Senin, 22 Juni 2015

Quraish Shihab: Islam dan Teknologi

Islam dan Teknologi
Oleh: M. Quraish Shihab

Dahulu ada yang melukiskan manusia sebagai sosok dengan dua sisi: hati dan lidah, yakni  perasaan yang bergejolak di dalam hati dan kemampuan mengekspresikannya. Tangan bahkan jasmaninya, hanya wadah semata.

Pada era ilmu dan teknologi, manusia dilukiskan juga dengan dua sisi yaitu: Pertama gabungan benak dengan lidah, yakni ide yang dirumuskan dengan benar, sedang yang kedua adalah karya yang dapat dimanfaatkan dari hasil rumusan sisi pertama itu.

Sisi pertama mahal dan amat berharga itulah teknologi dan sisi kedua adalah produk/alat yang hakikatnya amat murah walau sering kali dinilai amat mahal bahkan lebih mahal daripada manusia. Sekali lagi, sisi pertama amat mahal, karena itu dunia Barat yang unggul dalam bidang ini sering kali enggan menjualnya, apalagi memberinya secara cuma-cuma kepada dunia ketiga, yang mereka jual dengan mahal adalah sisi kedua itu.

Sikap  mereka itu menjadikan manusia hanya berkisar pada kegiatan mendukung ide dan memanfaatkan alat demi kenyamanan hidup.  Manusia di sini dinilai dengan alat dan pemanfaatnya, bukan selain itu.

Kalau merujuk pada al-Qur’an, kita  menemukan banyak istilah yang mengacu maknanya kepada penciptaan dan kreasi baru yang lahir dari satu ide dan untuk tujuan tertentu. Salah satu di antara istilah tersebut adalah sakhkhara yang secara harfiah berarti menundukkan.  QS. al-Jâtsiyah [45]: 13 menyatakan bahwa,  “Apa  yang  di langit dan di bumi semuanya ditundukkan Allah untuk manusia.” Dengan potensi ilmu yang dianugerahkan Allah bersama penundukan yang dilakukan-Nya, manusia mampu meraih dengan mudah segala sesuatu yang terbentang di alam raya melalui keahlian di bidang teknik atau dengan kata lain, teknologi dan alat-alat yang dihasilkannya.

Dengan demikian, Islam mendukung pengembangan ilmu dan teknologi, tetapi ada dua hal pokok yang digarisbawahinya. Pertama: Harus selalu diingat bahwa yang “menundukkan” bukan manusia, tetapi Allah. Manusia dan alam raya semuanya di bawah kekuasaan-Nya dan Dia pula—bukan selain-Nya—yang menghubungkan partikel-partikel kecil sampai dengan yang terbesar, satu dengan  yang lain dari seluruh bagian jagat raya ini. Karena itu, jangan pernah merasa bahwa keberhasilan yang diraih tanpa bantuan Allah, dan  jangan  juga tunduk diperhamba oleh hasil-hasil Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) karena jika demikian terjadi pemutarbalikan kedudukan. Bukankah alam raya ditundukkan Allah buat manusia, bukannya manusia yang tunduk kepada alam?

Kedua: Hasil yang diraih harus  bermanfaat, bukan yang membahayakan. Jangan sampai manusia menjadi seperti kepompong yang membahayakan dirinya sendiri karena “kepandaiannya terbang”. Ini diingatkan-Nya karena QS. Yûnus [10]: 24 melukiskan bahwa satu ketika hasil-hasil teknologi akan menjadikan manusia lengah dan merasa mampu melakukan segala sesuatu, “Apabila bumi telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan penduduknya  menduga bahwa mereka telah mampu menguasainya, ketika itu secara tiba-tiba datanglah siksa Allah.”

Tanda-tanda perkembangan Iptek menunjuk ke arah tersebut. Bahkan kini banyak yang melengahkan manusia dan menjadikannya melupakan Tuhan dan jati dirinya, bahkan membahayakannya. Memang kalau kehidupan hanya dinilai sebagai upaya menundukkan alam guna menciptakan kenyamanan hidup semata-mata atau menghalangi bencana alam sehingga manusia merasa bahwa Iptek dapat mengalahkan kekuatan Allah maka ketika itu jatuhlah palu godam ketetapan-Nya. Kewajiban kita menciptakan dan menggunakan  teknologi yang seiring dengan nilai-nilai Ilahi, yang memadukan kenyamanan akal, ruhani, dan jasmani; pikir, zikir dan jasad; iman, ilmu, dan hikmah. Teknologi yang demikianlah yang direstui-Nya. Demikian, wa Allâh A’lam. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar