Kamis, 04 April 2013

Gus Dur: Negara Islam, Adakah Konsepnya?


Negara Islam, Adakah Konsepnya?

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

 

Adalah pertanyaan amat menarik untuk diketahui jawabannya, apakah sebenarnya konsep Islam tentang negara? Sampai seberapa jauh hal ini dirasakan kalangan pemikir Islam sendiri? Apakah konsekuensi dari konsep ini bila memang ada? Lalu, apakah konsekuensi dari konsep itu sendiri? Rangkaian pertanyaan itu perlu diajukan di sini, karena dalam beberapa tahun terakhir ini banyak diajukan pemikiran tentang Negara Islam, yang berimplikasi pada orang yang tidak menggunakan pemikiran itu, telah meninggalkan Islam.

 

Jawaban-jawaban atas rangkaian pertanyaan itu dapat disederhanakan dalam pandangan penulis dengan kata-kata: tidak ada. Penulis beranggapan, Islam sebagai jalan hidup (syari’ah) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Mengapa penulis beranggapan demikian? Karena sepanjang hidupnya, penulis telah mencari dengan sia-sia makhluk yang dinamakan Negara Islam. Sampai hari ini pun belum ditemukan. Jadi, salahlah jika disimpulkan memang Islam tidak memiliki konsep bagaimana negara harus dibuat dan dipertahankan.

 

Dasar dari jawaban itu adalah tiadanya pendapat baku dalam dunia Islam tentang dua hal. Pertama, Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian pemimpin. Rasulullah SAW digantikan Sayyidina Abu Bakar-tiga hari setelah beliau wafat. Selama masa itu masyarakat kaum muslimin, minimal di Madinah, menunggu dengan sabar bagaimana kelangkaan petunjuk tentang hal itu dipecahkan. Setelah tiga hari, semua bersepakat bahwa Sayyidina Abu Bakar-lah yang menggantikan Rasulullah SAW melalui bai’at/prasetia. Janji itu disampaikan para kepala suku/wakil-wakil mereka. Dengan demikian, terhindarlah kaum muslimin dari malapetaka.

 

Sayyidina Abu Bakar sebelum meninggal dunia, menyatakan kepada komunitas kaum muslimin, hendaknya Umar Bin Khattab yang diangkat menggantikan beliau, yang berarti telah ditempuh cara penunjukkan pengganti, sebelum yang digantikan wafat. Ini tentu sama dengan penunjukkan seorang Wakil Presiden di masa modern ini, yang harus menyiapkan diri untuk mengisi jabatan itu jika berpindah ke tangannya.

 

Ketika Umar ditikam Abdurrahman bin Muljam dan ada di akhir masa hidupnya, ia meminta agar ditunjuk sebuah dewan pemilih/electoral college (ahl halli wa al-aqdhi), yang terdiri dari tujuh orang, termasuk anaknya, Abdullah, yang tidak boleh dipilih menjadi pengganti beliau. Lalu, bersepakatlah mereka untuk mengangkat Ustman bin Affan sebagai kepala negara/kepala pemerintahan. Untuk selanjutnya, Ustman digantikan Ali bin Abi Thalib. Saat itu, Abu Sufyan sedang menyiapkan anak cucunya untuk mengisi jabatan itu, sebagai pengganti Ali bin Abi Thalib. Lahirlah dengan demikian, sistem kerajaan dengan sebuah marga yang menurunkan calon-calon raja/sultan dalam Islam.

 

DEMIKIAN pula, besarnya negara yang dikonsepkan menurut Islam, juga tidak jelas ukurannya. Nabi meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum muslimin. Di masa Umar bin Khattab, Islam adalah Imperium Dunia dari pantai timur Atlantik hingga Asia Tenggara. Sudah tentu di dalamnya juga ada pandangan tentang ukuran negara. Ternyata tidak ada kejelasan apakah sebuah negara Islam berukuran mendunia, sebuah bangsa saja (wawasan etnis) dengan demikian tidak jelas; negara-bangsa (nation-state), ataukah negara-kota (city state) yang menjadi bentuk konseptualnya.

 

Dalam hal ini, Islam menjadi seperti komunisme: manakah yang didahulukan, antara sosialisasi sebuah negara-bangsa yang berideologi satu sebagai negara induk, atau menunggu sampai seluruh dunia di-Islam-kan, baru dipikirkan bentuk negara dan ideologinya? Menyikapi analogi negara komunis, manakah yang didahulukan antara pendapat Joseph Stalin ataukah Leon Trotsky? Sudah tentu tidak sampai membunuh Trotsky di Meksiko, seperti dilakukan Stalin.

 

Hal ini menjadi amat penting, karena mengemukakan gagasan Negara Islam tanpa ada kejelasan konseptualnya, berarti membiarkan gagasan itu tercabik-cabik karena perbedaan pandangan para pemimpin Islam sendiri. Misalnya, kemelut di Iran, antara para “pemimpin moderat” seperti Presiden Khatami dan para “Mullah Konservatif” seperti Rafsanjani saat ini. Satu-satunya hal yang mereka sepakati bersama adalah nama “Islam” itu sendiri.

 

Mungkin, mereka juga berselisih paham tentang “jenis” Islam yang akan diterapkan dalam negara itu, haruskah Islam Syi’ah atau sesuatu yang lebih “Universal”? Kalau harus mengikuti paham Syi’ah itu, bukankah gagasan Negara Islam lalu menjadi milik kelompok minoritas belaka? Bukankah syi’isme hanya menjadi pandangan satu dari delapan orang muslim di dunia saja?

 

DENGAN demikian jelas, gagasan Negara Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual dan tidak diikuti mayoritas kaum muslimin. Ia pun hanya dipikirkan sejumlah orang saja, yang terlalu memandang Islam dari sudut institusionalnya belaka. Belum lagi kalau dibicarakan lebih lanjut, dalam arti bagaimana halnya dengan mereka yang menolak gagasan itu, adakah mereka masih layak disebut kaum muslimin atau bukan? Padahal mereka adalah mayoritas penganut agama tersebut?

 

Bila diteruskan dengan sebuah pertanyaan lain, akan menjadi berantakan gagasan tersebut: dengan cara apa dia akan diwujudkan? Dengan cara teror atau dengan “menghukum” kaum non-muslim? Bagaimana halnya dengan para pemikir muslimin yang mempertahankan hak mereka, seperti yang dijalani penulis? Layakkah ia disebut kaum teroris, padahal ia amat menentang penggunaan kekerasan untuk mencapai sebuah tujuan. Lalu, mengapakah ia harus bertanggung jawab atas perbuatan kelompok minoritas yang menjadi para teroris itu?

 

KOMPAS, 18 April 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar