KH Ahmad Shofawi,
Tokoh Alim nan Dermawan
Pondok Pesantren
Al-Muayyad Mangkuyudan, Solo, Jawa Tengah, Rabu (20/1) mendatang, akan
mengadakan peringatan haul para sesepuh pondok, salah satunya adalah KH. Ahmad
Shofawi. KH. Ahmad Shofawi, putera dari Akram bin Ikram bin Thohir lahir di
Kota Solo pada tahun 1879. Selain sebagai salah satu tokoh pendiri Al-Muayyad,
juga dikenal sebagai seorang pengusaha yang dermawan lagi sholeh. Juga wira’i,
cermat dan hati-hati dalam menjalankan syariat, tawaddhu’ dan rendah hati.
Beliau sangat menyayangi ulama dan kyai-kyai serta berbahasa Jawa halus (Kromo
Inggil).
Sejak kecil, ia
mendapatkan pendidikan agama terutama dari sang Bapak. Setelah menginjak usia
remaja, Shofawi mondok di Pesantren yang diasuh Kiai Ahmad Kadirejo Klaten guna
mempelajari dan mendalami ilmu tasawuf, Thoriqoh Naqsabandi. Di
pesantren ini pula ia bertemu dengan sahabatnya, KH Abdul Mannan (ayah KH Ahmad
Umar), yang kelak bersama-sama mendirikan Pondok Pesantren Al-Muayyad
Mangkuyudan.
Saat menjadi santri,
Shofawi bercita-cita menghafal Al-Quran, akan tetapi hal tersebut tidak sempat
terwujud. Namun disamping itu, ia juma memiliki tiga cita-cita lainnya, yaitu;
berkediaman di dekat (mangku) masjid, menunaikan ibadah haji dengan kapal
berbendera Islam, dan memiliki anak-anak yang mangku (mengasuh) pondok
pesantren. Cita-cita tersebut, di kemudian hari, semuanya telah terwujud.
Putera-puterinya kini
menjadi pengasuh berbagai pondok, antara lain KH Rozaq Shofawi (Pesantren
Al-Muayyad Mangkuyudan Solo) dan Nyai H. Siti Maimunah Baidlowi, mendampingi
suaminya KH A. Baidlowi (almarhum), mengasuh Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin
di Brabo.
Kembali ke Solo,
Shofawi muda kemudian menekuni dunia usaha. Di bidang dunia usaha, Kiai Shofawi
terkenal sebagai pengusaha yang bonafide dan maju. Di saat orang masih
menggunakan alat tenun tangan, beliau telah menggunakan alat tenun mesin, suatu
yang sangat langka pada masa itu. Kualitas barang selalu dijaga, pelayanan yang
baik dan barang dijual dengan layak. Kesemuanya membuat perusahaan batik dan
tenun cap “Pohon Kurma” milik beliau dapat menguasai pasar Solo dan Surabaya.
Dengan kekayaannya,
beliau gunakan untuk membantu berbagai macam pihak, termasuk menyediakan
keperluan para pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam barisan kiai Sabilillah
maupun Hizbullah yang terkenal dengan “Pasukan Lawa-lawa”.
Tak hanya itu, Mbah
Kaji Sapawi, begitu sapaan masyarakat kepadanya, turut membantu pembangunan masjid
dan pesantren di berbagai daerah, antara lain 3.500 meter persegi untuk
membangun pesantren, madrasah dan masjid Al-Muayyad, Laweyan Solo. Kayu jati
untuk masjid di pondok pesantren Krapyak Yogyakarta-pun, atas pembiayaan
beliau. Pondok pesantren lainnya juga banyak dibantunya, seperti pesantren
Serang Rembang, pondok pesantren Gontor Ponorogo dan lain sebagainya.
Bantuan yang berikan
di masa lampau tersebut, bahkan masih diingat oleh pengasuh pesantren generasi
penerusnya. Seperti yang dituturkan salah satu putera Mbah Kaji Sapawi, KH
Idris Shofawi, saat diwawancarai NU Online di kediamannya, belum lama ini
(14/10).
“Dulu sewaktu saya
masih muda, saya pergi ke Gontor bersama sejumlah jamaah. Di sana, pendiri
Pondok Gontor Kiai Zarkasyi dalam sambutannya mengatakan ketika masih membangun
Pondok Gontor, ia mengirim 3 utusan ke Solo untuk mencari tambahan donatur.
Salah satunya ke Mbah Sapawi. Kemudian oleh Mbah Sapawi, dicukupi biaya yang
dibutuhkan,” terang Kiai Idris.
Bangun Masjid
Tegalsari
Kiai Showafi, pula
yang banyak mendukung berdirinya madrasah dan masjid di Tegalsari. Tanah yang
menjadi tempat untuk mendirikan masjid serta sebagian yang sekarang menjadi
kompleks bangunan pesantren dan sekolah MI/SD/SMP Ta’mirul Islam di Tegalsari,
merupakan wakafnya. Tanah seluas 2000 m2 (lebar 40 m, panjang 50 m) tersebut,
dulunya disebut gramehan yaitu tempat untuk memelihara ikan gurami.
Saat membangun masjid
tersebut beliau sangat berhati-hati, karena karena beliau dikenal sebagai Kiai
wira’i (cermat dan hati-hati menjalankan syari’at), suka riyadlah (prihatin
demi cita-cita luhur) serta taat kepada guru dan kiai. Kewira’i-an beliau
ditandai dengan beliau memerintahkan seluruh tukang harus berwudlu sebelum
berkerja, agar mereka dalam keadaan yang suci juga.
Dan atas perintah
ayahnya, Masjid Tegalsari dibangun dengan tiga syarat, yaitu; 1) Dilarang
mencari dana dengan mengeluarkan surat edaran ke manapun., 2) Harus dibiayai
sendiri (prinsip mandiri)., 3) Bila ada dermawan lain memberi bantuan supaya
diterima, tetapi tidak usah meminta bantuan. Hal ini dipegang teguh dalam
pendirian masjid sampai selesai. Dana-dana yang masuk harus halal. Karena ini
untuk menjaga kesucian dari pembangunan masjid Tegalsari.
Kesucian Masjid
Tegalsari memang benar-benar dijaga oleh pendirinya yaitu KH Ahmad Shofawi.
Saat itu Indonesia masih diduduki Belanda, dan Belanda mencurigai Masjid
Tegalsari sebagai tempat persembunyian pejuang kemudian Belanda masuk tanpa
melepas alaskaki dan membawa anjing pelacak.
Setelah Belanda
keluar dari masjid, KH Ahmad Shofawi langsung menyujikan sendiri masjid itu, 7
kali dengan air dan salah satunya dengan pasir untuk menghilangkan najis mugholladhoh
(najis besar). Dalam kesucian beliau sangat berhati-hati, dalam kesehariannya
beliau mencuci pakaiannya sendiri, ini dikarenakan agar beliau dapat memastikan
pakaian yang dipakai benar-benar suci.
Konsisten akhir hayat
Sebagai seorang tokoh
panutan di lingkup Tegalsari, bahkan wilayah Surakarta, Mbah Kaji Sapawi
menjadi sosok yang benar-benar konsisten dalam menjaga dua prinsip: Quu
anfusakum wa ahlikum naaran (jagalah dirimu dan keluargamu dari Api Neraka)
dan wa ta’awanu ‘alal birri wat taqwa (tolong menolonglah kalian semua dalam
kebaikan dan taqwa).
“Bahkan hingga jelang
akhir hayatnya, Mbah Sapawi tetap ikut mengawasi pendidikan dan ibadah
putera-puterinya. Seringkali ia shalat berjamaah di masjid, berada di shaf
belakang putranya yang masih kecil, seperti Pak Idris dan Pak Muid untuk
mengawasi sholat mereka. Setelah sahalat kalau masih gojek, beliau menyabetkan
serban sebagai peringatan masih mengawasi,” ungkap salah satu tokoh Masjid
Tegalsari, Ahmaduhidjan, saat disambangi NU Online, di kediamannya, beberapa
waktu lalu.
Di bidang pendidikan,
imbuh Mbah Ahmadu, Mbah Sapawi juga mendatangkan beberapa ulama untuk
mengajarkan pendidikan agama Islam kepada puteri-puterinya. “Mbah Kiai Shofawi
mengundang sejumlah kiai antara lain KH Djauhar Keprabon, KH Mawardi Sepuh
Keprabon, KH Masjhud Keprabon, dan KH Asy’ari Tegalsari.untuk datang ke
rumahnya dan mengajari putra-putrinya belajar ilmu agama, dan kemudian juga
turut bergabung anak putri yang lain,” ungkap dia.
Keistiqomahan beliau
dalam ibadah dan berhubungan baik dalam masyarakat terjaga hingga pada usia 83
tahun, tepatnya pada tahun 1962, Kiai Shofawi wafat. Jenazah beliau dimakamkan
di Maqbaroh “Pulo” Laweyan Solo. Lahu al-fatihah!
(Ajie Najmuddin)
Sumber:
- A Hakim Adnan.
1993. Sejarah Masjid Tegalsari. Solo. Asya Grafika.
- Wawancara H
Ahmaduhidjan, 8 Oktober 2015.
- Wawancara KH Idris
Shofawi, 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar