Selasa, 06 Desember 2011

(Ngaji of the Day) HTI, Ancam Kedaulatan Negeri

HTI, Ancam Kedaulatan Negeri

Dewasa ini, di negeri kita, muncul gerakan transnasional yang menggulirkan wacana tegaknya khilafah. Wacana ini, didasari oleh paradigma mereka yang menilai sistem pemerintahan demokrasi yang dianut oleh negeri kita telah nyata-nyata gagal dalam menciptakan masayarakat makmur, sejahtera, aman, dan santosa seperti yang diidam-idamkan oleh seluruh rakyat Indonesia.1) Bahkan, mereka menganggap, sistem inilah yang menyebabkan kemerosotan bangsa ini dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari moral, ekonomi, sampai politik.2) Dengan demikian, mereka mengklaim bahwa satu-satunya sistem yang mampu mengatasi keterpurukan tersebut adalah sistem khilafah (versi Hizbut Tahrir) di bawah naungan daulah islamiyah.

Sekilas, pemikiran tersebut sangat menjanjikan. Namun, khilafah seperti apa yang ingin mereka tegakkan? Apakah konsep yang mereka usung benar-benar sesuai dengan manhaj nubuwah, atau justru bertolak arah? Dan dapatkah sistem itu direalisasikan di tengah-tengah masyarakat plural seperti Indonesia, tentunya harus tanpa diawali dengan pertumpahan darah?

Inilah di antara pertanyaan-pertanyaan penting yang harus dihadapi oleh setiap penjaja konsep. Karena, bagaimanapun idealnya sebuah konsep, pada tataran selanjutnya ia tetap harus dihadapkan pada realita yang kompleks. Realita itulah yang selanjutnya yang akan menilai kelayakannya.

Pertahankan NKRI!

Upaya penegaan sistem pemerintahan khilafah ideal—seperti pada masa Khulafâ’ur-Rasyidîn—tidak lain hanyalah sebuah mimpi yang impossible untuk diwujudkan. Sebab, sistem pemerintahan khilafah ideal telah selesai pada tahun 40 Hijriyah atau tiga puluh tahun pasca wafatnya Rasulullah . Hal ini selaras dengan sabda beliau: “Khilafah setelahku berlangsung selama tiga puluh tahun. Kemudian (pemerintahan) akan berubah menjadi kerajaan”.3)

Di sampingitu, wacana ini justru ditengarai akan menimbulkan konflik besar dan pertumpahan darah. Sejarah mencatat tragedi memilukan di Karbala berupa tewasnya Sayidina Husein dan para pengikutnya serta perselisihan yang terjadi antara Abdullah bin Zubair bin Awam versus Malik bin Marwan yang berakhir dengan pembunuhan Abdullah bin Zubair di kota Mekah. Demikian juga, peristiwa yang terjadi di Al-Jazair dan Sudan yang telah menimbulkan genangan darah dan perpecahan penduduknya. Peristiwa-peristiwa tersebut dipicu oleh sebuah wacana yang menuntut tegaknya sistem pemerintahan ideal seperti pada masa Nabi dan Khulafâ’ur-Rasyidîn.

Memang dalam Islam, sejarah tidak menjadi sumber hukum. Tetapi, sejarah dapat menjadi pijakan dan tolok ukur dalam menentukan dan mengambil keputusan yang lebih bermanfaat dan berupaya menampik segala keburukan. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih yang telah dirumuskan ulama “Kemudaratan sedapat mungkain ditolak’’ (baik sebelum terjadinya maupun sesudahnya).4)

Karenanya, sistem pemerintahan Indonesia saat ini, sedapat mungkin terus dipertahankan untuk mencegah terjadinya perpecahan seperti peristiwa di atas. Bukankah dalam kaidah fikih telah diungkapkan menampik sesuatu keburukan lebih diutamakan daripada meraih kemaslahatan?

Di samping itu, mempertahankan persatuan dan kedaulatan NKRI merupakan tuntutan negara terhadap warganya sebagai wujud rasa cinta dan pengabdiannya pada negara. Mencintai negara adalah cermin dari seorang yang beriman sesuai dengan sesuai dengan Hadis Nabi : “Mencitai negara merupakan sebagian dari iman”.5)

NKRI Harga Mati

Ulama Indonesia sepakat bahwa persatuan dan kedaulatan NKRI wajib dipelihara dan dipertahankan. NKRI merupakan bangunan yang didirikan atas dasar kebersamaan melalui perjuangan dan pengorbanan yang tak terhingga. Lebih lanjut, mereka juga menegaskan bahwa NKRI adalah pemerintah Islam yang sah dan wajib dijunjung tinggi martabatnya serta wajib untuk ditaati.6)

Kesepakatan ini merujuk pada pendapat Imam al-Ghazali—seorang tokoh dan pemikir Islam abad ke-V Hijriyah—yang mengatakan: keberadan khilafah yang memenuhi syarat secara lengkap sangatlah sulit pada masa kita saat ini. Dengan demikian, maka boleh melaksanakan semua keputusan yang telah ditetapkan oleh penguasa walaupun ia bodoh atau fasik. Hal ini diupayakan supaya kepentingan umat Islam tidak tersia-sia begitu saja. Menurut Imam ar-Rafi’i pandangan al-Ghazali tersebut merupakan yang paling baik dari kesekian pendapat politik Islam.7)

NKRI sebagai bentuk negara tercinta kita merupakan pandangan final. Dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Maksud dari negara kesatuan adalah suatu negara yang terbentuk bukan karena adanya gabungan dari beberapa negara, serta kedaulatannya tidak terbagi.

Terbentuknya NKRI dengan sistem seperti sekarang, bukan berarti menghapus status NKRI sebagai negara Islam. Islam tidak terikat dengan simbol-simbol tertentu dalam mengatur sistem perpolitikannya. Sistem perpolitikan Islam tidak mengharuskan sebutan khilafah, imamah serta daulah sebagai satu-satunya simbol identitas negara. Sebab Islam telah meletakkan prinsip-prinsip yang dapat menjadikan status negara disebut negara Islam.

Ada beberapa prinsip yang dapat menjadikan sebuah negara dapat menyandang predikat sebagai negara Islam.

Pertama, apabila esensi tatanan sistem pemerintahan dalam prinsipnya mengadopsi hukum yang bermuara dari al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber kebijakannya. Dengan demikian, negara bisa disebut dengan negara Islam, ketika konstitusinya menggunakan konsep Islam dan ideologinya berlandaskan Islam.

Kedua, tegaknya penerapan hukum dan syiar Islam selain yang berkaitan dengan masalah ibadah. Seperti, hukum rajam, had zina, dan lain-lainnya.8)

Ketiga, apabila suatu negara dapat konsis dengan syariat Islam namun wadah kenegaraannya tidak lagi menggunakan istilah khilafah, imamah serta daulah Islamiyah, bahkan menyesuaikan dengan tuntutan alam modern, maka negara tersebut tetap berstatus Negara Islam. Secara faktual juga dapat disebut dengan istilah khilafah, imamah dan daulah Islamiyah. Konsis ini bukan berarti negara tersebut telah merealisasikan seluruh perundang-undangan agama Islam. Karena, untuk mencapai sektor tersebut masih butuh proses panjang dalam meniti langkah ke depan.9)

Keempat, apabila negara tersebut mayoritas berpenduduk Islam, maka secara otomatis negara tesebut berstatus Negara Islam.10)

Dari wacana di atas dapat disimpulkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara yang berstatus sebagai Negara Islam. Dengan demikian, wajib bagi seluruh warga Indonesia menjaga dan memelihara kedaulatan persatuan dan kesatuan NKRI dari kelompok radikalis yang mengusung wacana tegaknya khilafah di bumi pertiwi tercinta ini. Sebab wacana mengusung tegaknya khilafah di bumi Indonesia dikhawatirkan justru akan menyebabkan keretakan persatuan dan kesatuan NKRI, bahkan akan menimbulkan pertumpahan darah sesama warga Indonesia. Hal ini mengingat masyarakat negara ini dikenal dengan masyarakat plural dan berjuta warna. Wallahu a’lam.[]

1)     Al-Wa’ie, no. 42 tahun IV, 1-29 Pebruari 2004
2)     Ibid.
3)     Tim Kajian Ilmiah Abituren 2007 Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo Kediri, Simboisis Negara dan Agama, hal 148
4)     M. Quraisy Syihab, Logika Agama, hal 61
5)     Istinbat, edisi 182 tahun X, Jumadil Ula 1429 H
6)     Solusi Problamatika Aktual Hukum Islam: Keputusan Muknamar, Munas, dan Kombes Nahdhatul Ulama, hal 269
7)     Imam Taqiyuddin Abi Bakar bin Muhammad al-Husainiyi al-Hashani ad-Dimsyiqi as-Syafi’i, Kifâyatul-Akhyâr, hal 258
8)     Tim Kodifikasi Abituren 2007 Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo Kediri, Manhaj Solusi Umat, hal 270
9)     Buletin SIDOGIRI, edisi 32 tahun IV Syaban 1429 H
10)  Tim Kodifikasi Abituren 2007 Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo Kediri, Manhaj Solusi Umat, hal 270

Penulis adalah Santri Pondok Pesantren Sidogiri – Pasuruan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar