Senin, 01 Februari 2016

(Buku of the Day) Kaidah Berpolitik dan Bernegara



Meneguhkan Percaturan Politik Nusantara


Judul                : Kaidah Berpolitik dan Bernegara
Penulis             : KH Abdul Wahab Chasbullah
Penerbit            : Langgar Swadaya, Depok
Cetakan            : II, Januari 2015
Tebal                : 164 Halaman 
Peresensi          : Maghfut MR, staf peneliti ICRS UGM dan Adab UIN Su-Ka Jogja

Politik hanyalah alat bukan tujuan. Kaidah ini yang dijadikan tongkat oleh Kiai Wahab Chasbullah dalam meneguhkan percaturan politik bangsa kita pada tahun 1914-an hingga 1970-an. Masa perjuangan dan kemerdekaan Indonesia. Dengan gigih ia menghadapi pancaroba politik yang penuh tantangan dan tekanan. Haluan politisi yang lahir dari rahim pesantren ini untuk kemaslahatan rakyat (mashâlihur ra’iyah) <>bukan kepentingan golongan. Gagasan berliannya terkuak dalam bukunya, “Kaidah Berpolitik dan Bernegara”. 

Buku edisi khusus Muktamar ke-33 NU ini berusaha mengumpulkan karya tulisnya yang tersebar di pelbagai media massa, buku, catatan muktamar, serta sidang konstituante. Penetapannya sebagai Pahlawan Nasional pada 6 November 2014 menunjukkan kepiawaiannya dalam berpolitik dan bernegara. Di antara seni politiknya tampak pada ungkapannya, di zaman ini kita harus pandai berdiplomasi dalam menghadapi Nippon. Sama-sama bersuara Hu tetapi artinya bisa berbeda. Ada Hu yang artinya huntalen (telanlah) dan ada yang Hu artinya hucolono (lepaslah), (hal. 115). Nah, bagaimana hubungan Indonesia dengan negara lain (misal, Cina) di periode Kabinet Kerja sekarang ini?

Kaidah kenegaraannya tegak kokoh dan menjadi telekan dalam pengabdiannya pada negara dan bangsa. Ia menyebutkan dalam bukunya yang cover merah itu, kita berperan dan membela negeri ini, serta mampu menempatkan diri secara benar. Terlibat dalam setiap urusan. Bahkan harus berani menjadi pelopor dalam bidang yang pihak lain tidak bisa mejalankan, (hal. 69). Namun ironis bila melihat kancah politisi dan negarawan hari ini. Tipis. Atas nama rakyat ‘sejahtera’ namun ‘jerat’ rakyat. 

Menyelami samudera perjuangannya untuk kebangkitan Indonesia kita menemukan mutiara kaidah, bahwa sang kreator inilah tokoh pertama yang memaknai nasionalisme yang meng-cover nilai Islam dan me-revere pada nilai sejarah budaya Nusantara. Nasionalisme Indonesia. Hal ini memudahkan penerimaan konsep Pancasila. Bung Karno menyebutkannya pada 1 Juni 1945. nasionalisme Indonesia berbeda dengan nasionalisme yang berkibar di Barat. Ide kiai tersebut mengakomodir hubungan simbiosis mutualistis antara agama dan negara. Proyek politik Nusantara ini telah terwujud dalam bentuk Nahdlatul Wathon (kebangkitan bangsa) (1914). 

Realisasi politik Nusantaranya adalah dengan mengadakan kajian-kajian keagamaan dan politik, serta bersilat dalam diplomasinya. Ini sebagai penyebaran gagasan nasionalisme yang berwadahkan Tasywirul Afkar (gerakan pemikiran). Tujuan utamanya untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia atau yang lebih kita kenal dengan istilah NKRI. Karena pada masa itu penjajahan Belanda masih membelenggu bangsa. 

Sepak terjang politiknya meliputi: strategi politik, demokrasi, ekonomi dan kemandiriannya, penanggulangan pemberontakan, pertahanan nasional, gerakan kemandirian rakyat, diplomasi internasional, dan tentu saja tak lupa tentang agama. Salah satu bukti diplomasi internasionalnya, Kiai Wahab melayangkan surat ke Raja Abdul Aziz bin Sa`ud dengan lima poin permohonan, di antaranya, untuk meminta kemerdekaan bermazhab bagi rakyat Hejaz pada salah satu Imam yang empat, Hanafi, Hambali, Maliki, dan Syafi`ie, (hal. 104-106). Lima permohonan tersebut dikabulkan. 

Pejuang ini mempunyai insting politik yang tinggi. Ia termasuk yang menyetujui perjanjian San Fransisco 8 September 1951. Alasannya sangat rasional dalam kebijakan politik luar negeri itu. Argumennya kuat, bahwa jika Jepang kelak bangkit dan Indonesia tidak ikut menandatangani maka Jepang akan balas dendam. Kalau suatu ketika Jepang hendak melakukan ekspansi militernya ke selatan maka Indonesia akan juga dilibas. Rakyat menjadi korban. Ada dua keuntungan bagi Indonesia yang diungkap oleh Kiai Wahab dalam penandatanganan San Fransisico, yaitu: harga diri yang bersifat mental politis dan keuntungan material yang berupa rampasan perang.

Gagasan sang kreator ini masih banyak yang tidak tersampul dalam buku suntingan Mun`im DZ. Melihat bukti perjuangannya bagi Indonesia, buku ini belum seberapa untuk mewakili penampungan ide-ide berliannya, khususnya dalam percaturan politik Nusantara. Bangsa Indonesia mengakui ketokohan Kiai Wahab. Figur yang intelek dan politisi yang titis dalam membidik langkah politiknya. Politisi ini termasuk pejuang `45 yang membawa kemerdekaan Indonesia dari cengkraman penjajah. Jasa perjuangannya tak cukup diakui sebagai tokoh Pahlawan Nasional bagi bangsa yang gemah ripah loh jinawi ini, namun juga, bangsa ini wajib mensyukuri kemerdekaan Indonesia dengan memerdekakan diri dari rantai kemalasan. 

Kiai Wahab mewariskan semangat perjuangan. Dari bukunya terlihat keyword sosok yang lengkap, gabungan antara aktivisme, intelektualisme, dan spiritualisme. Perjuangan untuk melepas mudarat rakyat. Kiai Wahab mengisyaratkan, bahwa persatuan sebagai pondasi untuk membangkitkan kemajuan bangsa, (hal. 118). Senjata paling tajam dan ampuh untuk meraih mashâlihur ra`iyah adalah kesatuan dan persatuan. 

Bangsa kita saat ini membutuhkan satu arah kesejahteraan bersama di setiap belahan tanahnya yang gembur subur. Oleh karenanya laik bagi kita membaca Indonesia dengan lebih komprehensif dan dalam. Kiai Wahab berjuang di setiap lini. Di antaranya di empat model politik demi kebangkitan bangsa dan negara, siyâsah tijâriyah (politik perdagangan), siyâsah najjâriyah (politik pertukangan), siyâsah falahiyah (politik pertanian), dan siyâsah hukûmiyah (politik pemerintahan). Ini konklusi berpolitik dan bernegara Kiai Wahab. Rumusan pemikiran sang pelopor ini mengeguhkan percaturan politik Nusantara yang arif dan bijaksana bagi semua! []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar