Kepemimpinan
Spiritual
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Jiwa dan
raga kita ini ibarat sebuah negara. Jika pemimpinnya tidak beres, akan kacau
dan sakit semuanya. Yang sering menimbulkan masalah dan gangguan keamanan
adalah ketika terjadi pembangkangan salah satu bagian tubuh terhadap pimpinan
atau terjadi pertengkaran antarsesama organ.
Tidak
percaya? Coba dengarkan baik-baik dialog dan pertengkaran antara organ mulut
dan perut ketika Anda makan enak atau terhidang makanan yang lezat, tetapi
potensial membuat perut dan organ lain merintih protes.
Biasanya
saking tergoda rasa enaknya, mulut tetap saja melahap makanan yang terhidang
meskipun perut protes agar berhenti makan.
Belum
lagi pencernaan perut protes ketika menerima kiriman asupan yang penuh lemak
dan mulut mengunyahnya kurang lembut. Yang paling parah adalah ketika mulut
kecanduan rokok atau narkoba, paru-paru serta syaraf-syaraf tubuh menjadi
rusak. Mereka sudah protes dan mengaduh kesakitan, tetapi tidak mau juga
berhenti mengonsumsi.
Konflik
lain antarorgan tubuh juga terjadi ketika kaki merintih capai membawa tubuh
berputar-putar belanja. Lebih-lebih kala sang majikan menikmati belanja di mal
lantaran ada diskon harga.
Masih
banyak contoh kejadian lain yang menggambarkan ketidakharmonisan dalam
pemerintahan jiwa dan raga kita. Sayangnya kita enggan atau tidak jeli
mendengarkan dialog dan pertengkaran yang sering kali terjadi karena terbiasa
dengan konsep mendengar mesti suara yang bisa tertangkap telinga, konsep
melihat mesti rupa yang harus kasatmata.
Perintah
berpuasa yang datang dari Tuhan pencipta manusia bisa dipahami sebagai pedoman
bagaimana menjalankan pemerintahan dalam dunia jiwa raga stabil dan seimbang.
Bisa juga dipahami sebagai intervensi konstruktif demi menjaga kesehatan dan
tercipta harmoni hubungan fungsional antarsemua organ fisik maupun nonfisik.
Mari kita
lihat dan renungkan. Kegiatan kita sehari-hari mungkin lebih didominasi
tuntutan untuk memenuhi kebutuhan dan kenikmatan fisik atau jasmani. Sehat
jasmani ini sangat penting untuk mendukung kegiatan-kegiatan lain yang bersifat
mental intelektual. Namun sering kali kita tidak mampu menjaga stabilitas dan
keseimbangan serta keadilan dalam memperlakukan pembagian tugas.
Nalar
sebagai pemimpin pengambil keputusan dan mengontrol kinerja pasukan serta anak
buah kenyataannya tidak selalu ditaati. Akibatnya yang terjadi adalah sakit,
cepat letih, hidup tidak produktif serta melenceng dari arah dan tujuan yang
didambakan. Kepemimpinan nalar saja tidak cukup jika tidak dibantu konsultan
yang membisikkan nilai dan orientasi spiritual. Sebuah seruan untuk setia pada
jalan dan cita-cita yang melebihi kenikmatan fisikal, yaitu nilai-nilai luhur
kemanusiaan yang muncul dari kesadaran dan penghayatan Ilahi yang sakral dan
transenden. Namun pada praktiknya bisikan dan seruan spiritual itu pun tidak
didengarkan dan dipatuhi.
Nah,
perintah berpuasa ibarat dalam dunia komputer merupakan reinstallment atau
reset. Tujuannya agar berbagai software yang telah diprogram dalam komputer
diri kita bekerja kembali dengan normal dan sehat, di mana kekuatan dan visi
spiritual harus mengambil kepemimpinan. Berbagai pembangkangan dan penyimpangan
akibat hegemoni fisikal ditata ulang. Ritme hidup dijungkirbalikkan. Waktu
malam yang biasanya untuk tidur nyenyak malah disuruh bangun untuk makan.
Bahkan sekian televisi menyajikan kuliah keagamaan. Kalau saja peraturan ini
bukan datang dari Allah tak akan ditaati dan bertahan lama dari abad ke abad.
Lalu pagi
dan siang hari yang biasanya heboh makan minum memenuhi tuntutan fisik
tiba-tiba distop. Kalau bukan karena kesadaran dan komitmen iman, tak mungkin
orang mau melakukannya. Bagi yang tidak mau berpuasa, banyak jalan untuk makan
dan minum. Banyak restoran yang buka. Pemerintah pun tidak mencampuri apakah
warganya benar-benar puasa atau tidak. Itu wilayah sangat pribadi. Hanya Allah
dan yang bersangkutan yang mengetahui. Jadi, ibadah puasa melatih seorang yang
beriman untuk mencapai martabat kemerdekaan yang sejati dalam beribadah.
Benar-benar karena Allah tanpa paksaan dan pamer serta pencitraan.
Ketika
berpuasa seseorang telah menempatkan referensi spiritual di atas semua
aktivitas. Dengan ungkapan lain, puasa mengokohkan posisi spiritual leadership
untuk memimpin dan mengarahkan aktivitas intelektual, fisikal, dan emosional.
Ketika spiritualitas yang memegang tongkat komando, dampaknya ternyata sangat
dahsyat dan mudah diamati. Jangankan yang haram, untuk halal pun seseorang
sanggup menghindarinya seperti makan minum di siang hari. Pikiran, ucapan, dan
tindakan juga terkontrol.
Seseorang
selalu ingin menjaga martabat dan kebersihan diri. Semuanya ini semata karena
Allah, tetapi dampaknya untuk manusia. Yang merusak puasa bukan hanya makan dan
minum di siang hari, tetapi ucapan dan perilaku yang menyakiti serta merugikan
orang lain. Alangkah indahnya kalau kepemimpinan spiritual ini efektif tidak
hanya dijalankan pada bulan Ramadan. []
KORAN
SINDO, 19 Juni 2015
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar