The Tyranny of Habit
Oleh: Komaruddin Hidayat
Disadari atau tidak, dalam kehidupan ini banyak sekali ungkapan
dan perilaku yang selalu diulang-ulang yang pada urutannya menimbulkan pola
permanen berupa kebiasaan dan selanjutnya kebiasaan akan membentuk karakter
seseorang.
Contoh yang paling mudah diamati tentu saja dalam hal berbahasa.
Tindakan yang berakar pada kebiasaan tak perlu lagi dipikirkan dan dipersiapkan
matang- matang karena akan berlangsung hampir secara otomatis layaknya sebuah
mesin. Kita semua pasti punya pengalaman bagaimana sebuah proses kebiasaan
terbentuk sekalipun dijalani tanpa disadari atau dipersiapkan.
Misalnya saja pengalaman mengendarai mobil. Pada awalnya terasa
begitu sulit, tegang, dan takut menabrak atau ditabrak. Tapi lama-lama setelah
dicoba dan dijalani berulang kali akan terbiasa dan kita bisa mengendarai mobil
dengan rileks bahkan menyenangkan. Tangan, kaki, dan perasaan seakan bekerja
secara otomatis.
Salah satu aspek dalam pendidikan sesungguhnya adalah bagaimana
membantu anak didik agar membangun kebiasaan yang benar dan baik agar pada
urutannya terbentuk karakter dan pribadi yang baik serta terbiasa berpikir
benar dan logis. Dalam pendidikan olahraga apa yang disebut training dan
coaching, intinya adalah menggali bakat dan membentuk kebiasaan yang benar.
Misalnya seni dan cara menggiring bola agar cepat dan sulit
direbut lawan. Dalam olahraga golf, sekalipun sudah menjadi pemain kelas dunia
tetap diharuskan driving, yaitu latihan memukul bola hampir setiap hari
berkisar seribu bola. Gunanya untuk menjaga ritme, gaya dan feeling agar
kebiasaan yang sudah terbentuk tidak berubah atau rusak ketika bermain
sungguhan.
Lalu apa hubungannya dengan tirani kebiasaan sebagaimana tertulis
dalam judul di atas? Masalah serius akan muncul ketika seseorang telah
terbelenggu dengan kebiasaan buruk, baik cara berpikir, bertutur kata,
berperilaku, termasuk dalam hal kebiasaan makan dan minum. Kebiasaan yang telah
terbentuk lama dan kokoh satu sisi membuat seseorang nyaman dan mudah menjalani
hidup, tetapi sisi yang lain kebiasaan bisa menjelma menjadi penjara dan
pembunuh.
Contoh paling mudah adalah kebiasaan makan dan minum yang tidak
sehat, terlebih lagi yang mengandung alkohol tinggi dan zat adiktif, maka
penggunanya tak ubahnya memelihara dan membesarkan musuh yang satu saat akan
menyiksa dan membunuh dirinya. Kita dengan mudah melihat contoh tirani
kebiasaan yang ujungnya telah menghancurkan karier hidup seseorang.
Mereka yang biasa mengambil hak orang lain meskipun kelihatannya
sepele dan kecil, suatu saat jika kesempatan muncul akan berani melakukan
korupsi dalam jumlah yang besar. Mereka yang terbiasa berbicara kotor dan
merendahkan orang lain, jangan kaget ketika menjadi pejabat publik bicaranya
sering kali tidak sopan dan menyakiti hati anak buah.
Kebiasaan bisa bermetamorfosis menjadi ideologi ketika berbaur
dengan tradisi dan paham keagamaan serta bertemu dengan kalkulasi politik dan
ekonomi. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini terdapat puluhan, bahkan
ratusan, kebiasaan berupa ritual-ritual adat dan keagamaan yang menurut
pandangan orang modern tak lagi cocok.
Misalnya, selama bulan Ramadan di kampung saya dulu setelah jam
satu malam terdengar beduk masjid ditabuh keras-keras sampai jam tiga pagi.
Maksudnya untuk membangunkan ibu-ibu agar bangun untuk mempersiapkan makan
sahur untuk keluarga. Kebiasaan ini rasanya tak lagi cocok dipertahankan.
Biarlah mereka istirahat tidur. Bagi keluarga yang memiliki jam bisa disetel
weakernya untuk membangunkan kapan mereka mau.
Soal makan sahur, dengan adanya teknologi kulkas dan microwave,
hanya dalam waktu setengah jam semuanya bisa terhidang dalam kondisi segar dan
panas. Jadi, teknologi bisa mengganti kebiasaan memukul beduk di tengah malam
untuk membangunkan orang serta menjaga kondisi makanan tetap segar. Masih
berkaitan dengan kebiasaan yang perlu ditinjau ulang adalah kebiasaan membaca Alquran
dengan menggunakan pengeras suara di masjid di saat orang istirahat tidur.
Ada seorang teman yang sudah bertahun-tahun menulis naskah dengan
mesin ketik. Ketika ditawari dengan komputer, dia merasa tidak familier karena
ketika dicoba malah mengganggu kelancaran dan produktivitasnya dalam berpikir.
Lalu kembali lagi menulis dengan mesin ketik kuno. Ada lagi yang lebih antik,
ada seorang penulis sangat produktif yang semua naskahnya dia tulis dengan
pulpen, tulisan tangan.
Setelah jadi baru minta bantuan orang untuk menyalin ke dalam
komputer. Baginya jari-jari tangan bergerak seiring dengan berpikir. Jika pakai
komputer, kreativitasnya terganggu. Demikianlah, kebiasaan itu bisa membuat
pekerjaan efisien, cepat dan tidak perlu membuat persiapan lama karena
syaraf-syaraf tubuh sudah familier untuk melakukannya.
Namun mesti diingat kebiasaan juga bisa berkembang menjadi tiran
yang membelenggu sehingga seseorang sulit berubah dan berkembang. Orang yang
sudah berusia lanjut, pindah rumah atau kamar saja sulit tidur. Terlebih lagi
diminta menggunakan telepon genggam, malah bingung karena sudah terbiasa
menggunakan telepon kuno dengan pegangan yang besar.
Demikian juga menyangkut selera makan, banyak orang yang sudah
mapan dan terpenjara dengan selera makanan daerahnya sehingga tidak bisa
menikmati menu lain sekalipun kandungan gizinya lebih bagus, harga lebih mahal.
Makanya banyak orang yang tersiksa tinggal di luar negeri karena sulit
beradaptasi dengan makanan, cuaca, lingkungan sosial dan hal-hal lain yang
serbabaru.
Dalam era yang serbaberubah ini, antara lain berkat kemajuan
teknologi, seseorang dituntut untuk memiliki kesediaan dan keterampilan untuk
beradaptasi. Seorang sarjana yang baru saja diwisuda hendaknya memiliki
kapasitas intellectual adaptability karena akan menghadapi tantangan dan
peluang baru yang belum pernah dipelajari sewaktu duduk di kampus.
Adaptasi intelektual tidak berarti mudah kompromi secara moral.
Sedemikian pentingnya peranan habit atau kebiasaan sehingga banyak pakar
psikologi yang melakukan studi dalam bidang ini. Seperti Charles Duhigg dalam
karyanya The Power of Habit, Why we do what we do and how to change (2012).
Habit memiliki kekuatan untuk menjalani dan meraih sukses hidup, namun habit
bisa jadi penjara yang membuat seseorang sulit berubah dan berkembang.
Terlebih habit yang sudah dibalut dan dicampur dengan sentimen
kesukuan dan keagamaan, akan sangat sulit untuk berubah atau diubah. Kita pun
merasa nyaman tinggal dalam rumah habit, meskipun tahu-tahu dikejutkan oleh
tsunami perubahan sosial yang membuat kita bingung tidak tahu harus berbuat
apa. Ibarat kambing yang tertindih kandang yang roboh akibat angin kencang. []
KORAN SINDO, 12 Juni 2015
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar