Runtuhnya Dinasti Abbasyiah
Berawal Dari Sifat Royal
Oleh: Imam Muzammil
Sejarah mencatat kejayaan Islam kembali
berkibar pada masa kepemirintahan Harun al-Rasyid (786-809 H) yang berpusat di
Baghdad. Meski usianya tidak sampai setengah abad, tapi Baghdad mampu menjadi
pusat dunia dengan tingkat kemakmuran dan peran internasional yang luar biasa.
Baghdad merupakan saingan satu-satunya Bizantium.
Kejayaannya seiring dengan kemakmuran kerajaan,
terutama ibu kotanya. Saat itulah Baghdad menjadi kota yang tiada bandingannya
di seluruh penjuru dunia.(Khatib, jilid 1, hlm 119)
Sifat Foya-Foya Dikalangan Keluarga Istana
Ketika Harun al-Rasyid menjabat sebagai
khlifah pada sekitar tahun 786-809 H. keberadaan keluarga istana senang
menghambur-hamburkan harta, sebab saat itu keuangan Negara dalam keadaan
makmur.
Fasilitas istana pun serba mewah. Ruang
pertemuan keluarga istana dilengkapi dengan karpet, gorden, dan bantal terbaik
dari Timur Tengah. Salah satu keluarga dekat istana yang hidup berfoya-foya
adalah istri sepupu khalifah, Zubaidah. Ia tidak mau menggunakan gelas kecuali
terbuat dari perak atau emas dan berhiaskan batu-batu berharga. Ia juga
tercatat sebagai orang pertama yang menghiasi sepatunya dengan batu-batu
berharga.(Al-Mas'udi, vol 8, hal 298-299)
Selain Zubaidah, kehidupan serbah mewa juga
menjadi karakter Ulayyah, anak perempuan al-Mahdi dan saudara perempuan Harun
al-Rasyid. Untuk menutupi goresan di dahinya saja, ia menggunakan pengikat
kepala yang berhiaskan permata. Sehingga tren ala Ulayyah ini menjadi mode yang
ditiru oleh dunia, sekaligus menjadikannya sebagai orang pertama kali yang
menggunakan pengikat kepala berhiaskan permata.(History of The Arabs. Piliph K.
HITTI. hlm 376)
Sifat loyal ini terus berlanjut pada anak
turun al-Rasyid, al-Ma'mun 813 H. Saat acara seremonial pengangkatannya sebagai
khalifah, resepsi haji, upacara penyambutan duta asing, terutama pada acara
resepsi pernikahannya dengan Buran pada 825 H, al-Ma’mun menghabiskan dana yang
sangat besar.(Aghani, vol 11, hlm 83). Pada acara resepsi pernikahan itu,
seribu permata dalam berbagai bentuk ditaburkan dari sebuah nampan emas kepada
kedua mempelai yang duduk di permadani keemasan yang dihiasi batu-batu dan
safir. 200 lilin besar menerangi malam hingga tarang benderang. Bola-bola yang
berisi kartu sebidang tanah, atau budak, dan hadiah-hadiah yang lainnya
ditaburkan kearah putra mahkota dan pajabat tinggi istana. Segala macam
kemewahan dan kesenagan diberikan pada waktu itu.
Pada masa kepemeintahan setelahnya al-Ma’mun
sifat boros terus berlanjut, yaitu pada masa kepemirintahan al-Muqtadir 917 H.
Pada saat Khalifah al-Muqatadir kedatagan
para utusan raja muda Constantine V11 yang membawa misi pertukaran dan
penebusan tawananan, ia menyambuntnya dengan pagelaran pesta parade baris 160
ribu pasukan Kavaleri dan Infantry, 7000 laki-lakli kulit putih dan hitam yang
dikebiri dan 700 pengurus rumah tangga istana. 100 ekor singa ikut berparade.
Di dalam istana Khalifah digantungkan 38. 000 tirai yang 12.000 diantaranya
dihiasi dengan emas.(Al-Mas'udi, at-Tanbih, hlm 193)
Para utusan raja Constantin VII pun sangat
terkejut bukan main melihat keindahan yang mereka saksikan. Bahkan mereka
mengira ruang pengurus adalah rumah tangga istana, dan ruang wazir adalah ruang
pertemuan khalifah. Mereka juga sangat heran melihat ruang pohon yang berisi
sebatang pohon tiruan dari emas dan perak seberat 500 gram, yang pada
dahan-dahannya bertengger burung-burung dari logam-logam berharga yang
dirancang sedemikian rupa, sehingga terus berkicau dengan bantuan alat
otomatis. Di kebun, mereka mengagumi pohon-pohon kurma, bonsai, yang melalui
pembudi-dayaan khusus menghasilkan kurma jenis langka.
Bersamaan dengan kehidupan mewah para
keluarga istanan, pemerintah juga memberi subsidi yang sedemikian besar pada
rakyatnya terutama pada kerabat-kerabat Khalifah. Kerabat-kerabat istana yang
dekat seperti Ibu al-Rasyid sendiri, al-Khaizuran telah menerima subsidi
sebesar 160 juta dirham.(Al-Mas'udi vol VI, hlm 289). Anggota Hasyimiyah yang
merupakan suku Dinasti Abbasiyah juga menerima subsidi dalam jumlah yang sangat
besar yang dikucurkan secara teratur melalui kas Negara. Namun pada akhirnya
peraktek tersebut dihentikan al-Mu'tashim (833-842 H.)
Hidup Mewah Awal Kehancuran Sebuah Dinasti
Sulit dinalar oleh akal, kala sebuah dinasti
mencapai puncak kejayaannya, dengan berbagai kegelimangan harta yang melimpah
malah merupakan menjadi sebab kemunduran yang nantinya mengakibatkan sebuah
kehancuran bagi suatu Dinasti. Sebab fasilitas yang serba ada cenderung menjadikan
seseorang menjadi pemalas dan enggan mencari sebuah trobosan-trobosan baru demi
keberlangsungan kemakmuran suatu Negara.
Hal itu juga dialami oleh dinasti Abbasyiah,
kehidupan serba mewah membuat keluarga Khalifah bermalas-malasan memikirkan
masa depan Negara. Dan bahkan hanya berpangku tangan pada kekayaan yang mereka
miliki. Padahal fasilitas yang serba ada itulah yang menjadi penyebab redupnya
kejayaan dinasi ini.
Sebuah riset yang dilakukan Ibnu Khaldun
dalam karyanya, Muqaddimah Ibnu Khaldun menyatakan bahwa di antara hal yang
menyebabkan dinasti Abbasyiah menjadi runtuh adalah: hidup mewah yang semakin
lama semakin menjadi-jadi. Sehingga terjadi defisit dalam sirkulasi keuangan
Negara; autput lebih besar dari income. Padahal jumlah pajak yang dipungut dari
rakyat sangat terbatas.(Muqoddimah Ibnu Khuldun 206)
Di sinilah terjadi ketimpangan. pajak yang
dikumpulkan dari rakyat sebagian besar dialokasikan untuk memeberi tunjangan
dengan nominal yang sangat banyak kepada para keluarga dekat istana yang senang
hidup mewah. Sementara anggaran belanja untuk angkatan bersenjata terpaksa
dikurangi.
Hal ini menjadikan angkatan bersenjata
semakin hari semakin berkurang. Akibatnya, perlindungan menjadi lemah, kekuatan
Negara menurun dan bangasa-bangsa tetangga atau para suku-suku dan
gerombolan-gerombolan di perbatasan bisa sesuka hati memberontak. Dan akhirnya
dinasti Abbasyiah tak berdaya membendung serangan musuh. []
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar