Senin, 29 April 2013

(Buku of the Day) Kisah-kisa​h Dari Buntet Pesantren


Pahlawan-Pahlawan Dari Pesantren

 



 

Judul                : Kisah-kisah Dari Buntet Pesantren

Penulis             : Munib Rowandi Amsal Hadi

Penerbit            : KALAM (Komunikatif dan Islami)

Tahun               : II, 2012

Tebal                : x + 94 Halaman

Harga               : Rp. 25.000,-

 

Kiprah dan peran pesantren dalam sejarah perjuangan kemerdekaan tidak dapat disangsikan lagi, pun dalam mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Beberapa catatan sejarah pesantren dapat dijadikan kunci kuat keabsahan perlawanan mereka terhadap kaum penjajah, atau terhadap siapapun yang juga dapat mengancam keberadaan bangsa dan negara.


Lebih dari itu, dalam sejarahnya, beberapa pesantren justru dibangun berdasarkan respon dan reaksi perlawanan terhadap segala bentuk penindasan, oleh karena itu tak jarang jika keberadaan pesantren dinilai sebagai simbol perlawanan paling diperhitungkan oleh bangsa penjajah, termasuk Pesantren Buntet, Cirebon, Jawa Barat. Semenjak berdirinya, pesantren ini diwarnai dengan pelbagai peristiwa yang bersinggungan dengan perjuangan kaum sarungan untuk mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia.


“Kisah-kisah dari Buntet Pesantren” adalah pilihan tepat untuk menelusuri peta perjuangan para kiai dan santri. Dalam buku ini, dimuat banyak catatan menarik mengenai tokoh-tokoh kunci dalam beberapa peristiwa penting sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia, selain itu, buku ini juga menceritakan tentang simpul-simpul jaringan pesantren, serta mengupas segenap ciri khas dunia pesantren seperti istilah karomah, berkah, laduni, dan sisi-sisi lain dunia pesantren yang wajib diketahui oleh para pembaca secara umum, bisa dikatakan, selain berupa catatan sejarah pesantren, buku ini juga dapat dijadikan semacam kamus untuk mengetahui lebih banyak tentang dunia pesantren dan segala identitas lainnya.


pesantren Buntet Cirebon didirikan oleh seorang ulama bernama Kiai Muqayyim, sosok yang arif ini secara ikhlas melepas status sosialnya yang dinilai bergengsi pada saat itu, demi melakukan perlawanan keras terhadap segala bentuk ketidak-adilan yang dilakukan oleh penjajah Belanda.


“Maka dengan kebencian dan kekesalan yang mendalam terhadap penjajah Belanda, pada tahun 1770 Kiai Muqayyim meninggalkan Keraton Kanoman dan pergi ke bagian Cirebon Timur Selatan untuk mencari perkampungan yang cocok dengan hati nuraninya”. (Hal. 5).


Selain kisah perlawanan dan perjuangan Kiai Muqayyim, dalam buku ini juga dimunculkan tentang sosok kunci terjadinya peristiwa “10 November 1945” di Surabaya. Dalam peristiwa tersebut dikisahkan “Menurut Hadaratussyekh KH Hasyim Asy’ari, perlawanan akan dimulai nanti kalau sudah datang ulama dari Cirebon”. Dan ulama yang dimaksud adalah KH. Abbas Abdul Jamil, penerus Kiai Muqayyim dalam mengasuh dan mengembangkan Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, saat itu. (Hal.49).


Dalam jati diri pesantren, perjuangan tidak hanya berupa melancarkan perlawanan terhadap bangsa penjajah, namun juga kepada gerakan apapun yang dinilai dapat mengancam persatuan dan kesatuan negara. Oleh karena itu, “Ketika DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) mengadakan pemberontakan dan hendak mendirikan negara di wilayah Negara Republik Indonesia, Buntet Pesantren termasuk pesantren yang menentang DI/TII dan harus diperangi karena dihukumi bughat (makar). (Hal. 58).


Kisah-kisah kepahlawanan kiai sepuh pesantren Buntet terus berlangsung, kepahlawanan dimaknai secara tak terbatas, dalam arti, perjuangan untuk kepentingan umat dan bangsa menjadi muatan penuh dalam sejarah panjang pesantren ini. Buku ini juga mengenalkan tentang bentuk perjuangan dan kepahlawanan yang dilakukan oleh para kiai meski dalam keadaan negara yang sudah merdeka.


Buku setebal 94 halaman ini akan mengenalkan pembaca kepada tokoh-tokoh penting lain seperti Kiai Kriyan, Kiai Mujahid, Kiai Imam, Kiai Akyas, hingga Kiai Fuad Hasyim dengan segala keistimewaan dan bentuk-bentuk perjuangannya.


Sayangnya, dalam membaca buku ini akan dijumpai beberapa kekurangan, diantaranya adalah pendeskripsian peristiwa yang dapat dinilai kurang begitu menggoda dan tanpa menggunakan pendekatan sastra sama sekali, karena penarasian buku ini cenderung menggunakan tradisi penulisan berita juga pemaparan hasil wawancara dengan pelbagai sumber. Namun hal tersebut dirasa tidak mengurangi pentingnya keberadaan buku ini; sebagai salah satu dari sejuta cara untuk mencintai pesantren, para kiai, dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Selamat membaca. []


Peresensi: Sobih Adnan, Santri Pondok Pesantren Buntet dan Kempek, Cirebon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar