Proeksistensi
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Candi
Borobudur yang berada di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, oleh UNESCO
ditetapkan sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia.
Sekalipun
candi ini merupakan warisan Hindu-Buddha yang dibangun sekitar abad ke-7,
masyarakat sekelilingnya mayoritas beragama Islam, termasuk mereka yang bekerja
sebagai penjaga keamanan, penjual suvenir, pemandu wisata, dan pekerja lain
yang berkaitan dengan Borobudur.
Oleh
karena itu, sulit dipahami oleh masyarakat Islam sekitar ketika dulu pernah ada
orang meledakkan bom dengan tujuan untuk menghancurkan monumen sejarah ini
dengan alasan akan merusak akidah umat Islam.
Patung-patung
itu dianggap berhala yang diharamkan untuk disembah. Padahal, jangankan agama
Islam, agama Hindu-Buddha pun tidak mengajarkan menyembah batu.
Orang
Islam yang bertawaf mengelilingi Kakbah dan berebut mencium Hajar Aswad juga
bukan memuja Kakbah.
Terbayang,
andaikan Borobudur ini berada di Timur Tengah, mungkin sekali telah dihancurkan
oleh kelompok Taliban atau pun ISIS karena mereka memang rendah apresiasinya
terhadap warisan dan monumen sejarah. Sekian banyak warisan budaya keagamaan,
termasuk gereja yang usianya ratusan tahun, merekahancurkan.
Karena
terlahir dan tumbuh dewasa di daerah Magelang, saya merasakan dan melihat
sendiri betapa masyarakat di sana hidup damai dalam keragaman agama dan budaya.
Di sana terdapat pusat pendidikan seminari Katolik yang terkenal di tingkat
Asia Tenggara, yaitu di Muntilan dan Mertoyudan.
Tak jauh
dari situ terdapat pondok pesantren tua yang tersohor, misalnya saja Pesantren
Watucongol, Pesantren Pabelan, Pesantren Tegalrejo, dan Pesantren Payaman. Di
Muntilan juga terdapat bangunan Kelenteng Konghucu tertua di Indonesia. Jadi,
Magelang merupakan daerah titik temu berbagai agama dan budaya tua yang
semuanya hidup damai, berdampingan, dan tidak saling menghancurkan, yang saya
istilahkan proeksistensi, bukan sekadar koeksistensi.
Akhir-akhir
ini muncul suasana batin sebagian umat Islam yang selalu menekankan perbedaan
yang mengarah pada kebencian dan permusuhan terhadap kelompok umat beragama
lain. Bahkan terhadap sesama muslim hanya karena berbeda mazhab, mereka mudah
melakukan kekerasan. Perlu kita sadari bahwa ajaran dasar Islam itu satu, namun
memungkinkan muncul tafsiran yang berbeda, sehingga melahirkan beragam mazhab.
Namun,
ajaran dasarnya tak pernah berubah sejak zaman Rasulullah sampai hari ini.
Sejak dari doktrin bagaimana salat, puasa, zakat, dan haji, semuanya sama dan
tak berubah. Tetapi ketika menyangkut kekuasaan politik yang berimplikasi pada
keuntungan ekonomi, muncullah ketegangan dan pertikaian antarkelompok.
Situasi
ini semakin memburuk ketika ada kekuatan luar yang mendompleng mengambil
keuntungan. Apa yang terjadi di Timur Tengah dan Indonesia selalu terkena
dampaknya, akarnya adalah persaingan politik-ekonomi dan kekuasaan dengan
melibatkan kekuatan asing, Amerika dan Rusia.
Khususnya
di wilayah Magelang, saya mengalami sendiri. Dulu perbedaan agama dan mazhab
itu tidak menimbulkan perpecahan dalam keluarga dan masyarakat. Namun,
akhir-akhir ini umat beragama di berbagai kawasan cenderung menjadi sensitif
dan pemarah ketika melihat perbedaan. Berbeda itu tidak bisa dinafikan, bahkan
kini kian membesar dengan hadirnya revolusi teknologi informatika, terutama
internet. Kalau kita tidak siap menghadapi maka jangan-jangan keberagamaan
justru akan menjadi pemicu keresahan dan perpecahan masyarakat. Agama bukan
memperkuat negara, melainkan malah jadi beban negara.
Kalau
setiap perbedaan, lalu disikapi dengan penindasan dan ancaman, ini menunjukkan
negara gagal melindungi dan mendidik warganya untuk hidup damai saling
menghormati. Lebih dari itu, kalangan intelektual dan ulama berarti gagal
menawarkan jalan damai bagi umatnya yang bertikai. Kesimpulan akhir bisa
mengarah bahwa umat beragama, termasuk partai keagamaan, lebih disibukkan oleh
percekcokan ketimbang memajukan peradaban, pendidikan, dan kesejahteraan
masyarakat.
Slogan
Bhinneka Tunggal Ika dan Islam sebagai rahmat hanya berhenti sebagai pernyataan
verbal. Ini mesti menjadi keprihatinan kita semua, jangan sampai organisasi
semacam ISIS yang merupakan urusan internal Irak dan Suriah menjalar ke
Indonesia. Apa urusan kita dengan ISIS?
Pertanyaan
serupa juga berlaku dengan ide mendirikan kekhalifahan, yang sesungguhnya bagi
umat Islam Indonesia tidak relevan. Karena umat Islam Indonesia justru memiliki
prestasi politik yang luar biasa, yaitu ikut mendirikan Republik Indonesia,
bukan negara agama, bukan negara sekuler, bukan pula sistem dinasti atau
khalifah sebagaimana yang masih berlaku di Timur Tengah.
Dulu di
Indonesia berdiri banyak kesultanan yang kemudian bergabung masuk dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, isu dan agenda kekhalifahan yang diusung
ISIS tidak relevan untuk gerakan Islam Indonesia. []
KORAN
SINDO, 29 Januari 2016
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar