Selasa, 20 Februari 2018

Azyumardi: Pesantren Salafi (2)



Pesantren Salafi (2)
Oleh: Azyumardi Azra

“Pesantren Salafi”. Ini adalah pesantren yang berangkat dari paham dan praksis keislaman tentang “Islam murni” yang secara idealisasi bersumber dari kaum Salaf—generasi pertama pasca-Nabi Muhammad SAW. Pesantren Salafi tak lain adalah lokus untuk penanaman paham dan praksis yang menekankan al-ruju’ ila al-Qur’an’ dan “hadis [sahih]”. Prinsip inilah yang disebut sebagai manhaj, cara dan metodologi Salafi.

Kemunculan paham Salafi (bahasa Inggris Salafism atau atau Arab Salafiyah), sekali lagi, harus dibedakan dengan “Pesantren Salafiyah”. Istilah terakhir ini mengacu pada pesantren tradisional yang indigenous Indonesia dengan paham Ahlussunah wal Jamaah, baik “tradisionalis” maupun “modernis”.

Paham dan praksis Salafi bermula dari diagnosis dan analisis di kalangan ulama semacam Ibn Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M) atau Muhammad ibn ‘Abdul Wahab (1115-1206 H/1701-1793 M). Mereka berhujah, kemunduran Islam dan kaum Muslim pada masa pascakejayaan Baghdad disebabkan kaum Muslimin tidak lagi mengamalkan Islam murni.

Sebaliknya, mereka memahami dan mempraktikkan Islam yang sudah diwarnai berbagai macam aliran dan mazhab yang dipenuhi berbagai praktik keagamaan yang tidak pernah dilakukan Rasulullah. Semua itu dipandang kaum Salafi sebagai bid’ah dhalalah, tambahan-tambahan sesat yang bakal membawa pengamalnya ke dalam neraka.

Meski sama-sama ingin kembali kepada Islam kaum Salaf, Islam murni, para pemikir, pemimpin, dan aktivis gerakan Salafi berbeda dalam karakter dan pendekatan. Ibn Taimiyah terkenal sebagai polemikus dan kontroversial, tetapi tidak menganjurkan pendekatan kekerasan. Sebaliknya, Ibn Abdul Wahab gemar melakukan kekerasan melalui aliansi dengan kekuasaan politik Raja Najd, Ibn Saud.

Pada masa modern, pemikir terkenal seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, atau Rasyid Ridha juga sering disebut termasuk barisan pemikir Salafi. Mereka memang menganjurkan umat Muslimin agar kembali ke Alquran dan hadis, meninggalkan bid’ah dan khurafat.

Namun, al-Afghani, Abduh, dan Ridha tidak terseret ke dalam pemahaman dan praksis keagamaan dan sosial-budaya literal yang kemudian dominan di kalangan pemikir Salafi lain. Mereka juga tidak terjerumus ke dalam pendekatan keras, ekstrem dan radikal.

Salafisme mereka mengalami domestifikasi ketika mereka juga mengadopsi pemikiran dan kelembagaan modern Eropa. Karena itulah, mereka lebih dikenal sebagai pioner modernisme-reformisme daripada Salafisme.

Nusantara juga tidak terlepas dari pengaruh pemikiran dan gerakan Salafisme, baik yang hampir sepenuhnya berorientasi dalam keagamaan maupun sosial-budaya dan politik ke masa kaum Salafi. Kelompok ini bisa disebut “Salafi keras”. Begitu juga dengan kelompok kedua yang bisa disebut “Salafisme lunak”, yang secara keagamaan cenderung berorientasi ke masa Salafi tetapi dalam kehidupan sosial-budaya dan politik ke masa depan.

Pengaruh pemikiran Salafi corak pertama dapat dilihat dari gerakan Padri di Minangkabau sejak awal abad ke-19. Berorientasi pada pemurnian Islam dari tarekat, adat, dan tradisi lokal, kaum Padri melakukan kekerasan yang berujung pada perang saudara yang kemudian dikenal sebagai Perang Padri (1825-37).

Orang-orang Padri memerangi dua kelompok masyarakat. Pertama, arus utama Islam Minangkabau yang mempraktikkan tasawuf dan tarekat yang inklusif dan akomodatif terhadap budaya lokal. Kedua, kaum adat yang cenderung lebih berorientasi pada adat daripada Islam.

Perang Padri berakhir dengan campur tangan kekuatan militer kolonial Belanda. Gerakan Padri mengandung banyak komonalitas dan afinitas dengan doktrin dan praksis Wahabiyah yang menemukan momentum sejak perempatan terakhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Namun, Gerakan Padri gagal mengubah corak Islam Minangkabau kecuali mendorong perubahan pola dan posisi Islam dari “adat bersendi syarak, syarak bersendi adat” menjadi “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”.

Sedangkan, pengaruh Salafisme lunak lebih luas. Sejak akhir abad ke-19, pemikiran al-Afghani, Abduh, dan Ridha mulai beredar di nusantara. Penyebaran itu mendorong kebangkitan organisasi massa Islam modernis-reformis seperti Muhammadiyah atau Persis yang selain bertujuan mengembalikan pemahaman dan praktik Muslim kepada Alquran dan hadis juga membawa mereka ke alam modern melalui dakwah damai, pendidikan, dan penyantunan sosial.

Dalam pertumbuhan Salafisme keras dan Salafisme lunak di atas, di mana letak pesantren Salafi? Di mana akar-akar pesantren Salafi? []

REPUBLIKA, 08 Februari 2018
Azyumardi Azra  ;   Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar