Teroris dan Perlawanan Bandar Narkoba
Oleh: Bambang Soesatyo
Sebagai garda terdepan yang memerangi kelompok- kelompok radikal
dan sindikat narkotika serta obatobatan (narkoba) terlarang, potensi ancaman
terhadap institusi Polri dan jajaran prajuritnya tereskalasi.
Kecenderungan itu terlihat pada perlawanan dua bandar narkoba dan ledakan bom Sarinah, Jakarta. Eskalasi ancaman terhadap institusi Polri dan prajuritnya itu sudah diakui sendiri oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Badrodin Haiti. Dia tegaskan lagi potensi ancaman itu selepas ledakan bom Sarinah. Polisi menjadi salah satu target utama teroris. Tidak hanya anggota Polri, tetapi juga markas-markas polisi, bahkan juga Kapolri.
Bagaimanapun kelompokkelompok teroris pasti memendam amarah dan dendam kepada polisi. Selain menggagalkan sejumlah rencana aksi teror, polisi pun terus menangkapi anggota jaringan teroris di berbagai daerah. Akan tetapi, menyusul perlawanan dua bandar narkoba di Jakarta baru-baru ini, Kapolri dan jajarannya tampaknya perlu meng-update lagi potensi ancaman terhadap prajurit Polri di lapangan. Ada kecenderungan bandar narkoba dan kelompoknya kini tidak lagi sekadar lari atau bersembunyi saat menghadapi penindakan polisi, tetapi mereka berani melancarkan perlawanan atau serangan balik.
Kalau mereka berani melawan, berarti perlawanan itu telah dipersiapkan, bahkan mungkin juga direncanakan. Peristiwa penindakan atau penggerebekan bandar narkoba di Matraman, Jakarta Timur, dan penggerebekan di Jalan Bima, Johar Baru, Jakarta Pusat, nyata-nyata menunjukkan adanya eskalasi ancaman terhadap prajurit Polri di lapangan. Di Matraman, bandar narkoba dan kelompoknya melancarkan perlawanan dengan serangan balik yang mematikan.
Bersenjata tajam, kelompok pengedar narkoba membacok polisi yang melakukan penggerebekan. Anggota polisi Bripka Taufik Hidayat tewas dengan cara yang sangat mengenaskan. Dalam penggerebekan di Jalan Bima, Johar Baru, Jakarta Pusat, alih-alih menyerahkan diri, bandar narkoba itu justru lebih dulu memuntahkan tembakan ke arah polisi. Karena rencana penggerebekan itu sudah dipersiapkan dengan matang, korban dari pihak polisi dan warga bisa dihindari.
Dua peristiwa ini hendaknya menjadi pembelajaran bagi seluruh prajurit Polri di mana pun mereka bertugas. Bukan tidak mungkin, dua perlawanan bandar narkoba di Jakarta itu akan menginspirasi para bandar narkoba lainnya di berbagai tempat. Para bandar narkoba mampu mempersenjatai kelompoknya karena kemampuan finansial mereka yang mumpuni. Perkembangan terbaru yang berkait dengan potensi ancaman itu patut diwaspadai.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme mengaku sudah mendapatkan informasi bahwa gembong narkoba kelas kakap, Freddy Budiman, telah bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Freddy, penghuni Lapas Nusakambangan itu, pun diduga ikut membiayai serangan bom Sarinah. Walaupun peran Freddy belum terkonfirmasi, informasi seperti ini tak boleh diremehkan.
Kalau sosok seperti Freddy bisa membiayai aktivitas kelompok radikal, dia pun mampu mempersenjatai anggota jaringannya yang tersebar di berbagai kota seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar. Freddy, bandar narkoba yang memiliki jaringan internasional, pun menyimpan dendam kepada polisi. Dia telah divonis mati oleh pengadilan karena terbukti mengatur peredaran narkoba dari dalam sel penjara. Dari peristiwa penggerebekan di Matraman dan Johar Baru itu, ada pesan yang sangat jelas kepada semua prajurit Polri.
Jangan lagi menganggap remeh bandar narkoba dan anggota jaringannya. Menghadapi penindakan oleh polisi, mereka bisa melancarkan serangan balik yang mematikan. Maka setiap kali melakukan penindakan, prajurit Polri harus waspada dan dipersenjatai.
Basis ISIS
Pernyataan Kapolri bahwa polisi menjadi salah satu target serangan teroris bukanlah mengada-ada. Rangkaian penangkapan terduga teroris oleh Densus 88/Antiteror Mabes Polri di berbagai kota menjadi bukti bahwa ancaman itu nyata dan serius. Kendati banyak yang sudah ditangkap, ancaman tidak berkurang dengan sendirinya. Apalagi pola pengorganisasian para terduga teroris itu tidak mudah dibaca.
Ada kelompok yang mengikuti pola komando dari petinggi ISIS, sementara kelompok lainnya berada dalam jaringan Santoso. Tidak kurang dari 800 warga negara Indonesia (WNI) sudah bergabung dengan ISIS. Puluhan di antaranya dinyatakan tewas melaksanakan misi ISIS. Hingga jelang akhir tahun 2015, sekitar 300 WNI yang pernah bergabung dengan ISIS itu kembali ke Tanah Air. Aktivitas mereka inilah yang dipantau intensif oleh Polri. Dari pemantauan itu, pihak berwajib memang menangkap 9 tersangka plot serangan Natal dan Tahun Baru pada Desember 2015.
Namun mereka masih mampu melakukan serangan dengan ledakan Bom Sarinah. Selain simpatisan ISIS, ancaman teror juga datang dari kelompok Santoso yang diburu dalam operasi yang digelar sejak 28 Oktober 2015. Hingga berakhirnya Operasi Camar Maleo IV pada 9 Januari 2016, Santoso sebagai pentolan belum bisa ditangkap. Operasi Camar Maleo digelar untuk mencari dan menangkap kelompok teroris pimpinan Santoso yang jumlahnya diperkirakan 38 orang.
Kelompok itu berlatih sambil bersembunyi di kawasan hutan pegunungan yang membentang di empat wilayah kecamatan di Poso, Sulawesi Tengah. Data terbaru dari pihak intelijen memperkirakan jumlah anggota kelompok Santoso bersisa 32 orang. Dua di antaranya warga negara Cina dari etnik Uighur dan tiga perempuan. Santoso dan kelompoknya diduga sudah bersinergi dengan ISIS. Maka ambisi ISIS membangun basis kekuatannya di Asia Tenggara patut diwaspadai Polri karena hal itu akan mengeskalasi ancaman terhadap kawasan ini, termasuk Indonesia tentu saja.
Apalagi untuk mendirikan basis kekuatanitu, pilihanfavoritpentolan ISIS hanya dua, Indonesia atau Filipina. Pilihan ini masuk akal karena sel-sel teroris di kedua negara terus bertumbuh. Untuk memperkecil peluang ISIS menjadikan Indonesia sebagai basis di kawasan ini, operasi serupa Camar Maleo harus dilanjutkan. Operasi semacam itu menutup kesempatan bagi simpatisan ISIS untuk bergerak.
Operasi penangkapan oleh Densus 88/Antiteror pun harus diintensifkan. Jika dilakukan secara berkelanjutan dan tanpa kompromi, dua operasi seperti itu akan menutup ruang bagi simpatisan ISIS. Dengan asumsi bahwa ISIS berpotensi merusak stabilitas Asia Tenggara, pemerintah dan Polri perlu mengambil inisiatif kerja sama menangkal kehadiran ISIS dengan semua negara anggota ASEAN. Selain Indonesia, Singapura, dan Filipina, anggota ASEAN lainnya harus didorong untuk peduli pada ancaman ISIS di kawasan ini.
Semangat dan tujuannya hanya satu, tidak ada tempat di Asia Tenggara untuk ISIS. Mengenai ancaman ISIS, ASEAN harus belajar dari pengalaman Eropa. Aksi mereka telah mengguncang Paris di Prancis dan Istanbul di Turki. Kebrutalan mereka di Timur Tengah mendorong para pengungsi membanjiri kota-kota di Eropa. Kalau ISIS bisa membangun basis kekuatannya di kawasan ini, ASEAN pun nantinya berpotensi mengalami mimpi buruk seperti halnya Eropa saat ini.
Polri dan polisi di negara anggota ASEAN lainnya mau tak mau memang harus mengantisipasi potensi ancaman itu sejak dini. Pertukaran informasi tentang pergerakan anggota jaringan teroris harus dilakukan dengan lebih serius dan sungguh- sungguh. Kalau ASEAN bersatu, ISIS tidak akan mendapat ruang untuk membangun basis kekuatannya di kawasan ini. []
KORAN SINDO, 28 Januari 2016
Bambang Soesatyo | Ketua Komisi III DPR Fraksi Partai Golkar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar