Pandangan Mujtahid terhadap Hadis
Semua hukum-hukum Islam yang lima (wâjib, sunnah, makrûh, harâm, mubâh) bersumber dari al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas, atau apa yang diistilahkan oleh ulama dengan Mashâdirut-Tasyrî‘ al-Islâmî (sumber-sumber hukum Islam).
Sebenarnya, rujukan hukum Islam tidak hanya terbatas pada empat sumber di atas. Masih terdapat sumber lain yang dijadikan landasan dalam perumusan hukum oleh para mujtahid, seperti Qaulush-Shahabah (pendapat Shahabat), Ijmâ’u Ahli Madînah (Ijma’ penduduk Madinah), Istihsân, dan Ishtishhâb. Akan tetapi, yang disepakati sebagai Mashâdirut-Tasyrî’ al-Islami oleh segenap mujtahid –Maliki, Hanafi, asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbali, hanyalah empat: al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Sedangkan sisanya masih diperselisihkan, semisal Ijma’ ahli Madinah yang hanya dibuat acuan hukum oleh mazhab Maliki, Ishtihshab oleh mazhab asy-Syafi’i, dan Istihsân oleh mazhab Hanafi.
Ringkasnya, segenap hukum Islam itu bermuara pada Mashâdirut-Tasyrî’ al-Islami yang disebutkan di atas. Hanya saja, yang menjadi dasar utama dari hukum Islam adalah al-Qur’an dan Hadis, sebab keberadaan yang lainnya (Ijma’, Qiyas, dan seterusnya) sebagai Mashâdirut-Tasyrî’ al-Islami karena adanya legimitasi dari al-Qur’an. Maka dari itu, al-Qur’an dan Hadis merupkan acuan utama di dalam memutuskan hukum-hukum syar’i, baru selanjutnya beralih kepada Ijma’ dan Qiyas. Namun, Ijma’nya para mujtahid tetap harus berlandaskan kepada al-Qur’an atau Hadis, begitu pula dengan Qiyas.
Al-Qur’an
Al-Qur’an –sebagaimana yang telah maklum– adalah firman Allah Subhânahu wata‘âlaâ yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Sallallâhu ‘alaihi wasallam melalui perantara Malaikat Jibril ‘Alaihissalâm. Sebagian dari kandungan ayat al-Qur’an, kurang lebih sekitar 150 ayat, berisikan tatanan hukum taklîfi yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Di samping itu, terdapat pula beberapa ayat yang secara praktis menegaskan bahwa al-Qur’an merupakan acuan utama di dalam menetapkan hukum Islam, di antaranya adalah firman Allah Subhânahu wata‘âlaâ (artinya) “Dan berpegang teguhlah kalian semua pada tali Allah (al-Qur’an) secara keseluruhan dan janganlah kalian terpecah belah) (QS Ali ‘Imran [03]: 103)
Hadis
Sebagaimana penjelasan di atas, di antara Mashâdirut-Tasyrî’ al-Islami adalah Hadis Nabawi. Sedangkan definisi Hadis itu sendiri ialah sabda, perilaku, serta legalisasi Nabi Muhammad Sallallâhu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, ada sebagian kelompok yang mengingkari Hadis sebagai hujjah (Mashâdirut-Tasyrî’ al-Islami). Namun, pendapat ini telah lama terbantahkan melalui berbagai ayat al-Qur’an yang dengan tegas memberikan justifikasi posisi Hadis, di antaranya adalah ayat (artinya) “Dan adapun perkara yang di bawah oleh Rasul terhadap kalian maka ikutilah dan sesuatu yang dia larang maka hindarilah.” (QS al-Hasyr [59]: 7)
Oleh karenanya, segenap ulama telah memposisikan Hadis sebagai acuan dasar setelah al-Qur’an. Hanya saja, tidak semua Hadis dapat dijadikan pijakan dalam memutuskan hukum. Seleksi Hadis –sebelum kemudian digunakan– terbilang sangat ketat. Sehingga, Hadis-hadis yang bernilai dha‘îf (Gharîb, Munqathi’, Mu’adhdhal, Mubham, Munkar, Syâdz, Mu’allal, Muththarrib, Matrûk, Mudallas) tidak dipakai oleh mujtahid dalam upaya penggalian hukum mereka. Para mujtahid hanya menggunakan Hadis shahîh dalam berijtihad.
Namun, ada juga beberapa bentuk Hadis yang masih diperselisihkan untuk dapat dijadikan hujjah dalam upaya penggalian hukum Islam, yaitu Hadis Mursal dan Âhâd.
Hadis-Hadis yang Diperselisihkan
A. Hadis Mursal
Ulama Ushul Fikih mendefinisikan Hadis Mursal sebagai Hadis yang perawinya tidak pernah berjumpa langsung dengan Nabi Sallallâhu ‘alaihi wasallam, namun ia meriwayatkan dengan berkata, “Nabi Sallallâhu ‘alaihi wasallam Bersabda”. Melalui definisi ini dapat dipahami bahwa dalam Hadis Mursal terdapat sahabat Nabi Sallallâhu ‘alaihi wasallam yang tidak disebut oleh rawi. Dengan kata lain, sanad Hadis tersebut terputus dengan mengugurkan sahabat atau tabi’in .
Oleh karenanya, ulama berbeda pandangan mengenai Hadis Mursal ini. Menurut Imam Hanafi dan Imam Malik serta beberapa muhadditsîn, Hadis Mursalbisa dibuat hujjah secara mutlak. Bahkan menurut Imam Hanafi lebih kuat dari Hadis Musnad.1 Pendapat mereka ini berlandaskan Ijma’ sahabat yang telah banyak menerima Hadis dari Abdullah bin Abbas Radhiyallâhu ‘anhu, padahal Beliau sendiri jarang mendengar langsung dari Rasulullah Sallallâhu ‘alaihi wasallam. Dan juga berlandaskan pada Ijma’ tabi’in, sebab sudah menjadi tradisi di kalangan mereka me-mursal-kan sebuah Hadis.2
Sedangkan dalam pandangan Imam asy-Syafi’i, Hadis Mursal dapat dibuat hujjah asalkan memenuhi beberapa syarat berikut:
1. Diperkuat oleh Hadis lain, baik Mursal atau Musnad.
2. Diperkuat oleh perkataan sahabat dan ulama.
3. Râwi yang me-mursal-kan Hadis tersebut adalah pembesar tabi’in seperti Sa’îd bin Musayyib.
Namun, menurut mayoritas ulama Hadis, semisal Imam Muslim3 mengklaim Hadis Mursal sebagai Hadis Dha’îf, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.
Perbedaan ulama dalam memandang Hadis Mursal ini sangat berpengaruh pada hasil rumusan hukum yang mereka gali, semisal fatwa Imam Hanafi mengenai tidak batalnya wudhû’ bila bersentuhan dengan lawan jenis melaui sebuah Hadis yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah, “Bahwasanya suatu ketika Rasul mencium sebagian istrinya lalu beliau shalat tanpa berwudu’ “ (HR Abu Daud). Tapi menurut Imam asy-Syafi’i, menyentuh perempuan tetap membatalkan wudhu’ karena Hadis Mursal tidak mencukupi syarat untuk dibuat hujjah.
B. Hadis Âhâd
Definisi Hadis Âhâd dalam istilah Ushuliyyin ialah, suatu Hadis yang diriwayatkan oleh beberapa râwi yang jumlahnya tidak sampai mencapai jumlah tawâtur, sehingga Hadis tersebut tidak memberikan dampak begitu kuat untuk sekedar diamalkan. Oleh karenanya para Mujtahid –Malik, asy-Syafi’i, Hanafi, dan Ahmad– masih berselisih pandangan mengenai Hadis Âhâd ini.
Menurut Imam asy-Syafi’i dan Ahmad, Hadis Âhâd bisa dibuat hujjah secara mutlak, baik bertentangan dengan Qiyas atau tidak. Pandangan asy-Syafi’i dan Imam Ahmad berlandaskan Hadis Mu’adz bin Jabal ketika ditanya oleh Nabi, beliau menjawab akan mendahulukan Hadis daripada Qiyas, tanpa mentafshil apa itu Hadis Âhâdatau Mutawatir.
Beda halnya dalam pandangan Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah, menurut mereka, Hadis Âhâd bisa dibuat hujjah dengan catatan Hadis Âhâd tersebut tidak bertentangan dengan Qiyas dengan berargumen bahwasanya Qiyas menjadi hujjah dengan Ijmâ’-nya para Shahabat dan Tabi’in, sedangkan Hadis Âhâd tidak bisa dijustifikasi keshahihannya.
Dari pebedaan para mujtahid dalam memandang Hadis Âhâd ini maka juga terjadi perbedaan di kalangan mereka di dalam mencetuskan hukum-hukum Furû‘.
Semisal menurut Imam asy-Syafi’i, dalam akad jual beli diperbolehkan khiyâr di antara kedua belak pihak pembeli dan penjual dengan berlandaskan Hadis, “Ketika dua laki-laki mengadakan transaksi jual beli, maka mereka boleh khiyar selagi tidak berpisah.” (HR al-Bukhari) Namun menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, tidak ada khiyar dalam akad jual-beli, sebab mereka menganalogikan akad jual-beli dengan akadnikah, kitâbah serta akad-akad yang lain. sedangkan Hadis di atas menurut mereka tidak bisa dibuat hujjah karena merupakan Hadis Âhâd yang menyalahi pada Qiyas.**
Ust. Achmad Zahrie Ms /LPSI
Catatan akhir:
1. Syarh ‘Abd al-‘Aziz al-Bukhari ‘ala al-Bazdawi, Jilid 2, hal. 5
2. Muktashar Ibn Hajib Jilid 27, hal. 72
3. Shahih Muslim, Jilid 6hal. 24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar