Islam dan Teknologi
Oleh: M.
Quraish Shihab
Dahulu
ada yang melukiskan manusia sebagai sosok dengan dua sisi: hati dan lidah,
yakni perasaan yang bergejolak di dalam hati dan kemampuan
mengekspresikannya. Tangan bahkan jasmaninya, hanya wadah semata.
Pada era ilmu dan teknologi, manusia dilukiskan juga dengan dua
sisi yaitu: Pertama gabungan benak dengan lidah, yakni ide yang dirumuskan
dengan benar, sedang yang kedua adalah karya yang dapat dimanfaatkan dari hasil
rumusan sisi pertama itu.
Sisi pertama mahal dan amat berharga itulah teknologi dan sisi
kedua adalah produk/alat yang hakikatnya amat murah walau sering kali dinilai
amat mahal bahkan lebih mahal daripada manusia. Sekali lagi, sisi pertama amat
mahal, karena itu dunia Barat yang unggul dalam bidang ini sering kali enggan
menjualnya, apalagi memberinya secara cuma-cuma kepada dunia ketiga, yang
mereka jual dengan mahal adalah sisi kedua itu.
Sikap mereka itu menjadikan manusia hanya berkisar pada
kegiatan mendukung ide dan memanfaatkan alat demi kenyamanan hidup.
Manusia di sini dinilai dengan alat dan pemanfaatnya, bukan selain itu.
Kalau merujuk pada al-Qur’an, kita menemukan banyak istilah
yang mengacu maknanya kepada penciptaan dan kreasi baru yang lahir dari satu
ide dan untuk tujuan tertentu. Salah satu di antara istilah tersebut adalah
sakhkhara yang secara harfiah berarti menundukkan. QS. al-Jâtsiyah
[45]: 13 menyatakan bahwa, “Apa yang di langit dan di bumi
semuanya ditundukkan Allah untuk manusia.” Dengan potensi ilmu yang
dianugerahkan Allah bersama penundukan yang dilakukan-Nya, manusia mampu meraih
dengan mudah segala sesuatu yang terbentang di alam raya melalui keahlian di
bidang teknik atau dengan kata lain, teknologi dan alat-alat yang
dihasilkannya.
Dengan
demikian, Islam mendukung pengembangan ilmu dan teknologi, tetapi ada dua hal
pokok yang digarisbawahinya. Pertama: Harus selalu diingat bahwa yang
“menundukkan” bukan manusia, tetapi Allah. Manusia dan alam raya semuanya di
bawah kekuasaan-Nya dan Dia pula—bukan selain-Nya—yang menghubungkan
partikel-partikel kecil sampai dengan yang terbesar, satu dengan yang
lain dari seluruh bagian jagat raya ini. Karena itu, jangan pernah merasa bahwa
keberhasilan yang diraih tanpa bantuan Allah, dan jangan juga
tunduk diperhamba oleh hasil-hasil Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi)
karena jika demikian terjadi pemutarbalikan kedudukan. Bukankah alam raya
ditundukkan Allah buat manusia, bukannya manusia yang tunduk kepada alam?
Kedua: Hasil yang diraih harus bermanfaat, bukan yang
membahayakan. Jangan sampai manusia menjadi seperti kepompong yang membahayakan
dirinya sendiri karena “kepandaiannya terbang”. Ini diingatkan-Nya karena QS.
Yûnus [10]: 24 melukiskan bahwa satu ketika hasil-hasil teknologi akan
menjadikan manusia lengah dan merasa mampu melakukan segala sesuatu, “Apabila
bumi telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan
penduduknya menduga bahwa mereka telah mampu menguasainya, ketika itu secara
tiba-tiba datanglah siksa Allah.”
Tanda-tanda perkembangan Iptek menunjuk ke arah tersebut. Bahkan
kini banyak yang melengahkan manusia dan menjadikannya melupakan Tuhan dan jati
dirinya, bahkan membahayakannya. Memang kalau kehidupan hanya dinilai sebagai
upaya menundukkan alam guna menciptakan kenyamanan hidup semata-mata atau
menghalangi bencana alam sehingga manusia merasa bahwa Iptek dapat mengalahkan
kekuatan Allah maka ketika itu jatuhlah palu godam ketetapan-Nya. Kewajiban
kita menciptakan dan menggunakan teknologi yang seiring dengan
nilai-nilai Ilahi, yang memadukan kenyamanan akal, ruhani, dan jasmani; pikir,
zikir dan jasad; iman, ilmu, dan hikmah. Teknologi yang demikianlah yang
direstui-Nya. Demikian, wa Allâh A’lam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar