Machiavellian
di Balik Konflik Partai
Oleh:
Bambang Soesatyo
PENGAKUAN
oleh pemerintahan Jokowi terhadap kepengurusan Partai Golkar pimpinan Agung
Laksono dkk patut dilihat sebagai tindakan menghalalkan segala cara untuk
mengamankan kekuasaan politik. Orang-orang yang mengarsiteki strategi politik
Presiden itu kemungkinan besar sekumpulan Machiavelis (Machiavellian).
Memelihara
konflik internal dua partai politik (parpol) besar, Partai Golkar dan Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) bisa dipahami sebagai strategi Presiden Joko Widodo
mengamankan kekuasaan politik. Strategi ini menjadi pilihan yang tidak bisa
dihindari setelah dua partai sejak awal menolak berkoalisi dengan kumpulan
parpol pendukung Presiden.
Publik
masih ingat betapa keras upaya Jokowi mengajak Golkar, juga PPP, masuk dalam
gerbong koalisi pendukungnya. Upaya itu dilakukan semasa masih berstatus capres
atupun sebelum dilantik pada Oktober 2014. Upaya itu gagal karena Golkar dan
PPP tetap berada di Koalisi Merah Putih (KMP) saat Jokowi mulai menjalankan
roda pemerintahannya.
Tidak
nyaman karena dominasi KMP di DPR, para Machiavelis di belakang Presiden
menciptakan konflik internal sekaligus membelah Golkar dan PPP jadi dua kubu
kepengurusan. Di Partai Golkar ada kubu Munas Bali dengan ketua umum Aburizal
Bakrie, serta kubu Munas Ancol pimpinan Agung Laksono yang propemerintah. Di
PPP, ada kubu Djan Faridz hasil Muktamar Jakarta versus kubu Romahurmuziy atau
Romy hasil Muktamar Surabaya yang juga propemerintah.
Dualisme
kepengurusan di tubuh Golkar dan PPP coba ditengahi dengan keputusan
pengadilan. Dalam kasus Golkar, PTUN sudah membatalkan SK Menkumham No:
M.HH-01.AH.11.01 Tahun 2015 per 23 Maret 2015 tentang Pengesahan Perubahan
AD/ART dan Susunan Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar
pimpinan Agung Laksono.
Ajukan
Banding
Pengadilan
Negeri Jakarta Utara pun membatalkan kepengurusan Agung dkk, dengan mengukuhkan
kembali keabsahan kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Riau 2009. Menyikapi
dua keputusan pengadilan ini, Menteri Hukum dan HAM Yassona H Laoly mengajukan
banding.
Dalam
kasus PPP, PTUN pun membatalkan SK Menteri Hukum dan HAM No M.HH-07.ah. 11.01
yang mengesahkan susunan kepengurusan PPP di bawah kepemimpinan Romahurmuziy.
Putusan ini dibanding oleh Menteri Yassona Laoly.
Dengan
strategi seperti itu, pemerintah jelas mengadopsi prinsip Machiavellisme karena
tetap mengakui pihak-pihak yang klaim kepemimpinannya di Golkar dan PPP sudah
digugurkan oleh pengadilan. Dengan banding, pemerintah secara tidak langsung
menugaskan Menteri Yassona tetap menjaga eksistensi kubu Agung di Golkar dan
kubu Romy di PPP.
Dengan
perilaku seperti itu, pemerintah tidak lagi mengindahkan asas keadilan, prinsip
hukum serta etika dan standar moral. Semua itu tidak lagi dijadikan acuan
karena pemerintahan Jokowi fokus mengamankan kekuasaan politik.
Salah
satu aspek pemahaman dari Machiavellisme adalah baik cara, tindakan serta
langkah politik tak perlu dikait-kaitkan dengan standar etika, standar
moral, termasuk asas keadilan dan prinsip hukum. Paham Machiavellisme dibangun
dan dibentuk dari cara pandang filsuf Niccolo Machiavelli (1469 ñ 1527) tentang
bagaimana mendapatkan dan mengamankan kekuasaan politik. Para penentang paham
ini menilai Machiavellisme adalah menghalalkan segala cara.
Machiavellisme
mengajarkan bahwa dalam politik kalkulasi tidak boleh rumit, atau memasukan
banyak faktor, termasuk faktor moralitas seturut pertimbangan agama. Sebab
tujuan akhir dari politik hanya satu, mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.
Adapun kekuasaan dan agama tidak pernah sejalan.
Ketika
mayoritas di DPR digenggam KMP, opsi bagi para Machiavelis di belakang
pemerintahan Presiden tidak banyak. Satu-satunya pilihan perhitungan yang
tersedia adalah memecah kekuatankekuatan utama di DPR, Fraksi Partai Golkar dan
Fraksi PPP.
Kemudian,
untuk mengaburkan perilaku itu, ditampilkan organ pemerintah lainnya yang
berperan sebagai juru selamat atau juru damai. Partai Golkar memang bisa
mewujudkan islah sementara atau terbatas agar bisa menjadi peserta dalam agenda
politik pilkada serentak tahun ini.
Tetapi,
islah terbatas di tubuh Golkar itu sama sekali tidak menyelesaikan masalah,
bahkan berpotensi memperuncing konflik internal. Islah terbatas itu seperti
instrumen yang mendorong kubu Munas Bali dan Munas Ancol saling berebut
wewenang dalam mengajukan bakal calon kepala daerah yang akan bertarung di
daerahnya masing-masing.
Kini,
kedua kubu Partai Golkar terperangkap dalam situasi yang benar-benar penuh
risiko. Apa yang dikhawatirkan sejak awal kini terjawab sudah. Perundingan dan
islah terbatas hanya agenda yang membuang waktu dan energi. Ibarat bom waktu
yang ledakannya hanya soal waktu.
Kini,
sudah waktunya bagi semua kader dan simpatisan sejati Golkar pimpinan ARB untuk
membangkitkan keberanian moral menghadapi mereka yang merusak soliditas partai.Tidak
ada alasan sedikit pun takut menghadapi kubu Munas Ancol.
Kubu
Munas Ancol hanya mengklaim keputusan Mahkamah Partai. Padahal, Mahkamah Partai
tidak menelurkan keputusan apa pun. Mereka juga hanya bisa mengandalkan SK
Menteri Hukum dan HAM yang telah dibatalkan oleh PTUN dan keputusan
sela/provisi pengadilan Negeri Jakarta Utara. []
SUARA
MERDEKA, 24 Juni 2015
Bambang Soesatyo | Sekretaris Fraksi Partai Golkar, Anggota Komisi
III DPR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar