Di Bawah Bendera Islam Indonesia; Mengabdi untuk Peradaban Dunia
Oleh: Dinno Munfaidzin Imamah*
Gerakan radikalisme agama yang menyulut api militansi, sihir sektarianisme, aksi kekerasan dan terorisme bukan sekedar masalah ideologis, tetapi merupakan gejala modern yang memiliki kompleksitas. Berhubungan dengan sejarah, dinamika politik, pergeseran geostrategis, serta problem sosial-ekonomi dan politik akibat modernisasi. Sebagai gerakan politik yang dibangun di atas pandangan agama, tidak saja berkaitan dengan cita-cita ideologi, tapi juga dengan masalah utama yaitu tindakan rezim yang berkuasa, gagal mengelola pusaran arus globalisasi. Rasa kacau mendorong individu yang tidak beruntung dalam percaturan ekonomi politik bergerak ke titik radikal ekstrim yaitu krisis identitas, berperang atas nama Tuhan. Bahkan mengaku-aku sebagai Sang Tuhan.
Mainstream masyarakat Barat menganggap bahwa Islam garis radikal identik dengan aksi teror, yaitu penggunaan kekerasan untuk melawan kepentingan-kepentingan sipil guna mewujudkan target-target politik dan power struggle. Gejala itu dipicu oleh sosio-historis umat Islam dan juga konstelasi internasional, dimana isu terorisme mencuat di saat pasca Perang Dingin. Aksi teroris telah memberikan sinyal bahwa selama ini agama masih dijadikan alat kekuasaan dan politisasi, faktor disintegrasi, alat provokasi kerusuhan, dan pemicu konflik horizontal. Bagi bangsa Indonesia, munculnya radikalisme dan terorisme telah menjadi ancaman nyata, bahkan menjadi ancaman bagi demokrasi dan masyarakat sipil (civil society).
Dari Islamisme ke Radikalisme: Sosio-Historis dan Politik Global
Islam is solution adalah slogan yang bergema lantang dari kaum radikal agama di Republik ini. Semakin berkibar dan berkembang saat jatuhnya Pemerintahan Soeharto terutama pasca tragedi 11 September. Gerakan Islam radikal kemudian mendapatkan image sebagai teroris. Kaum radikal Islam atau mereka yang menolak negara selain berdasarkan Islam, dalam dasawarsa ini tumbuh seperti jamur. Sebagaian memasuki kancah politik melalui jalur parlemen, sebagaian lain melalui jalur sosial keagamaan sedangkan lainnya melalui aksi-aksi kekerasan dan aksi-aksi semi kekerasan. Berbeda dengan periode 90-an ke bawah, kelompok radikal Islam ini telah mendapatkan dukungan dari gerakan Islamisme yang berjaring internasional. Tentu saja hal itu mengundang kelompok-kelompok radikal agama lainnya untuk melakukan tindakan yang bersifat radikal pula sehingga menganggu iklim toleransi sosial yang diperlukan masyarakat demokratis. Situasi seperti ini dapat menjadikan kelompok mayoritas yang berpandangan moderat di dalam Islam maupun non Islam menjadi sandera kaum radikal.
Ekspansi globalisasi memang telah membawa pengaruh yang sangat kompleks terhadap pembangunan demokrasi yakni mendunianya kekuatan-kekuatan politik radikal yang melandaskan diri pada ideologi politik yang anti nation-state, dengan jaringan yang bersifat global pula. Kaum radikal agama ini telah berkembang luas di Indonesia dan dalam perjuangannya justru memanfaatkan momen demokratisasi yang sedang berlangsung. Kelompok-kelompok ini jelas berpotensi menikam demokrasi dari belakang, bahkan terhadap negara kebangsaan Indonesia.
Dalam membaca gerakan radikal pasca reformasi memang cukup bervariasi, perlu dikenali masing-masing. Pertama, gerakan radikal yang dimotori oleh kelompok yang memiliki ikatan historis dengan DI/NII. DI/NII tetap eksis setelah tertangkapnya Kartosoewiryo dan kemudian bergerak di bawah tanah (clandesteine) yang terpecah-pecah dalam berbagai faksi; struktural dan non-struktural. Kedua, gerakan Islam radikal yang muncul akibat perilaku political pressure atau tertindas dari rezim Soeharto. Umumnya mereka membangun basis di pesantren-pesantren baru tertentu yang berafiliasi dengan kelompok fundamentalisme Timur Tengah atau pernah mengenyam pendidikan di sana dan memiliki temperamen keras Arab, yaitu ofensif, dan juga terinspirasi oleh gerakan Islam garis keras Timur Tengah seperti Ikhwanul Muslimun di Mesir (1906-1949), Jama’at Al Islami di Pakistan (1903-1978), Hizbut Tahrir di Yordania. Ikhwanul Muslimun di bawah pimpinan Hasan al-Banna, dilanjutkan Sayyid Qutb dengan Magnum opus-nya, Ma’alim fi’l Tharig telah mengilhami sepak terjang kelompok-kelompok Islamis lainnya, Hamas di Palestina, Hizbullah di Lebanon, FIS (Front Islamique du Salut) di Al-Jazair dan gerakan Islam fundamentalis lainnya yang terinspirasikan oleh gerakan Wahhabi garis keras di akhir abad ke-19 antara lain Jihad Islam, Salafi Jihadi dan Jama’ah al Takfir yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan Presiden Anwar Sadat. Ketiga, gerakan Islam radikal yang muncul di kampus-kampus. Seperti yang terjadi pada tahun 90-an Al Jamaah Al Islamiyah di Mesir, yang semula hanya kelompok-kelompok mahasiswa aktifis kampus yang sangat peka pada persoalan politik, berubah menjadi front yang menghimpun para ekstrimis bawah tanah.
Doktrin Jihad menjadi simbol dan metode perlawanan dalam memperjuangkan Islam yang kaffah (totalistik) dan menegakkan syari’at Islam sebagai hukum negara dan Islam sebagai dasar hubungan integralistik, sehingga cita-citanya adalah membangun negara Islam dan Khilafah Islamiyah. Jihad merupakan pilihan paling jitu untuk menghadapi tembok McWorld yang terus menerus memamerkan dominasi, tanpa peduli pada persoalan yang membayangi persoalan mereka. Simbol Jihad adalah identitas dan konser martabat mereka di ruang publik. Praktek keagamaannya cenderung puritan dan menentang liberalisasi Islam, sehingga mereka sangat memusuhi apa pun yang bersifat sekuler dari Barat, khususnya AS. Bagi kaum radikal, kemewahan Barat seperti hotel-hotel pencakar langit, tempat dansa-dansi, café, restoran, klub malam, dunia gemerlapan perjudian dan pelacuran bukan hanya simbol kapital, tapi simbol setan, yang harus dihancurkan. Kemunculannya sebagai ekspresi amarah, frustasi dan respon terhadap tatanan arus deras modernitas. Inilah ‘pilihan rasional’ bagi nasib mereka di muka bumi yang tanpa harapan, tanpa masa depan, dan penuh ketidakpastian.
Pola radikalisme teroris dan kekerasan yang menjalar-jalar dalam gerakan Islam radikal di Republik ini merupakan pergumulan dengan kelompok garis keras dan militan muslim di Pakistan dan Afganistan. Gesekan-gesekan strategis dan taktis telah teramu dan teruji dengan baik. Yang awalnya hanya bersifat ideologis, telah memiliki kemampuan militer dan logistik berkat pelatihan di Pakistan, Afganistan, dan di Moro Philipina. Kemudian dikembangkan konspirasi adanya jaringan kelompok Islam garis keras di Indonesia dengan kelompok Islam radikal Internasional yang melakukan berbagai aksi teroris. Pertengahan 1990-an, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir yang terlibat dalam mobilisasi jihadis untuk berperang di Afganistan dan menjalin kontak dengan Osama bin Ladin mendirikan Al Jamaah Al Islamiyah (JI), dan Al-Qaeda disampingnya, yang menjadi tulang punggung Front Jihad Dunia Islam (World Islamic Front for Jihad). Bahkan sejumlah unsurnya dipercayai bertanggung jawab terhadap serangkaian aksi pengeboman di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir. Mengancam dan berpotensi membuat keragaman dan pluralisme negara bangsa menjadi sempal. Atas dasar ini, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) memutuskan menambah daftar organisasi-organisasi yang dinyatakan sebagai organisasi teroris dengan mencantumkan Al Jamaah Al Islamiyyah di dalamnya.
Respon Islam Indonesia; Memutus mata rantai radikalisme
Saat ini Dunia Barat merasa perlu memahami Islam di Indonesia atau juga di sebut Islam Indonesia. Di tegaskan bahwa kelompok-kelompok radikal Islam di Indonesia merupakan minoritas yang sangat kecil. Sesungguhnya Indonesia sebagai model dari negara yang terorismenya tak bisa tumbuh subur. Sebab, Indonesia merupakan negara yang mayoritas berpenduduk muslim, mempraktekkan toleransi beragama, berbasis multikultur dan demokrasi. Indonesia sebagai sebuah negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di muka bumi, terbanyak di Dunia Islam, karena sekitar 88,2 persen dari total 235 juta penduduk Indonesia beragama Islam. Realita bahwa Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir merupakan negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan AS juga kian memperkuat dorongan berbagai kalangan untuk lebih memahami Islam di negara ini. Secara geografis, Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau sehingga suatu aksi terror atau konflik di satu wilayah tidak bisa digeneralisir dan bahkan tidak berpengaruh bagi wilayah lainnya. Indonesia adalah model untuk dunia, seharusnya Islam dipraktekkan. Islam Indonesia tetap merupakan Islam yang toleran dan damai. Berperan besar dalam penguatan demokrasi secara global dan peradaban dunia yang damai.
Lima puluh satu tahun yang silam, tepatnya pada tanggal 17 April 1960, para kaum muda Nahdlatul Ulama (NU) berkumpul di Surabaya memperbincangkan arah gerakan kader-kader NU di tingkatan kaum muda mahasiswa. Hari itu pula didirikanlah suatu wadah gerakan kaum muda NU yang hari ini kita kenal dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Ada 4 prinsip Aswaja yang menjadi landasan gerak PMII yaitu tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran) dan ta’addul (adil). Selama setengah abad PMII telah banyak memberi kontribusi besar terhadap bangsa, negara, dan agama. PMII sudah melahirkan banyak pemimpin, cendekiawan, akademisi, peneliti, dan sebagainya. Mereka menyebar di seantero jagad Indonesia. Keberadaan PMII menjadi tonggak penting dalam menentukan sinar peradaban Islam Indonesia. Kehadiran PMII yang lahir dari rahim NU memiliki perspektif yang berbeda mengenai keislaman, kebangsaan, dan persatuan.
PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) termasuk dalam kelompok besar umat Islam yang disebut sebagai ummatun washatan. Seringkali di identikkan dengan Islam washatiyah, yakni umat Islam yang berada di tengah, seimbang, tidak berdiri pada dua kutub ekstrem, baik dalam pemahaman dan praktek Islam. Harus diakui dalam arus globalisasi saat ini, positioning PMII dengan gagasan ummatun washatan atau washatiyah kembali menemukan momentumnya setelah peristiwa 9/11, ketika kaum muslimin dan Islam menjadi “terdakwa” dalam aksi-aksi kekerasan dan terorisme yang dilakukan individu dan kelompok muslim tertentu. Padahal dengan jelas, Islam mengecam kekerasan, apalagi terorisme, dan jika pelaku kekerasan dan terorisme itu adalah muslim, maka itu tidak bisa diidentikkan dengan Islam dan muslim secara keseluruhan. Inilah urgensi mendesak untuk memberi penjelasan kepada publik internasional tentang Islam dan kaum muslimin sebagai entitas washatiyyah yang menjalankan Islam washatiyyah.
Dalam pandangan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), aktualisasi ummatan washatan di Indonesia bermula sejak awal penyebaran Islam, yang di lakukan oleh Wali Songo. Dakwah penyebaran agama Islam paling tersukses di bumi Nusantara. Bahkan pada akhir abad ke-12 dan awal abad ke-13 dalam karya klasiknya Thomas Walker Arnold, The Preaching of Islam, di sebut sebagai penetration pacifique. Dalam penyebaran Islam berlangsung secara damai, dan memang sulit dielakkan terjadinya percampuran antara Islam dengan kepercayaan kapitayan dan praktek keagamaan serta budaya lokal. Akan tetapi, gelombang pemurnian dan pembaruan Islam terus berlangsung sejak abad ke-17 yang pada satu segi mengorientasikan Islam di kawasan ini ke arah skripturalisme, tetapi pada saat yang sama juga berlangsung proses pribumisasi Islam dengan realitas lokal di Indonesia. Inilah fakta sejarah keagamaan Nusantara berada pada suatu kontinum persilangan budaya. Wajah keagamaan di Indonesia menemui kematangannya justru karena telah bersalin rupa dalam paras Nusantara
Perjalanan Islam Indonesia adalah wujud kematangan dan kedewasaan Islam universal. Secara empiris, ia terbukti bisa bertahan dalam sekian banyak kebudayaan non-Arab. Ia bahkan ikut menciptakan ruang-ruang kebudayaan yang sampai hari ini ikut dihuni oleh mereka yang non-Muslim sekalipun. Kematangan Islam Indonesia memungkinkannya menyumbang begitu banyak khazanah budaya justru karena dilandasi keyakinan keagamaan yang utuh. PMII menyebutnya sebagai semangat keragaman (ruh al-ta’addudiyyah), semangat keagamaan (ruh al-tadayyun), semangat nasionalisme (ruh al-wathaniyyah), dan semangat kemanusiaan (ruh al-insaniyyah). Inilah yang dalam sejarah panjang Nahdlatul Ulama menjadi garis kesadaran sejarah yang bisa dengan jelas dilihat dalam kiprah NU dan PMII mengawal sejarah panjang NKRI. Garis perjuangan NU dan PMII ini terus tersambung hingga hari ini.
Pergerakan penting kalangan Islam Indonesia terlihat dalam watak negara Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Para pendiri (founding fathers) dari kalangan nasionalis dan Islam akhirnya bersepakat menjadikan Indonesia bukan sebagai negara sekuler, dan bukan sebagai negara agama berdasarkan Islam. Washatiyyah ini terpatri dalam Pancasila sebagai kalimatun sawa, prinsip-prinsip yang sama atau common platform di antara anak bangsa yang plural, majemuk dalam berbagai aspek kehidupan, Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.
Pada ranah kemasyarakatan, Islam washatiyyah terwujud dalam berbagai organsisasi besar Islam yang umumnya berdiri jauh sebelum kemerdekaan RI. Mulai dari NU (Nahdlatul Ulama), Muhammadiyah, Al Washliyah, Perti, Mathla’ul Anwar, PUI, Persis, Nahdlatul Wathan, dan banyak lagi. Dalam konteks ini posisi kalangan pemuda PMII sebagai anak kandung organisasi terbesar Islam se-dunia yaitu NU, mengambil ‘jalan tengah’ bukan hanya dalam hal pemahaman dan praksis keagamaan, tetapi juga dalam sikap budaya, sosial dan politik, dimanapun dan kapan pun.
Sekali lagi, sejak periode pasca-Soeharto, Indonesia semakin dikenal dunia internasional tidak sekedar negara muslim terbesar, tetapi juga sebagai negara demokrasi ketiga setelah India dan AS. Dengan posisi dan status ini, tidak heran banyak kalangan di Dunia Barat dan Dunia Islam berharap Indonesia dapat memainkan peran lebih besar di tingkat internasional. Peran yang diharapkan itu antara lain menyebarkan Islam washatiyyah, Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, yang diidentikkan dengan Islam moderat dan sekaligus memberdayakan demokrasi di Dunia Muslim. Konsolidasi dan pemberdayaan Islam washatiyyah di Indonesia menyangkut penguatan sikap inklusif, dan rekonsiliatif dalam menghadapi gejala keagamaan yang muncul di kalangan umat Islam sendiri, yang tidak selalu menguntungkan. Hal ini terutama benar ketika terlihat kecenderungan menguatnya pemahaman ke-Islaman yang ‘hitam-putih’, literal, bahkan keras.
Islam Indonesia memahami makna pemahaman interpretatif aksi-aksi kekerasan atas nama Jihad, memungkinkan menyusun langkah strategis, terpadu, dan komprehensif untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme yang mengancam benteng utama NKRI. Di samping menggunakan pendekatan ideologis dan menggulirkan program-program deradikalisme masyarakat sipil di level kampus-kampus, pesantren dan pemuda-pemuda sebagai tulang punggung. Memperkuat pengkaderan kembali tentang semangat Repubik di kalangan pemuda dan mahasiswa yang berarti memperkuat ikatan emosi dengan pemikiran-pemikiran dan atribut-atribut pada saat terbentuknya NKRI seperti cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila, Konsensus Nasional Sumpah Pemuda dan Pembukaan UUD 1945.
Ikhtiar mengikis habis pengaruh radikalisme dan terorisme juga harus dilakukan melalui pendekatan ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Program-program pemberdayaan dan pendampingan sosial-ekonomi berskala luas perlu dikembangkan terhadap mereka yang pernah terlibat dalam aksi-aksi teror dan yang bersentuhan dengan ideologi radikal serta berpotensi terkena pengaruhnya, terutama kaum muda. Program-program tersebut bermuara pada peningkatan keterampilan kerja, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, khususnya mereka yang terkena dampak radikalisme. Keberhasilan ‘memanusiakan’ mereka yang frustasi dengan keadaan sosial ekonomi politik dan ikhtiar menyalurkan rasa kacau itu melalui aksi-aksi radikal dan terror di ruang publik Indonesia menjadi salah satu prasyarat bagi keberhasilan kampanye antiradikalisme dan terorisme. Pendekatan-pendekatan ini berada pada matra protect dan prevent, sebagai bagian terpadu dari counter terrorism strategy yang juga melibatkan taktik respond and pursue.
Posisi Islam Indonesia juga perlu menguatkan jaringan (networks) baik pada level nasional, regional maupun internasional menjadi kebutuhan prioritas. Penguatan jaringan tersebut berarti memfasilitasi proses yang memungkinkan Islam ‘jalan tengah’ Indonesia dapat memiliki jaringan terpadu secara internal, dan pada saat yang sama mempunyai hubungan dengan organisasi kelompok-kelompok civil society dan lembaga swadaya masyarakat di Dunia Muslim maupun lingkungan yang lebih luas. Dengan demikian Islam washatiyyah di Republik ini dapat menjadi sebuah gerakan yang memiliki dimensi internasional. Peluang Islam Indonesia untuk memainkan peran lebih besar pada kancah internasional tampak kian terbuka, sekaligus memberi kontribusi bagi peradaban dunia yang damai. Di tengah konflik bersenjata yang melibatkan kaum muslimin, yang telah menewaskan jutaan manusia, Islam Indonesia dapat menjadi kekuatan “penengah dan pendamai” (mediating dan bridging) di antara berbagai pihak yang terlibat konflik. Menjadi “jembatan” ketegangan di antara Barat dan Dunia Islam. Dalam batas tertentu, ketegangan itu kian meruncing dengan menguatnya sikap anti-imigran Muslim dan anti Islam di kalangan sayap kanan di Eropa dan Amerika Utara.
Eksistensi Islam Indonesia memiliki jejak tradisi mulia, warisan luhur, dan potensi untuk memberi kontribusi lebih besar kepada penguatan demokrasi secara global, khususnya di Dunia Muslim, dan sekaligus juga pada peradaban global menghadang arus dahsyat radikalisme, terorisme dan fundamentalisme religius ekstrim. Islam Indonesia tidak terbebani ironi sejarah seperti yang dialami masyarakat muslim di Timur Tengah. Karena itu, Islam Indonesia bisa lebih fokus dalam membangun Islam Indonesia yang dapat dijadikan model masyarakat muslim lain dalam mewujudkan kehidupan lokal, regional dan internasional yang lebih baik pada hari ini dan masa depan.
* Ketua Jaringan Alumni PB PMII – Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia & Mahasiswa Studi Ilmu Politik FISIP-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar