Sikap Resmi PWNU DIY soal Kontroversi
Sabdaraja Sultan HB X
بسم
الله الرحمن الرحيم
Sebagaimana diketahui bersama, Sabdaraja yang disampaikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X pada tanggal 30 April 2015, dan penjelasannya tanggal 8 Mei 2015, yang di antaranya mengubah gelar “Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalogo Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat” menjadi “Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram, Senopati Ing Ngalogo, Langgeng Ing Bawono Langgeng, Langgeng Ing Toto Panotogomo”, telah menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat dan rasa ketidakpastian terhadap masa depan keistimewaan Yogyakarta. Selain perubahan gelar, kontroversi terjadi menyangkut proses sabda yang dikatakan berdasar pada Dhawuh Gusti Allah melalui para leluhur. Sabdaraja ini telah didudukkan lebih tinggi, sehingga dapat mengubah paugeran yang berlaku. Atas pertanyaan-pertanyaan dari warga, maka Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta dengan ini merasa perlu untuk menjelaskan sikapnya terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut:
PWNU memandang bahwa Kasultanan bukanlah
semata institusi politik-ekonomi, melainkan sarana mengabdi kepada Allah
Subhanahu Wa Ta’ala secara tulus dalam menjaga dan menegakkan keamanan,
ketentraman, kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh warga masyarakat.
Kasultanan juga berfungsi menjaga kelestarian dan hubungan harmonis dengan
lingkungan alam, dan mengembangkan kebudayaan yang menjadi tuntunan bagi warga
masyarakat untuk selalu meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaannya.
Pernyataan Sultan bahwa perubahan gelar
tersebut di atas didasarkan atas Dhawuh Gusti Allah melalui para leluhur, yang
tidak disertai penjelasan mengenai proses dan tata-caranya, bisa menyesatkan
dan menyimpang dari akidah Islamiyyah. Dalam pandangan PWNU, klaim adanya
Dhawuh Gusti Allah yang merupakan wilayah hakikat seharusnya tidak bertentangan
dengan tatanan syari’at. Klaim seperti itu dikhawatirkan bersifat
distortif, mengandung ilusi syaithoniyah dan sarat kepentingan pribadi.
Hubungan antara Hakikat dan Syari’at bersifat saling menguatkan dan saling
mengontrol. Syari’at tanpa Hakekat, akan rusak. Sementara Hakikat tanpa
Syari’at, akan sesat.
Pemimpin boleh saja mendapatkan inspirasi dan
aspirasi dari mana saja, baik itu berupa saran dari orang-orang terdekat,
pertimbangan dari para penasehat, usulan dari masyarakat, ilham dari Allah,
atau bahkan mimpi. Akan tetapi yang terpenting adalah ketika pemimpin
menggunakannya sebagai acuan dalam menetapkan kebijakan, maka ia harus
memikirkan dampak dan implikasi dari keputusannya secara jauh ke depan.
Kemaslahatan harus menjadi pertimbangan utama, yang berarti, ia sudah berhitung
secara cermat berbagai kemungkinan sisi kebaikan dan keburukan yang diakibatkan
oleh keputusan tersebut. Oleh karena itu, pemimpin tidak semestinya menyatakan
bahwa ia tidak tahu bagaimana dampak dari keputusannya. Apalagi, bila terbukti
bahwa keputusan itu justru mendeligitimasi kedudukannya sendiri, dan meresahkan
masyarakat.
Gelar Sultan sesungguhnya merupakan bentuk
amanat leluhur. Ia memuat berbagai makna, filosofi, dan bahkan teologi yang
merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang dikandungnya. Ia mencerminkan visi
dan misi institusi yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Konsep-konsep
penting di dalam gelar seperti: Ngabdurrahman, Sayidin Panotogomo,
Kalifatullah, mengandung makna dan amanat bahwa Seorang Sultan haruslah
mewujudkan pengabdiannya yang tulus kepada Allah Yang Maha Pengasih dan
Penyayang dengan laku dan tindakan yang menjaga dan mengupayakan keseimbangan
alam, religiusitas masyarakat dan kerukunan antar umat beragama serta keadilan
sosial di tengah-tengah warganya.
Oleh karena itu, Gelar Sultan pada hakekatnya
menjadi pengikat dari “kontrak teologis” (Hablun minallah), “kontrak alam”
(Hablun minal ‘alam), sekaligus “kontrak sosial” (Hablun minannas). Sultan
merupakan personifikasi dari Negari Dalem (Kasultanan) dengan segala kebesaran,
keluhuran dan tantangannya. Oleh karena itu, komitmen Sultan untuk
mengaktualisasikan tugas dan fungsi gelar dengan sebaik-baiknya sangatlah
penting. Perubahan gelar dapat dimaknai sebagai pengingkaran terhadap amanat
leluhur.
PWNU tetap berkomitmen ikut menjaga dan
mempertahankan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan nilai-nilai dan
paugeran yang berlaku. Apabila dinyatakan bahwa posisi Sabdaraja lebih tinggi
dari paugeran, maka sesungguhnya hal ini merupakan langkah mundur yang justru
tidak sesuai dengan alam demokrasi, dan malah mencerminkan bangkitnya
otoritarianisme, apalagi bila hal itu dilakukan dengan mengatasnamakan Tuhan.
Ini bisa menjadi preseden buruk bagi kehidupan sosial kita.
PWNU prihatin terhadap konflik internal yang
terjadi pasca dibacakannya Sabdaraja dan mengingatkan semua pihak agar tidak
mengambil keuntungan sesaat demi kepentingan pribadi dan golongan. Jalan
terbaik untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan pendapat pasca dibacakannya
Sabdaraja adalah dengan musyawarah untuk mencapai permufakatan yang bijaksana
dan maslahat untuk semuanya.
PWNU mengajak segenap komponen masyarakat
untuk selalu menjaga Ngarso Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan
Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalogo Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama
Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat agar
dalam setiap langkah dan keputusannya dapat senantiasa diberi hidayah dan
pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Semua ini dilandasi oleh kasih sayang
PWNU kepada Sri Sultan HB X, garwa dalem, putra dalem, rayi dalem, sentono
dalem, darah dalem, abdi dalem dan seluruh kawulo Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat.
PWNU mengajak warga untuk berdoa dan
istighotsah bersama-sama, memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala supaya
menyelamatkan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat demi tegaknya nilai-nilai
ke-Islaman yang hamemayu hayuning bawono (rahmatan lil ‘alamin). Nilai-nilai
yang akan menopang kesejahteraan seluruh warga, lahir-batinnya, dan diridlai
oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Demikian penjelasan ini disampaikan, agar
dapat menjadi maklum adanya. Dan semoga Allah senantiasa melindungi kita semua,
amin.
والله
ولي التوفيق، والهادي إلى سواء السبيل
عليه
توكلنا، وبه نستعين، وإليه ننيب
|
Yogyakarta,
14 Sya’ban 1436 H / 1 Juni 2015 M
Pengurus
Wilayah Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta,
|
|
|
KH.
Asyhari Abdullah Tamrin
Rais
Syuriyah
|
KH.
Chasan Abdullah
Katib
Syuriyah
|
*) Penjelasan ini disampaikan dalam Forum
Koordinasi Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama, Lembaga dan Lajnah, Pimpinan Badan
Otonom, dan PCNU se-DIY.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar