90 Tahun
Jam'iyyah Nahdlatul Ulama
Oleh:
Salahuddin Wahid
Ajaran
ahlus sunnah wal jamaah yang menjadi pegangan jemaah dan jam'iyyah Nahdlatul
Ulama sudah hadir di Nusantara sejak sekitar 1.000 tahun lalu.
Ajaran
itu dibawa penyebar Islam yang bersedia berdialog dengan budaya setempat dan
memakai media tradisional dalam menyebarkan Islam. Pesantren yang menjadi salah
satu pusat penyebaran Islam adalah lembaga pendidikan tertua di Nusantara.
Pesantren tertua yang kini masih aktif adalah Pesantren Sidogiri, berdiri pada
1718.
Pesantren
Tebuireng didirikan pada 1899 oleh KH Hasyim Asy'ari, jadi daya tarik bagi para
pemuda berpotensi dari berbagai daerah. Sejumlah santri terpilih yang dibina
khusus oleh Hasyim Asy'ari kemudian mendirikan pesantren di tempat mereka
tinggal setelah meninggalkan Tebuireng. Pesantren-pesantren itu kelak menjadi
pesantren besar, seperti Lirboyo, Ploso Kediri, Tegalrejo Magelang, dan
Denanyar Jombang.
Pesantren-pesantren
yang didirikan oleh alumni Tebuireng itu membentuk jama'ah (komunitas) penganut
paham Islam ahlus sunnah wal jamaah (Aswaja), yang mengikuti mazhab empat
(terutama mazhab Syafi'i). Para kiai dari komunitas pesantren itu merasakan
kebutuhan untuk mendirikan jam'iyyah (organisasi) untuk bisa meningkatkan
pengabdian mereka.
Penggagas
awal berdirinya jam'iyyah Nahdlatul Ulama (NU) adalah KHA Wahab Hasbullah,
santri Hasyim Asy'ari. Kiai Wahab menyampaikan usul itu karena paham bahwa
organisasi NU hanya akan bisa tumbuh kalau dipimpin oleh Hasyim Asy'ari.
Setelah mendapat perintah dua kali dari Syaikhona Kholil, guru yang
dihormatinya, Hasyim Asy'ari menyatakan berdirinya organisasi NU pada 31
Januari 1926 (17 Rajab 1344).
Mandiri
dan maju
Organisasi
NU lalu dikembangkan melalui jaringan pesantren, terutama alumni Pesantren
Tebuireng, yang tersebar di banyak tempat. Ternyata metode itu amat efektif.
Tahun 1935, NU punya 68 cabang dengan 67.000 anggota. Tahun 1938, berkembang
jadi 99 cabang, termasuk di luar Jawa. Organisasi baru ini tumbuh secara
mandiri. Sampai 1940, setiap tahun diselenggarakan 15 muktamar. Itu menunjukkan
bahwa organisasi NU dikelola dengan baik, dilandasi roh jihad yang kuat.
Dalam
Muktamar 1938 di Banten, NU menyatakan Hindia Belanda sebagai "dar-al
Islam", artinya negeri yang dapat diterima umat Islam. Alasannya, penduduk
Muslim dapat menjalankan syariat Islam yang dilakukan oleh para pegawai yang
juga Muslim. Ini pertama kalinya NU menerapkan tradisi Sunni dalam pengesahan
kekuasaan yang dapat diterima bila berfaedah bagi kehidupan beragama.
Walaupun
sudah menerima Hindia Belanda sebagai "dar al Islam", dalam
persidangan BPUPKI, bersama ormas Islam lain NU memperjuangkan Islam menjadi
dasar negara. Komprominya ialah Mukadimah UUD yang terkenal dengan sebutan
"Piagam Jakarta". Di dalamnya tercantum bahwa dasar negara ialah
Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat
Islam bagi Pemeluk-pemeluknya. Pada 18 Agustus 1945 beberapa tokoh Islam
bertemu Bung Hatta untuk membahas penolakan kelompok Kristen di Indonesia Timur
terhadap "tujuh kata Piagam Jakarta" itu. Menghadapi pilihan sulit
itu, para tokoh Islam itu setuju untuk mencoret tujuh kata itu sehingga sila
pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam
persidangan Konstituante (1956-1959), partai-partai Islam meneruskan
perjuangan menjadikan Islam sebagai dasar negara. Dalam pemungutan suara, dasar
negara Pancasila meraih suara di atas 56 persen dan dasar negara Islam meraih
43 persen. Karena Konstituante mengalami jalan buntu, akhirnya Bung Karno
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945.
Dalam pertimbangan dekrit itu, dinyatakan Piagam Jakarta menjadi bagian tidak
terpisahkan dari UUD 1945 dan menjiwainya.
PBNU
membentuk tim yang diketuai oleh KH Achmad Siddiq untuk menyusun naskah tentang
"Hubungan Islam dengan Pancasila". Pada Desember 1983, naskah
tersebut dipaparkan Achmad Siddiq di depan Munas Alim Ulama NU. Walaupun amat
sulit, para ulama NU bisa diyakinkan untuk menerima naskah itu. Pada Muktamar
NU 1984, naskah itu ditetapkan sebagai keputusan muktamar.
NU dan
partai politik
Pada
1945, NU bergabung dalam Partai Masyumi di mana Hasyim Asy'ari menjadi Ketua
Majelis Syuro. Pada tingkat nasional terdapat perbedaan mencolok antara
tokoh-tokoh NU dengan tokoh-tokoh Masyumi. Tokoh-tokoh NU adalah lulusan
pesantren dan tokoh-tokoh Masyumi adalah lulusan sekolah Barat dan universitas.
Selain itu, juga terdapat perbedaan pemikiran keagamaan. Pada 1952, NU keluar
dari Masyumi dan mendirikan Partai NU, yang jadi pemenang ketiga Pemilu 1955.
Dalam
Pemilu 1971, Partai NU yang masih berjuang untuk menjadikan Islam sebagai dasar
negara adalah partai yang paling lantang mengkritisi pemerintah. Tak
heran jika banyak juru kampanye NU diturunkan pihak keamanan dari podium
kampanye. Aktivis NU di Departemen Agama diharuskan memilih jadi PNS atau NU.
Maka, NU kehilangan banyak tokohnya.
Pada
1973, Partai NU bergabung dengan partai-partai Islam ke dalam Partai
Persatuan Pembangunan (PPP). Walau unsur terbesar di dalam PPP, NU kurang
berperan akibat intervensi pemerintah. Pada Muktamar 1984, NU menegaskan
Khittah NU 1926 yang antara lain menegaskan NU menjaga jarak yang sama terhadap
semua partai Islam. Penegasan itu dimaknai NU keluar dari PPP. Maka, di
berbagai daerah tokoh-tokoh NU muncul sebagai aktivis Golkar.
Hanya 14
tahun NU mampu tidak terlibat dalam politik praktis. Pasca Orde Baru, saat
pemerintahan BJ Habibie membuka kesempatan mendirikan partai baru untuk bisa
ikut dalam Pemilu 1999, lima tokoh PBNU mendirikan Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) sebagai wadah penyaluran aspirasi politik warga NU.
PKB
berhasil mengantarkan Gus Dur menjadi presiden ke-4 RI. NU bergeser dari ranah
masyarakat sipil menuju ranah politik. Kini timbul kesan kuat bahwa NU
meninggalkan Khittah NU 1926 dalam masalah politik. PKB yang dimaksudkan
sebagai sayap politik NU, kini justru terkesan mengendalikan organisasi NU dan
organisasi di bawah NU. Nuansa paradigma partai politik dan pragmatisme amat
terasa di dalam organisasi NU dan sejumlah badan otonom di bawahnya.
Perlu
dirawat
Organisasi
NU didirikan oleh para ulama yang penuh keikhlasan, jauh dari popularitas. NU
pernah diejek sebagai kelompok sarungan, "teklekan", dan dianggap
oportunis saat menjadi partai politik, serta ketinggalan zaman. Kini banyak
kiai NU tidak canggung memakai sarung tampil dalam berbagai kesempatan,
termasuk di Istana Merdeka, bahkan Presiden hadir dalam pembukaan Muktamar NU
dengan memakai sarung.
Bersama
Muhammadiyah, NU kini menjadi organisasi dan komunitas yang dianggap sebagai
pengawal negara dan penjaga moral bangsa. Tentu itu harus disyukuri dengan
merawatnya sesuai harapan para ulama pendiri NU. Hasyim Asy'ari menyatakan
bahwa santri yang baik adalah santri yang ketika pulang ke rumah masing-masing
bisa menerapkan apa yang diperolehnya di pesantren. Berarti para santri harus
menunjukkan akhlak dan moralitas ketika tamat dari pesantren dan bergiat
sebagai apa pun.
Untuk
bisa berperan menjadi penjaga moral bangsa, terlebih dulu moral para petinggi
NU harus baik. Petinggi NU harus bisa betul-betul menjadi pemimpin.
Petinggi NU harus belajar pada pemimpin NU masa lalu, terutama saat NU belum
menjadi partai politik, karena NU kini bukan partai politik.
Petinggi
NU harus bisa menjadi negarawan bukan politisi. Roh jihad yang amat menipis
perlu segera ditumbuhkan kembali. Petinggi NU harus bisa betul-betul memberi
manfaat bagi NU, bukan hanya pandai memanfaatkan NU. []
KOMPAS,
30 Januari 2016
Salahuddin Wahid | Pengasuh Pesantren Tebuireng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar