Kala Kartini Berguru
Pada Kiai (3-habis)
Dalam pertemuan itu
RA Kartini meminta agar Qur’an diterjemahkan karena menurutnya tidak ada
gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Tetapi pada
waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Al-Qur’an.
Mbah Sholeh Darat
melanggar larangan ini, Beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf
“arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.
Kitab tafsir dan
terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di
Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang
dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M.
Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang. Kartini amat menyukai hadiah itu
dan mengatakan:
“Selama ini
Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak
hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna
tersiratnya, sebab Romo Kiai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa
yang saya pahami.”
Melalui terjemahan
Mbah Sholeh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh
nuraninya yaitu:
Orang-orang beriman
dibimbing Alloh dari gelap menuju cahaya (Q.S. al-Baqoroh: 257).
Dalam banyak suratnya
kepada Abendanon, Kartini banyak mengulang kata “Dari gelap menuju
cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht.”
Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah
Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya.
Surat yang
diterjemahkan Kiai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini
mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Namun sayangnya
penerjemahan Kitab Faidhur-Rohman ini tidak selesai karena Mbah Kiai
Sholeh Darat keburu wafat.
Kiai Sholeh membawa
Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat
(baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902
kepada Ny Abendanon.
Sudah lewat masanya,
semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara.
Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu
menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal
yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.
Tidak sekali-kali
kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau
orang Jawa kebarat-baratan.
Dalam suratnya kepada
Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis: Saya bertekad dan
berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah.
Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam
sebagai agama disukai.
Lalu dalam surat ke
Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis: Ingin benar saya
menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah. []
(Ajie Najmuddin/dari
berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar