Resolusi Jihad, Historiografi NU yang Terserak
Oleh: Didik Suyuthi*
Kirab Resolusi Jihad (KRJ) dalam rangka memperingati hari pahlawan 10 November berjalan sukses. Acara mengarak sang saka Merah Putih dan bendera Nahlatul Ulama dengan rute Surabaya-Jakarta penuh dengan antusiasme masyarakat. Namun sejauh mana pesan mendasar dari KRJ sampai ke masyarakat?
Secara umum dapat dipahami, maksud dan tujuan digelarnya kirab tak lain untuk menegaskan kembali kepada anak-anak bangsa, bahwa NU adalah salah satu pemilih saham sah republik ini. Itu karena NU berperan penting dalam perjuangan panjang membangun NKRI. Dari mulai merebut, mempertahankan, hingga merumuskan dasar-dasar kemerdekaan. Andil NU tak bisa dilupakan sejarah.
KRJ hemat saya tentu bukan sekedar khidmat memperingati sejarah penting Resolusi Jihad, perintah memerangi agresi tentara Sekutu di Surabaya. Sejarah komando perang dengan pekik jihad “Allahu Akbar!” yang digawangi Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 itu memang memiliki makna penting bagi kelangsungan hidup bangsa ini. Karena disamping mampu mengobarkan semangat perlawanan di se-antero negeri, perlawanan umum arek-arek Surabaya beserta sokongan milisi santri yang dikerahkan dari daerah-daerah sekitarnya ini, juga sekaligus mampu menunjukkan kepada dunia internasional bahwa bangsa Indonesia benar-benar telah merdeka dan sedang berjuang keras mempertahankan kedaulatannya. Meski demikian, Resolusi Jihad hanyalah sepercik sejarah diantara torehan sejarah besar perjuangan warga nahdliyin lainnya, yang terserak dari lembaran sejarah.
Riak Politik
Mengambil start dari depan kantor PCNU Surabaya, Ahad (20/11) KRJ dimulai dengan sebuah upacara pelepasan oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dan beberapa kader NU seperti A Muhaimin Iskandar, Helmy Faishal Zaini, dan lain-lain. Keduanya adalah tokoh teras Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Tak berlebihan jika kemudian muncul riak-riak kecil yang menyebut kalau penyelenggaraan KRJ ini juga menyimpan bobot politik. Apalagi yang bertindak sebagai ketua panitia KRJ, Imam Nahrawi, yang tak lain Sekretaris Jenderal DPP PKB. Mereka yang membaca aroma politik ini lantas menyambung-kaitkan dengan upaya PKB untuk menarik simpati massa pemilih nahdliyin jelang Pemilu 2014.
Riak-riak kecil ini juga dikuatkan dengan munculnya pernyataan dan komentar-komentar bernada miring seputar KRJ. Sebut saja Katib Aam PBNU KH Malik Madani yang kemudian menyatakan tidak bertanggungjawab atas penyelenggaraan KRJ. Meski membawa bendera dan mengatasnama NU, acara kirab massal yang mengambil finish di Tugu Proklamasi, Jakarta, ini dianggapnya bukan kegiatan PBNU. Dia beralasan, panitia kegiatan ini sama sekali tidak berkoodinasi dengan PBNU. Atau sejumlah fungsionaris PP GP Ansor, salah satu Badan Otonom NU, yang juga melontarkan kritik senada lantaran merasa tidak dilibatkan dalam gawe besar ini.
Sebagai organisasi yang kaya konflik, riak-riak kecil seperti itu wajar saja dan lumrah terjadi. Konsensus persuasif dan mekanisme organisasi yang tidak ketat, pengalaman sosiologis NU, selalu bisa meredakan ganjalan-ganjalan ini dengan sendirinya. Atau kalau tidak, akan muncul reaksi dari interest group atau kelompok politik lain yang akan berusaha menghapus atau mengurangi bobot politik (PKB) dalam KRJ. Ini juga akan sekaligus mengakhiri riak-riak itu.
Lalu apa? Saya hanya ingin mengatakan, kritik-otokritik adalah budaya konstruktif. Namun bisa tidak menjadi produktif apabila tidak ditempatkan pada pusara semestinya. Terlepas siapa dengan bobot politik apa yang menggelar KRJ, hal mendasar yang penting diingat disini adalah, bahwa mereka berniat membingkai kembali sejarah Resolusi Jihad yang untuk sementara waktu ini masih terserak. Sejarah yang seharusnya dicatat dalam lembaran penting historiografi NU. Tentu lebih baik kalau ada anak-anak muda NU yang tergerak melakukan kerja mulia ini daripada tidak sama sekali.
Kritik-otokritiknya sekarang adalah, kembali ke pertanyaan saya di awal; sejauh mana tujuan mendasar dari KRJ dapat sampai di masyarakat? Dan sejauh mana kelompok penyelenggara KRJ (PKB) dapat meminimalisasi se kecil mungkin bobot politik dalam seluruh rangkaian penyelenggaraan acara?. Anyway, bagaimanapun Nahdlyin juga sudah lebih terdidik secara politik. Saya pribadi percaya, nahdliyin saat ini lebih trengginas. Lebih cerdas menentukan mana baru yang lebih baik, dan mana yang lama yang masih dianggap baik.
Objektivitas Sejarah
Memang benar tidak ada sejarah yang benar-benar objektif. Sejarah selalu dibangun berdasarkan subjektifitas penguasa pada zamannya. Karenanya, semua kemudian bisa memiliki subjektifitas sendiri-sendiri dalam menerjemahkan teks sejarah. Tak terkecuali NU. Saya ingin mengatakan, subjektifitas yang terlalu berlebihan bisa juga berakibat pada bergesernya sejarah dari konteks asali-nya.
Ada beberapa fakta penting terkait sejarah Resolusi Jihad yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Pertama, bahwa 10 November 1945 adalah hari pertama dimana pertempuran terbesar dan terberat terjadi selama tiga pekan tanpa henti dalam sejarah revolusi nasional Indonesia. Diperkirakan lebih 16 ribu tentara nasional (TKR), milisi, dan warga sipil terbunuh dalam pertempuran kota ini. Inilah kenapa kemudian 10 November ditetapkan sebagai hari pahlawan nasional. Kedua, yang juga menjadi pemicu perlawanan massal rakyat saat itu, adalah ultimatum menyusul terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, yang meminta agar rakyat Indonesia menyerahkan senjata dan menghentikan perlawanan pada Sekutu.
Dalam ultimatum tersebut diumumkan, bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia harus melapor dan meletakkan senjata di tempat yang telah ditentukan, dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan. Perintah ini berlaku dengan batas akhir terhitung hingga pukul 06.00 pagi tertanggal 10 November 1945. Sementara, bagi para pemimpin dan sebagian besar rakyat Indonesia yang telah memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, ultimatum ini tentu saja dinilai sebagai penghinaan besar. Penolakan mentah-mentah rakyat terhadap ultimatum ini kemudian dijawab Sekutu dengan melakukan serangan berskala besar. Diawali dengan pengeboman udara dengan target gedung-gedung pemerintahan di Surabaya, dilanjutkan dengan serangan darat dan laut dengan mengerahkan sedikitnya 30 ribu infanteri.Tak dapat dihindari, pertempuran sengit pun terjadi di seluruh penjuru kota.
Andil besar tokoh-tokoh NU pada momentum perang dalam kota ini, adalah dalam ikut mengorganisasi dan mengatur strategi pertempuran. Diantara tonggaknya tak lain lewat pencetusan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Pada waktu itu kalangan kiai memang relatif lebih dipatuhi masyarakat daripada pemimpin pemerintahan yang lebih mengedepankan diplomasi melawan Sekutu. Adalah KH Hasyim Asy’ari yang pada 22 Oktober sebelumnya sudah menggelar pertemuan rapi dengan tokoh-tokoh dan kiai-kiai pesantren lainnya, langsung menggelorakan sikap jihad fisabilillah kepada seluruh santri dan rakyat yang sudah mengubah diri menjadi milisi bersenjata. Mereka mengelompok dalam laskar-laskar daerah. Semua dikerahkan masuk kota Surabaya membantu kekuatan TKR, dan milisi lain yang sudah terlebih dulu memberikan perlawanan pada Sekutu. Mereka datang dari berbagai kalangan berbeda seperti pelajar, mahasiswa, dan kalangan pemuda. Sebagaimana fatwa para kiai, satu semangat mereka saat itu adalah hidup merdeka di negeri sendiri, atau mati syahid. Sekutu pada akhirnya memenangkan pertempuran sengit ini dan mengambil alih kota Surabaya. Namun pertempuran serupa terjadi dan menjalar dimana-mana.
Mencoba memahami kronologi sejarah ini, pertempuran 10 November adalah klimaks dari situasi. Ada beberapa faktor memicunya, termasuk Resolusi Jihad, kematian Mallaby, dan ultimatum Sekutu sebagai puncaknya. Sejak Resolusi Jihad dicetuskan, hadratussyaikh dan para tokoh NU pesantren terlibat aktif meng-create, mengorganisasi perlawanan bersenjata. Mereka mengobarkan semangat jihad pada rakyat untuk melawan Sekutu. Ibarat aksi-reaksi, ultimatum Sekutu pada 10 November praktis saja menjadi momentum perlawanan. Berangkat dari rangkaian sejarah ini, kesan subjektif barangkali sedikit terasa dari pernyataan yang menyebut bahwa peristiwa 10 Nopember 1945 tidak akan pernah terjadi jika pada tanggal 22 oktober 1945 Rais Akbar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy’ari bersama para kiai besar NU lainya tidak menyerukan jihad fisabilillah mempertahankan NKRI. Pengertian dan logikanya menjadi sedikit berbeda dari maksud dan tujuan awal KRJ digelar. Semoga bermanfaat.
*Nahdliyin Grassroot, tinggal sementara di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar