati di atas nyala api pembakaran.

Rama kembali tanpa membawa rasa dendam. Barata menanti kakaknya dengan kerinduan yang begitu tulus. Mereka dipenuhi rasa cinta yang bahkan para dewata sendiri kagum. Rama, titisan Dewa Wisnu, sang pemelihara, adiknya, Barata, dianggap titah yang paling patuh pada darma, sejenis kewajiban etis yang wajib dijunjung tinggi manusia. Dalam segi itu Barata dianggap contoh paling luhur. Dia raja dalam menjaga dan mengamalkan darma. Namanya raja dalam darma.

Tatanan hidup di negeri Ayodya pun pulih kembali. Rama sebagai raja, ditaati rakyatnya. Raja menggunakan kekuasaannya untuk melayani rakyatnya. Di keraton, raja berbicara tentang ‘Tahta untuk Rakyat’. Rama memandang "Mahkota dan Tahta" menjadi sarana resmi membuktikan cintanya pada hidup. Mahkota dan tahta bukan untuk kemuliaan pribadi.

 "Tahta untuk Rakyat" dan "Mahkota dan Tahta diabdikan bagi cinta" kepada rakyat dan pengabdian bagi mereka, merupakan dua jenis dokumen kebudayaan dari keraton yang mengunggulkan kehidupan rakyat. Keduanya dokumen lama yang kini tak lagi menjadi bahan rujukan para penguasa. Pada saat ini, tiap penguasa, yang sering muncul dari wilayah tak dikenal, wilayah antah berantah, tak pernah lagi memiliki kesadaran luhur seperti itu. Tak pernah ada orang bicara "tahtaku" untuk "rakyatku".

 Penguasa yang kini didominasi kaum pedagang, jelas selalu berhitung tentang untung-rugi. Penguasa berorientasi pada usaha menarik manfaat ekonomi dari kekuasaannya. Mereka berkuasa bukan untuk "memberi" tapi untuk "meminta"  Tak pernah ada lagi penguasa yang berbicara mengenai ajaran etik dan moral. Tak ada lagi penguasa yang berkaca pada  kekayaan khazanah kehidupan kita sendiri.

 Dengan kata lain, kehidupan politik kita tak pernah lagi ditata di atas landasan kebudayaan yang menghidupi kita. Mereka yang bukan pedagang pun menyerap semangat kaum pedagang dan menggunakan "tahta" dan "mahkota"-nya sebagai simbol yang dianggap sah untuk menarik keuntungan dari kekuasaannya. Tampaknya, di sinilah dimulainya kerusakan dalam kehidupan politik kita di atas landasan kebudayaan.

 Kekayaan khazanah kita mengajarkan politik yang berjalan di atas landasan budaya itu berarti bahwa politik tunduk pada kebudayaan. Namun, orientasi baru yang dihidupkan kaum pedagang-penguasa berorientasi kesadaran bahwa kekuasaan harus direbut untuk meraih manfaat ekonomi. Bagi mereka, politik tunduk pada kepentingan ekonomi demi akumulasi kekayaan yang tak pernah ada akhirnya. Di sinilah kita temukan bahwa politik itu identik dengan keserakahan.

 "Mahkota, tahta, dan cinta" yang memancar dari tokoh Ramayana, raja Rama, tak mungkin berjalan di dalam masyarakat yang orientasi politiknya dikuasai oleh kepentingan ekonomi. Sekali lagi, politik yang tunduk pada ekonomi atau pada keserakahan yang tak mengenal batas, menjadi kiblat kehidupan kita. Kehidupan sehari-hari bangsa kita hari ini dipacu dan digiring menuju semangat bersaing, berebut, dan saling jegal untuk meraih kemenangan.

 Lama-lama, kehidupan politik dipacu menuju kehidupan yang sangat teknis, yang penting menang. Curang tidak menjadi masalah. Menipu, berbohong, niat busuk, semua bukan masalah. Kemenangan dianggap kemuliaan. Mereka yang menang itulah yang mulia. Dalam hidup ini yang penting menang. Pemimpin dibikin menang oleh golongannya tak menjadi soal karena bukankah yang penting menang?

 Menang dengan menipu dan menghancurkan orientasi etik dan moral tidak menjadi masalah. Ungkapan yang penting menang tadi harus dipertegas, menang untuk menguasai ekonomi. Rebut kekuasaan. Rebut ekonomi. Kekuasaan penuh kekacauan dan permusuhan tak menjadi masalah. Yang penting menang, berkuasa, dan kaya. Keserakahan menimbulkan kerusakan kiblat hidup manusia juga tak menjadi masalah.

Akhirnya, manusia kehilangan kemanusiaannya pun bukan masalah. Manusia menjadi mesin, robot, dan besi karatan tak bernyawa pun bukan masalah. "Mahkota, tahta, dan cinta" menjadi jauh sekali dari kehidupan kita sesudah kita mengubah diri menjadi mesin dan besi karatan tak bernyawa tadi. Kaum pedagang dalam dunia politik kita yang memelopori orientasi buruk ini. Mereka sudah tua dan harus bertanggung jawab kepada kaum muda yang sudah mereka rusak. Kaum muda kita pun tak kalah serakah dari guru-guru mereka yang sudah tua.

Tidak. Kehancuran ini harus ditolak. Kita harus melawan. Kita rawat kehidupan dengan "cinta" yang dilindungi "mahkota" dan "tahta". Inilah cinta yang dihidupkan oleh kekuasaan yang lembut, adil, dan berbagi. Watak oportunis dan serakah kita kuburkan jauh di dasar laut. "Mahkota, tahta, dan cinta" biarlah mekar dan berkembang  di taman kehidupan politik kita. []

KORAN SINDO, 10 Februari 2018
Mohamad Sobary  | Esais dan Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar