Kamis, 15 Februari 2018

(Hikmah of the Day) Empati Mbah Ngis kepada Janda Miskin Tak Beranak



Empati Mbah Ngis kepada Janda Miskin Tak Beranak

Dalam masyarakat kita ada kecenderungan sebagian orang memandang sebelah mata mereka yang tak bisa memberikan keturunan. Apalagi jika mereka perempuan. Beberapa suami menceraikan istrinya hanya karena ia mandul. Hal seperti ini  dialami seorang wanita yang Mbah Ngismatun Sakdullah Solo (wafat 1994) memanggilnya “Bulik” untuk “mbasakke” anak-anak Mbah Ngis. Memang masih ada hubungan kerabat antara Mbah Ngis dengannya meski tidak sangat dekat. Sebut saja perempuan itu beranama Bulik Fulanah.

Betul. Bulik Fulanah dicerai suaminya hanya karena tak bisa memberikan keturunan. Sejak itu Bulik Fulanah hidup menjanda. Suami tak ada. Anak tak punya. Kakak atau adik sudah tiada. Orang tua juga sudah lama meninggal dunia. Bulik Fulanah tak punya keluarga. Ia sebatang kara. Masih beruntung ada keponakan yang bersedia menampung hidupnya di rumah di sebuah kampung yang padat penduduk. 

Bulik Fulanah hidup menderita. Ia tak punya apa-apa alias miskin. Jika diperbandingkan, Bulik Fulanah sangat kontras dengan Mbah Ngis meskipun ada beberapa persamaan, seperti sama-sama bukan orang kaya yang berjualan makanan kecil. Bulik Fulanah tak memiliki seorang anak pun. Mbah Ngis memiliki 13 anak. Bulik Fulanah dikenal suka banyak bicara.  Sedangkan Mbah Ngis cukup tahu kapan harus bicara dan kapan harus diam. Kebiasaan banyak bicara yang topiknya tidak selalu menarik kadang membuat beberapa orang tak menyukai Bulik Fulanah. 

Tetapi bagi Mbah Ngis, semua kekurangan Bulik Fulanah tak dipermasalahkan. Mbah Ngis cukup toleran terhadap hal-hal yang bersifat pribadi. Mbah Ngis cukup mengerti tidak setiap orang berpengatahuan luas atau memiliki banyak pengalaman menarik untuk diceritakan kepada orang lain. Mbah Ngis malahan menaruh iba yang mendalam terhadap nasib Bulik Fulanah sebagai sesama saudara sekaligus sesama perempuan. 

Sudah lama Mbah Ngis bertanya pada diri sendiri kapan bisa menyenangkan Bulik Fulanah dengan memberikan atau mewujudkan sesuatu yang membuatnya berbesar hati. Mbah Ngis lama berpikir soal itu hingga akhirnya Mbah Ngis menemukan gagasan. 

Gagasan itu adalah mengajaknya pergi ke Jakarta, sebuah kota metropolitan dengan segala kemegahannya. Mbah Ngis sendiri belum pernah ke Ibu Kota. Kali ini ada kesempatan bagi Mbah Ngis pergi ke sana, tapi bukan karena Mbah Ngis memiliki banyak uang. Salah seorang keponakan Mbah Dullah di Jakarta mempunyai hajat menikahkan putrinya. 

Keponakan itu cukup mapan secara ekonomi karena ia seorang pejabat penting. Mbah Ngis dan Mbah Dullah diundang menghadiri resepsi perkawinan itu. Segala sesuatu terkait dengan transportasi, konsumsi dan akomodasi selama di perjalanan Jakarta pulang-pergi sudah ada yang mengurus dan semuanya ditanggung oleh sang keponakan. Mbah Ngis dan Mbah Dullah tinggal menyiapkan diri, terutama kesehatannya, agar bisa hadir. Mbah Ngis sangat senang atas undangan ini dan bersyukur karena semua fasiltas tersedia secara cuma-cuma. 

Rasa syukur itu diwujudkan Mbah Ngis dalam bentuk menyisihkan selama sebulan penuh uang hasil berjualan makanan kecil setiap hari di pondok. Mbah Ngis ingin sekali mengajak Bulik Fulanah ke Jakarta dengan seluruh biaya ditanggung Mbah Ngis. 

Benar. Mbah Ngis, Mbah Dullah dan Bulik Fulanah serta rombongan lain dari Solo berangkat bersama ke Jakarta dengan menaiki Kereta Api Senja Utama. Itu adalah kali pertama dan terakhir bagi Mbah Ngis dan Bulik Fulanah pergi ke Jakarta. Juga merupakan kali pertama dan terakhir menaiki kereta api kelas bisnis. 

Sekembalinya ke Solo, Bulik Fulanah memiliki banyak cerita tentang Jakarta dan orang-orang besar yang dilihatnya di resepsi pernikhan putri keponakan Mbah Dullah. Banyak orang tertarik menyimaknya meski ada sebagian kecil berpura-pura tak mendengar. Yang pasti mereka semua menikmati “oleh-oleh” yang dibawa Bulik Fulanah dari Jakarta.  Peristiwa ini terjadi puluhan tahun lalu di awal tahun 1990-an. []

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar