Melumpuhkan
NIIS
Oleh:
Zuhairi Misrawi
Negara
Islam di Irak dan Suriah secara resmi mengklaim sebagai aktor utama aksi
terorisme di Jalan MH Thamrin, Jakarta. Ini membuktikan, NIIS telah menabuh
genderang perlawanan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam
rilis yang disebar oleh NIIS, secara eksplisit mereka menegaskan aksi tersebut
bukanlah yang terakhir, melainkan permulaan untuk tujuan yang lebih besar.
Mereka mengklaim berhasil mengalahkan koalisi salibis dan para aparat keamanan
yang disebut sebagai kaum murtad.
Meskipun
NIIS dengan gagah berani menganggap aksi mereka berhasil, sebenarnya rilis
mereka yang mengklaim menewaskan 15 orang dan beberapa orang lainnya terluka
tidak sesuai realitas di lapangan. Pasalnya, seluruh pelaku teroris yang
notabene anggota NIIS tewas. Pihak kepolisian justru berhasil melumpuhkan aksi
brutal NIIS dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Presiden
Joko Widodo langsung mendatangi lokasi kejadian untuk memastikan aksi terorisme
bisa dikendalikan dengan cepat. Presiden mengirim pesan konkret: negara tidak
akan takut dan tidak boleh kalah dari NIIS. Namun, pertanyaannya, apakah kita
benar-benar mampu melumpuhkan NIIS di masa mendatang, mengingat keahlian dan
kecanggihan NIIS dalam melakukan aksi yang sering penuh kejutan?
Pemerintah
harus hadir
Belajar
dari peristiwa di negara-negara lain, yang telah menjadi target NIIS, secara
umum NIIS berhasil melakukan aksinya denga rapi dan sulit diduga. NIIS bisa
melancarkan aksi terorisme di mana dan kapan saja, tanpa memedulikan risikonya.
Mereka bisa mengebom masjid, pasar, dan tempat-tempat wisata. Bahkan, mereka
bisa memberondong warga sipil yang tidak berdosa.
Maka,
pemerintah harus selalu waspada dan memantau dengan cermat pergerakan anggota
NIIS. Belajar dari Belgia dan Jerman, mereka justru membatalkan beberapa
aktivitas yang melibatkan perkumpulan massa untuk mengantisipasi dampak
terburuk dari ancaman NIIS. Tewasnya 5 anggota NIIS dalam aksi yang lalu hampir
bisa dipastikan akan memicu balas dendam dan perlawanan, mengingat solidaritas internal
mereka sangat kuat.
Dalam
rilis yang disebarkan NIIS ada dua kelompok yang jadi target sasaran mereka.
Pertama, koalisi salibis. Istilah ini merujuk Amerika Serikat dan sekutunya
yang telah berperang melawan NIIS di Irak dan Suriah. Apalagi Presiden Barack
Obama dalam pidato terakhirnya di Kongres AS menegaskan komitmennya menumpas
jaringan teroris, khususnya NIIS dan Al Qaeda. Rusia juga jadi sasaran mereka.
Kedua,
aparat keamanan yang dianggap kaum murtad. Pihak Kepolisian Negara RI,
khususnya Densus 88, selama ini dikenal serius memburu jaringan NIIS dan Al
Qaeda. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang ditangkap dan tewas dalam baku
tembak. Kemampuan pihak kepolisian dalam mengidentifikasi, mempersempit, dan
melumpuhkan jaringan teroris sudah terbukti. Sebab itu, NIIS punya misi khusus
menjadikan aparat keamanan sebagai sasaran utama mereka.
Meski
demikian, bukan berarti NIIS tak akan menjadikan warga sipil sebagai sasaran.
Di banyak negara, NIIS justru menjadikan warga sipil sebagai sasaran. Apalagi
kita semua tahu, pasca tragedi 14 Januari, publik menjadikan NIIS sebagai musuh
bersama. Muncul gerakan perlawanan dari publik yang cukup besar, bahwa kita
semua menolak takut terhadap NIIS.
Salah
satu tujuan utama NIIS menciptakan ketakukan. Menurut Jessica Stern dan JM
Berger dalam ISIS: The State of Terror, NIIS sedang memainkan perang
psikologis. Tujuan mereka menebarkan ketakutan dan memprovokasi lahirnya
kebijakan-kebijakan yang bersifat reaktif.
NIIS
sangat lincah dalam memainkan media sosial sebagai bagian untuk menyebarkan
ideologi dan perekrutan. Di sini, upaya melawan NIIS tak semudah yang
dibayangkan. Mereka bisa jadi dikalahkan oleh aparat keamanan, tetapi bisa
dengan mudah memenangi pertarungan di udara. Bersamaan keberhasilan mereka
menyebarkan ketakutan, mereka terus melakukan proliferasi gagasan melalui media
sosial dan rekrutmen kader baru.
Di sini,
pemerintah harus benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat. Kehadiran
pemerintah tidak cukup hanya dengan pendekatan penindakan, seperti yang selama
ini maklum melalui Densus 88. Bahkan, jika tidak hati-hati apa yang sudah
dilakukan Densus 88 bisa mempunyai efek domino yang tidak bagus. NIIS bisa
mengais keuntungan karena dapat mencitrakan dirinya sebagai kelompok yang
ditekan oleh pemerintah.
Umumnya,
mereka yang terlibat di NIIS adalah mereka yang selama ini diabaikan oleh
negara. Mereka korban dari sistem yang tidak adil. Kebetulan ada pihak yang
menawarkan ideologi utopis yang seolah-olah memberikan harapan di alam baka.
Tesisnya, jika gagal di dunia, maka masih ada harapan pasca kematian.
Tak boleh
pasif
Di sini
upaya melumpuhkan NIIS harus dipotret secara paripurna. Perlu upaya menyeluruh
agar NIIS tidak tumbuh subur di negeri ini. Saatnya negara menyapa mereka yang
terpinggirkan dengan mempertegas komitmen pemerintah untuk mewujudkan keadilan
dan kesejahteraan.
Bersamaan
dengan itu, deradikalisasi melalui penyadaran dan pemberdayaan harus terus
digalakkan. Masjid dan majelis taklim adalah forum yang paling tepat untuk
menyebarkan wawasan kebangsaan dan keislaman yang dapat menumbuhkan cita rasa
kemanusiaan.
Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah tidak boleh lagi menjadi kelompok moderat yang pasif.
Negara sedang berada dalam keadaan darurat. Perlu inisiatif yang serius untuk
merangkul mereka yang sudah terjaring dalam NIIS dan kelompok radikal lainnya.
Program
deradikalisasi melalui masjid dan majelis taklim perlu diprioritaskan karena
ide- ide negara Islam dan kekerasan atas nama agama dengan mudah diceramahkan
di tempat-tempat ibadah. Misalnya, gagasan tentang mencintai Tanah Air sebagai
bagian dari iman dan komitmen para ulama Nusantara dalam membangun negara
damai—bukan negara Islam (darul Islam)— harus senantiasa digelorakan, sehingga
ideologi NIIS tidak punya tempat di hati umat Islam yang masih awam terhadap
sejarah dan paham keagamaan.
Tantangan
dalam beragama saat ini, karena gagasan mengafirkan siapapun yang berbeda
agama/paham mulai tumbuh subur di tengah-tengah kita. NIIS berhasil menanamkan
ideologi tersebut dalam rangka menciptakan gagasan hanya kelompok NIIS yang
paling benar. Pemahaman solider seperti itu lambat laun mulai berkembang
bersamaan dengan hilangnya kearifan dalam beragama.
Selain
itu, pemerintah harus memastikan bahwa Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika
diajarkan di seluruh tingkatan pendidikan. Perlu disiapkan kurikulum khusus
dengan tenaga pengajar yang andal. Survei membuktikan bahwa tak sedikit guru
yang juga tergiur ideologi NIIS. Ini menjadi tantangan serius bagi pemerintah
untuk meneguhkan, guru merupakan jangkar utama untuk mengantarkan gagasan
kebangsaan.
Jika itu
semua dilakukan, kita bisa melumpuhkan NIIS di Bumi Pertiwi. Di masa lalu, para
pendiri bangsa sudah terbukti berhasil melumpuhkan ideologi Negara Islam
Indonesia, dan kita saat ini punya tanggung jawab besar memenangi kembali
Pancasila sebagai common platform seluruh warga negara-bangsa dari ancaman
NIIS. []
KOMPAS,
27 Januari 2016
Zuhairi
Misrawi | Intelektual Muda NU dan Peneliti The Middle East Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar