Rabu, 04 Januari 2017

Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga Sempat Beda Pendapat soal Model Dakwah



Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga Sempat Beda Pendapat soal Model Dakwah

Para tokoh utama penyebar Islam di seluruh Indonesia, Wali Songo dikenal inklusif (terbuka) dalam menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai Islam ke masyarakat Nusantara. Mereka bukan tanpa resisten dalam melakukan misi dakwahnya, karena masyarakat kala itu kental dengan budaya dan tradisi yang telah mengurat dan mengakar.

Budaya yang unik dan tradisi yang telah berjalan turun-temurun menjadi tantangan sekaligus potensi tersendiri dalam misi dakwah para wali sembilan itu. Sebagai tantangan, sebab para wali tidak mungkin memberangus budaya dan tradisi masyarakat begitu saja, sedangkan potensi memungkinkan dakwah para wali memiliki instrumen ampuh dalam menyemayamkan agama Islam melalui budaya.

Salah satu anggota Wali Songo yang akrab dengan tradisi dan budaya dalam menyebarkan Islam adalah Sunan Kalijaga (Raden Mas Said). Bahkan salah satu murid Sunan Bonang ini kerap menciptakan tembang dan karya-karya seni lain untuk menarik minat masyarakat secara tidak langsung untuk mempelajari Islam. 

Namun demikian, model dakwah yang digagas oleh Sunan Kalijaga itu tidak serta merta mendapat dukungan dari para wali lain. Suatu ketika, dalam rapat dewan wali untuk membahas strategi dakwah Islam, Sunan Ampel yang kala itu menahkodai Wali Songo sempat tidak setuju menggunakan instrumen tradisi dan budaya masyarakat dalam menyebarkan Islam (Choirul Anam, 2010).

Kekhawatiran ini dipahami betul oleh Sunan Kalijaga, karena Sunan Ampel tidak ingin ajaran Islam tercampur dengan budaya dan tradisi masyarakat. Seketika itu pula Sunan Kalijaga memberikan argumentasinya bahwa Islam tidak akan tercampur dengan budaya dan tradisi, melainkan Islam akan memberikan ruh terhadap kebiasaan-kebiasaan masyarakat tersebut.

Artinya, Islam 100 persen tetap pada ajarannya dan masyarakat pun tetap dapat menjalankan tradisinya dengan bingkai nilai-nilai Islam. Inilah yang disebut bahwa Islam tidak akan mencerabut akar tradisi dan budaya masyarakat. Karena jika diandaikan agama adalah sebuah pohon, maka budaya dan tradisi adalah tanahnya. Pohon tidak akan berkembang besar, tinggi, dan berbuah jika tidak ada media tanam. 

Melalui akulturasi budaya, masyarakat saat itu juga dapat memahami Islam secara substantif, bukan berdasarkan simbol dan ayat-ayat suci yang hanya dipahami secara tekstual. Kontekstualisasi ajaran Islam yang digagas oleh Sunan Kalijaga dan sunan-sunan lain melalui instrumen budaya akhirnya mendapat respon positif dewan wali sehingga agama Islam terus berkembang dan menjadi agama mayoritas di negeri ini.

Menilik sejarah panjang penuh dengan keindahan tersebut, betapa harus sadarnya masyarakat dan bangsa ini terkait peneguhan identitas diri. Islam yang dibawa oleh Wali Songo tidak mengajarkan kemarahan, tetapi keramahan; tidak memukul, tetapi merangkul; tidak mengejek, tetapi mengajak; tidak eksklusif (tertutup/kaku), tetapi inklusif (terbuka/luwes); dan tidak menggurui, namun menjamui. []

(Fathoni Ahmad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar