Krisis
Peradaban Arab Muslim (I) (Dalam Pandangan Khaled Abou el Fadl)
Oleh :
Ahmad Syafii Maarif
Dalam Religion and Ethics, 23
April 2015, Profesor Khaled Abou El Fadl (ejaan namanya dikutip sebagaimana
aslinya) menulis artikel panjang dan marah, di bawah judul “The End of
Arab Spring, the Rise of ISIS and the Future of Political Islam.” Resonansi ini
sebagian besar bersumber dari artikel ini, disertakan pula reaksi saya
terhadap butir-butir tertentu yang terbaca di dalamnya.
Abou El
Fadl, seorang faqih kenamaan kelahiran Kuwait pada 1 Jan. 1953, penulis
prolifik dalam masalah-masalah Islam, hukum Islam, hak-hak asasi manusia, dan
krisis peradaban Arab Muslim kontemporer. Puluhan artikel telah ditulisnya di
samping 14 buku penting tentang berbagai masalah Islam dan dunia modern.
Sikapnya yang kritikal terhadap faham-faham keislaman yang sedang berkembang
dan terhadap aspek-aspek buruk modernitas telah menempatkan tokoh ini sebagai
penulis kontroversial, baik di kalangan umat Islam mau pun di kalangan sarjana
Barat yang mencurigainya. Sekitar tahun 2007 saya pernah mengikuti ceramahnya
di kantor PP Muhammadiyah Jakarta. Belum semua karya dan artikelnya sempat saya
baca. Beberapa tahun yang lalu, saya telah pula mengulas pandangan El Fadl
tentang Peta Umat Islam di ruang ini.
Sebelum
mengawali artikel di atas, Abou El Fadl sengaja mengutip pernyataan penulis
Arab lain Mahmoud Khaled Mahmoud berikut ini: “Para pemimpin Arab yang korup,
pemerintahan Barat yang rakus dan rasis, massa Arab yang tergoncang berat, dan
kelompok badut (buffoons)
yang angkuh yang mengklaim berbicara untuk Islam, semuanya bersekongkol untuk
menghabisi Musim Semi Arab.” Artikel Abou El Fadl sebenarnya ingin menjelaskan
secara lebih rinci pernyataan Khaled Mahmoud yang tajam dan konklusif itu.
Pernyataan
ini sedang membidik tiga aktor utama sebagai penyebab pokok kegagalan Gerakan
Musim Semi Arab yang kemudian menempatkan massa Arab pada situasi luka parah
dan jiwanya terpukul berat: pemimpin Arab yang korup, pemerintahan Barat yang
rakus dan rasis, dan kelompok ISIS yang angkuh sebagai badut, tetapi berbicara
atas nama Islam. Saya berharap tuan dan puan yang berminat untuk membaca
keseluruhan artikel Abou El Fadl di atas yang dengan mudah bisa diakses lewat
internet.
Apa
tujuan mulia dan agung yang hendak diraih oleh Gerakan Musim Semi Arab yang
dimulai dari Tunisia bulan Desember 2010 itu? Menurut Abou El Fadl, tujuan itu
tersimpul dalam perkataan magis ḥurriyya
(kebebasan) yang bisa bermakna lain bagi lain orang—tetapi setidak-tidaknya,
perkataan itu berarti bebas dari penindasan, penghisapan, korupsi, dan lepas
dari keberadaan sebagai hamba. Massa Arab mungkin sudah ratusan tahun tidak
lagi merasakan ḥurriyya itu. Maka Gerakan Musim Semi Arab itu ingin merebut
nilai itu kembali, tetapi masih gagal, dipukul oleh tiga aktor jahat utama di
atas. Abou El Fadl menulis: “Tetapi Musim Semi Arab itu adalah ibarat janin
pada sebuah klinik aborsi; ia tidak pernah mendapatkan peluang.” Bumi Arab
sudah terlalu gersang bagi berkembangnya gagasan-gagasan segar yang menempatkan
warga negara sebagai manusia merdeka, sebab kemerdekaan itu sudah ratusan tahun
hanyalah milik penguasa yang mendapatkan pembenaran syar’i dari ‘ulama.
Mengapa
Gerakan Musim Semi Arab harus mengalami keguguran? Abou El Fadl menjawab:
“Karena sebuah Timur Tengah yang demokratis tentulah akan menjadi sebuah
habitat yang papa bagi keberlangsungan rezim-rezim militer parasit dan
kekuasaan syekh-syekh minyak yang tengik (putrid oil sheikhdoms), yang membasmi
ruang apa pun yang sehat bagi pengembangan lembaga-lembaga kewargaan yang
dapat memperkuat dan memelihara pertumbuhan nilai-nilai kewargaan. Rezim-rezim
itu tidak mungkin menguasai warga negara. Mereka hanyalah dapat menguasai para
budak.” Ironisnya, iklim perbudakan ini diberi baju Islam, alangkah nistanya!
Terasa di
sini, ungkapan yang digunakan Abou El Fadl keras sekali dan sarkastik. Tetapi
sebagai seorang pemikir Arab yang tercerahkan, ya, itulah ungkapan yang
mewakili realitas pahit di kawasan yang resmi beragama Islam yang tidak sepi
dari kegaduhan itu. Penulis-penulis Arab semisal Mahmoud Khaled Mahmoud, Abou
El Fadl, Bassam Tibi, Fatima Mernissi, Hassan Hanafi, Ali Ahmad Said (dipanggil
Adonis), Azizah al-Hibri, dan nama-nama lain, adalah di antara pemikir yang
berani menelanjangi diri sendiri, demi sebuah masa depan Arab yang egalitarian,
adil, demokratis, dan berdaulat, bukan sebuah Arab yang dikuasai oleh para
despot yang kelam yang memperalat agama untuk tujuan-tujuan duniawi. []
REPUBLIKA,
26 Januari 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar