Jumat, 06 Januari 2017

Heroisme Santri Lirboyo dalam Perang Mempertahankan Kemerdekaan di Tahun 1945



Heroisme Santri Lirboyo dalam Perang Mempertahankan Kemerdekaan

Resolusi Jihad  yang menekankan wajibnya perang sabil melawan penjajah kolonial sebagai hasil keputusan dalam konferensi para ulama yang tergabung dalam Jam'iyah NU (kala itu masih bernama Hoofd Bestuur Nahdlatul Oelama, HBNO).

Konferensi tersebut diikuti oleh para konsul khususnya dari Jawa dan Madura yang dipimpin oleh Hadhratussyekh Hasyim Asyari pada 21-22 Oktober 1945 bertempat di kantor HBNO Jalan Bubutan Surabaya. 

Spirit pertemuan itu benar-benar menggerakkan dan menyuntikkan semangat semua komponen bangsa ini untuk ikut berjuang memberi andil mempertahankan kemerdekaan bangsa saat Belanda hendak kembali menjajah dengan memboncengi Pasukan Sekutu.

Pertempuran Surabaya yang memuncak pada 10 November 1945 yang kini diperingati sebagai hari pahlawan merupakan suatu rangkaian peristiwa yang dimulai pada hari kedua tentara Sekutu dibawah pimpinan Brigadir Jenderal AWS. Mallaby saat mendarat untuk pertamakali di Surabaya pada 25 Oktober 1945.   

Sebagai respons dari resolusi jihad di atas, terutama kaum santri dari pelbagai pesantren dari banyak daerah kian tergerak untuk terlibat dalam aksi peperangan membela tanah air. Salah satu pesantren yang tempo itu begitu intens terlibat dan terjun ke medan perang berjuang untuk tanah air menghadapi musuh baik di era penjajahan Belanda maupun Jepang adalah Pesantren Lirboyo Kediri, di samping pesantren lain seperti Tebuireng, Buntet Cirebon, dan lain-lain.  

Dengan mengendarai truk dan hanya bersenjata sederhana, Para Santri Lirboyo di bawah komando langsung KH Mahrus Aly berangkat menuju Surabaya menghadapi pasukan Sekutu yang kian hari makin mengganggu stabilitas keamanan dan kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah diproklamasikan. Tercatat nama-nama merereka yang dikirim antara lain: Syafi'i Sulaiman, Agus Jamaludin, Masyhari, Ridlwan, Baidhowi, dan Damiri. 

Mereka kesumanya berasal dari Kediri. Ada lagi Abu Na'im Mukhtar dari Salatiga, Khudhari dari Nganjuk, Sujairi dari Singapura, Zainudin Blitar, Jawahir Jember, Agus Suyuti Rembang, dan masih banyak lagi santri lainnya. Sebelumnya, KH Mahrus Ali yang mengkoordinir pasukan santri dan laskar Hizbullah tersebut juga salah satu Kiai yang ikut menghadiri dan menyepakati tercetusnya Resolusi Jihad di gedung HBNU Bubutan Surabaya.

Pengiriman pertama ini berjumlah 97 santri. Di surabaya mereka kemudian tergabung dengan Laskar Hizbullah. Selama 8 hari di Surabaya semua santri tersebut menjalankan puasa yang telah diijazahkan oleh Kiai Mahrus. Pada momen perang ini rombongan santri Lirboyo tersebut berhasil merebut sembilan pucuk senjata dari pasukn musuh, dan semuanya dapat kembali dalam keadaan selamat.

Keberhasilan ini tentu tak lepas pula dari restu dan doa KH Abdul Karim dan menantunya KH Marzuki Dahlan yang dari pondok senantiasa memberikan dukungan batin dan spiritual melalui aneka mujahadah yang dipinpin langsung beliau berdua untuk mendoakan bukan hanya bagi santri Lirboyo tapi untuk para pejuang bangsa secara umum.

Sebelum pertempuran Surabaya meletus, tepatnya pasca Bung Karno dan Bung Hatta memplokamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 agustus 1945, Perjuangan para santri Lirboyo telah mulai bergelora.

Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan, Mayor Mahfud yang merupakan mantan Sudanco PETA (semacam komandan seksi) di daerah Kediri menyampaikan berita gembira kemerdekaan itu kepada KH Mahrus Aly, dilanjutkan dengan pertemuan para santri di serambi Masjid Pondok Pesantren Lirboyo. 

Di sana diumumkan bahwa rakyat Indonesia yang telah sekian abad lamanya dijajah oleh pihak asing, sekarang telah resmi merdeka. Santri Lirboyo dalam kesempatan yang sama itu, sepakat melucuti senjata Jepang di Markas Kompitai Dai Nippon di Kediri (kini Markas Brigif 16 Kodam V Brawijaya) yang letaknya sekitar 1,5 Km dari arah timur Pondok Pesantren Lirboyo.

Pada malam hari dengan peralatan seadanya berangkatlah 440 santri mengadakan pernyerbuan di bawah komando KH. Mahrus Aly, Mayor Mahfudh dan Abdul Rakhim Pratalikrama. 

Adalah Syafii Sulaiman yang di kemudian hari menjadi Wakil Ketua PWNU Jawa Timur. Santri yang masih berusia 15 tahun itu, diutus oleh Kiai Mahrus untuk menyusup ke markas Dai Nippon guna mempelajari keadaan dan memantau kekuatan lawan. Setelah penyelidikan dirasa cukup, Syafii segera melapor kepada Kiai Mahrus dan Mayor Mahfudh.

Invasi para santri itu berhasil. Atas kebijaksanaan Kiai Mahrus, satu truk senjata hasil lucutan Jepang itu dibawa ke Pondok Lirboyo dan setelahnya diserahkan kepada Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang hingga kini (saat buku disusun, red) masih tersimpan di Markas Brawijaya Kediri. []

M. Haromain, Tim Penulis buku Sejarah Pesantren Lirboyo terbitan BPK P2L dan Pustaka 1 Abad Lirboyo, 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar