Selasa, 16 April 2013

BamSoet: Selera Penegakan Hukum Berbuah Anarkisme

Selera Penegakan Hukum Berbuah Anarkisme

Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI/
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017

PRAKTIK penegakan hukum yang hanya didasarkan pada selera dan order penguasa menyebabkan hukum menjadi tidak berkepastian menurut persepsi berbagai elemen masyarakat. Ketidakpastian itulah yang menjadi sumber anarkisme dan konflik komunal yang marak belakangan ini.

Dalam rapat dengan pihak Polri baru-baru ini, Tim Pengawas (Timwas) DPR untuk proses hukum kasus Bank Century mempertanyakan alasan penyidik Polri belum menyelidiki  kasus akuisisi PT Ancora Land atas PT Graha Nusa Utama (GNU) yang mendapatkan aliran dana dari PT Antaboga Delta Sekuritas dan Bank Century. Ancora Land milik Menteri Perdagangan Gita Wirjawan yang kini dikelola oleh Rianto Ahmadi, kakak kandungnya sendiri. Dengan menguakuisisi GNU, Ancora berhak menguasai aset tanah seluas 22 hektar di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan.

Posisi Ancora Land sebagai pihak yang mengakuisisi PT GNU sebenarnya sudah dapat dijerat dengan pasal tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Apalagi, empat figur lain yang terkait kasus ini sudah menjalani proses hukum. Mereka adalah Robert Tantular, Toto Kuncoro, Johanes Sarwono, Septanus Farok dan Umar Muchsin. Akan tetapi, karena Ancora Land sudah terlanjur diasumsikan terpisah dari kasus aliran dana Century ke GNU, pihak berwajib merasa tidak perlu melakukan penyelidikan atas motif lain dibalik akuisisi itu.    

Pada kasus dugaan korupsi di proyek Hambalang, terdakwa maupun saksi menyebut sejumlah nama penerima aliran dana. Namun, tidak semua nama dipanggil penegak hukum untuk menjalani pemeriksaan, sekalipun nama penerima dana itu terungkap dalam persidangan. Mantan Wakil Direktur Keuangan Grup Permai, Yulianis, pernah mengungkapkan bahwa seseorang yang sangat tersohor dan sangat dekat dengan kekuasaan mendapat uang dari perusahaannya untuk keperluan kongres sebuah partai politik. Namun penegak hukum belum bergerak untuk menindaklanjuti informasi dari Yulianis itu.

Berbeda dengan nasib Choel Mallarangeng. Namanya disebut oleh terpidana Mindo Rosalina Manulang sebagai pihak yang juga ikut menerima dana proyek Hambalang. Rosa menyebut nama Choel dalam kapasitasnya sebagai saksi di Pengadilan Tipikor, Januari 2012. Bermodalkan kesaksian Rosa itu, adik mantan Menpora Andi Mallarangeng ini pun ikut dicekal sejak Desember 2012. Dia juga sudah menjalani pemeriksaan oleh pihak berwajib.

Dalam kasus simulator SIM, terpidana M Nazaruddin menyebut dugaan keterlibatan beberapa anggota DPR. Nazaruddin menyebut sejumlah nama setelah dia menjalani pemeriksaan. Hanya dalam hitungan hari, surat panggilan untuk menjalani pemeriksaan langsung dilayangkan kepada beberapa anggota DPR yang namanya disebutkan oleh Nazaruddin.

Ilustrasi penyikapan penegak hukum terhadap sejumlah contoh kasus yang disebutkan tadi itu tidak hanya menggambarkan perbedaan perlakuan, tetapi juga mempertontonkan bagaimana praktik penegakan hukum dilaksanakan berdasarkan selera dan order. Praktik itu juga memperlihatkan kesemena-menaan. Tragis, karena kesemena-menaan itu dipraktikan untuk memenuhi ambisi pemilik kuasa.

Kalau nama yang disebut atau diindikasikan terlibat dalam suatu kasus masih menjadi bagian dari --atau sangat dekat dengan-- pusat kekuasaan, peluangnya untuk mendapatkan kekebalan dari sentuhan penegak hukum cukup besar. Imunitas  itu bisa didapatkan berkat lobi-lobi atau karena adanya perintah dari pusat kekuasaan. Kalau pendekatan persoalannya sudah seperti ini, model informasi yang diungkap Yulianis bukannya tidak diterima dan disikapi. Tetap diterima tetapi penyikapannya akan sangat berbeda. Informasi itu langsung divonis sebagai barang mentah yang proses hukumnya tak perlu ditindaklanjuti.

Penyikapan yang kurang lebih sama juga terhadap kasus akuisisi Ancora Land atas GNU. Ada indikasi kuat kalau penegak hukum diintervensi oleh kekuasaan, sehingga tindak lanjut hasil penyelidikan sebelumnya atas kasus ini tidak diteruskan. Dugaan inilah yang melatarbelakangi pertanyaan Komisi III DPR kepada Polri.
 
Kekuatan Negara

Berbeda jika nama-nama yang diduga atau diindikasikan terlibat suatu kasus dikenal sebagai sosok yang sikap politiknya berseberangan dengan pusat kekuasaan, atau setidaknya bersikap sangat kritis. Pusat kekuasaan langsung menunjukan selera menegakan hukum. Oknum-oknum kepercayaan penguasa di institusi penegak hukum dipaksa untuk mengadopsi selera yang sama, dan harus segera beraksi. Kadang, untuk memuaskan syahwat pemberi order, materi berkas acara pemeriksaan (BAP) dibocorkan kepada publik dengan pelintiran-pelintiran di sana-sini untuk semakin memojokan atau membunuh karakter si terperiksa.

Praktik penegakan hukum yang sarat dengan perilaku menyimpang ini bukannya tidak dipahami publik. Ada begitu banyak kasus yang proses hukumnya serba aneh menurut pemahaman publik. Dari kasus besar seperti skandal Bank Century hingga kasus Nenek Minah, Warga Desa Darma Kradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Nenek Minah sempat diancam pidana pasal 362 KUHP tentang Pencurian dengan ancaman hukuman 7 tahun karena dituduh mencuri tiga biji kakao. Begitu juga dengan kasus seorang siswa SMK yang harus dihadapkan ke pengadilan Negeri Palu dengan tuduhan mencuri sandal jepit. Dia diancam hukuman lima tahun penjara.

Keanehan-keanehan ini mendorong masyarakat sampai pada kesimpulan bahwa praktik penegakan hukum itu bisa juga ditentukan oleh faktor selera dan perintah penguasa. Juga terbentuk persepsi bahwa hukum itu bisa dibuat menjadi tidak konsisten dan tak berkeadilan lagi, karena penegak hukum menerima kesepakatan dan sangat terbuka untuk berkompromi. Persepsi seperti inilah yang menggerus kepercayaan berbagai elemen masyarakat terhadap hukum dan penegak hukum.

Model ketidakpastian hukum seperti inilah yang mendorong sejumlah elemen masyarakat mencari cara-cara non-hukum untuk menyelesaikan persoalan yang membelit mereka. Dalam sejumlah kasus pertikaian atau konflik antarkelompok warga, menghindari penyelesaian melalui proses hukum diambil dengan kesadaran penuh karena ada keyakinan masing-masing pihak bahwa hukum belum tentu berkeadilan, karena penegak hukum seringkali tidak independen.

Kecenderungan untuk mengingkari supremasi hukum, belakangan ini, tampak makin kuat dan mewabah ke berbagai kelompok masyarakat. Ditandai dengan maraknya tindakan anarkis, konflik komunal hingga beragam kasus pembunuhan manusia dengan latarbelakang persoalan yang sepele. Belum selesai masyarakat menggunjingkan tragedi penyerbuan lembaga pemasyarakatan Cebongan di Sleman, perhatian harus beralih ke kasus oknum polisi yang menembak rekannya sendiri. Kepala Rumah Sakit Bhayangkara Makassar, Kombes Pol dr Purwadi, ditembak oleh seorang anggota Pam Obvit Polrestabes Makassar.

Sudah berulangkali sejumlah elemen masyarakat mendeskripsikan situasi penegakan hukum terkini dengan sebutan dominasi mafia. Cara pandang yang demikian sesungguhnya merefleksikan pendapat bahwa peran dan kekuatan negara terus melemah, berbanding terbalik dengan semakin menguatnya arus pengingkaran terhadap supremasi hukum.

Supremasi hukum diingkari karena praktik penegakan hukum hanya mengikuti selera dan kehendak penguasa. Praktik yang demikian menyebabkan institusi penegak hukum kehilangan independensinya. Karena hakikat keadilan yang melekat pada hukum mulai diragukan,  sebagian masyarakat pun mencari jalannya sendiri untuk menyelesaikan persoalan mereka. []



Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar