Mengenal Kepribadian
Luhur Habib Anis Al-Habsyi
Dua minggu
pasca-Lebaran tahun 2006, umat muslim di Soloraya tersentak mendengar kabar
duka. Seorang tokoh ulama panutan yang juga keturunan dari Rasulullah saw,
Habib Anis Al-Habsyi dikabarkan telah menghadap ke rahmatullah. Menurut
keterangan dari dokter, Habib Anis yang kala itu berusia 78 tahun, wafat karena
penyakit jantung yang dideritanya.
Sontak, kabar tersebut membuat para murid dan pecinta beliau yang tersebar di
penjuru dunia, bergegas untuk ikut memberikan penghormatan terakhir kepada sang
guru. Kota Solo di hari wafat Habib Anis diserbu puluhan ribu pentakziah.
Dengan diiringi tangisan dan air mata, mereka melepas kepergian cucu Muallif
Simtuddurar tersebut.
Ya, kepergian Habib Anis memang patut menjadi duka bagi semua, khususnya kaum
Aswaja di wilayah Soloraya. Hal ini sama dengan yang diungkapkan Habib Abdullah
Al-Haddad ketika menyaksikan kepergian gurunya itu:
“Kami kehilangan kebaikan para guru kami ketika mereka meninggal dunia. Segala
kegembiraan kami telah lenyap, tempat yang biasa mereka duduki telah kosong.
Aku akan tetap menangisi mereka selama aku hidup dan aku rindu kepada mereka.
Aku akan selalu kasmaran untuk menatap wajah mereka. Aku akan megupayakan
hidupku semampukun untuk selalu mengikuti jalan hidup para guruku, menempuh
jalan leluhurku.”
‘Anak Muda Berpakaian Tua’
Habib Anis lahir di Garut Jawa Barat pada tanggal 5 Mei 1928. Ayahnya, Habib
Alwi, merupakan putera dari Habib Ali Al-Habsyi (Muallif Simtuddurar) yang
hijrah dari Hadramaut Yaman ke Indonesia untuk berdakwah. Sedangkan ibunya
bernama Khadijah. Ketika beliau berumur 9 tahun, keluarga beliau pindah ke
Solo, sampai akhirnya menetap di kampung Gurawan, Pasar Kliwon Solo.
Sejak kecil, Habib Anis dididik oleh ayah sendiri, juga bersekolah di madrasah
Ar-Ribathah, yang juga berada di samping sekolahannya. Habib Anis tumbuh
menjadi seorang pemuda nan alim dan berakhlak luhur. Habib Ali Al-Habsyi, adik
beliau menyebut kakaknya seperti “anak muda yang berpakaian tua”.
Tentang maqam ilmu dan akhlak yang dimiliki Habib Anis, salah satu cucunya yang
bernama Muhammad bin Husain mengungkapkan sosok Habib Anis sebagai orang yang
sangat mencintai ilmu.
“Ketika usia muda, beliau gemar sekali membaca buku. Tiap malam ketika istrinya
tidur, beliau membaca kalam Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi (kakek Habib Anis)
sampai beliau terkadang menangis ketika membaca untaian nasehat kakeknya.
Ketika istrinya terbangun beliau langsung mengusap airmatanya supaya tidak
terlihat oleh istrinya,” ujarnya.
Bahkan ketika usia sudah mulai tua, Habib Anis masih haus kepada ilmu. “Beliau
pernah berencana untuk membeli laptop dan belajar mengetik untuk bisa mencatat
ilmu yang didapatnya. Beliau juga berencana untuk datang pameran kitab di Mesir
supaya bisa membeli kitab-kitab langka yang dijual disana,” imbuh Habib
Muhammad.
Ditambahkan oleh Habib Muhammad, meskipun Habib Anis termasuk ahli ilmu, akan
tetapi dia lebih dikenal dengan kemuliaan akhlaqnya. “Karena beliau selalu
menampilkan akhlaq yang mulia, padahal keluasan ilmunya tidak diragukan lagi,”
terangnya.
Akhlak Habib Anis, diantaranya tercermin dari sikap sumeh (murah senyum) dan
dermawan yang dimilikinya. Ibu Nur Aini penjual warung angkringan depan Masjid
Ar-Riyadh menuturkan, “Habib Anis itu bagi saya, orangnya sangat sabar, santun,
ucapannya halus dan tidak pernah menyakiti hati orang lain, apalagi membuatnya
marah,”
Seringkali menjelang Idul Fitri, Habib Anis memberikan sarung secara cuma-cuma
kepada para tetangga, muslim maupun non muslim. “Beri mereka sarung meskipun
saat ini mereka belum masuk islam. Insya Allah suatu saat nanti dia akan
teringat dan masuk islam.” kata Habib Anis yang ditirukan Habib Hasan, salah
seorang puteranya.
Guru Para Syuriyah
Menurut Habib Muhammad bin Husein, semasa hidupnya, Habib Anis mengabdikan
untuk berdakwah dan bergelut dalam majelis ilmu. “Beliau punya pengajian setiap
harinya saat ba'da dzuhur, kecuali Jumat dan Ahad, di kediaman beliau. Pernah,
ketika istri beliau meninggal masyarakat datang untuk berta'ziyah. Namun begitu
tiba waktunya pengajian, langsung beliau membuka kitabnya dan mulai membaca
serta mengajar. Didalam rumah jenazah istrinya sedang dimandikan tapi beliau
tetap istiqomah mengajar dan membimbing ummat,” terangnya.
Habib Anis juga dikenal sebagai pribadi yang istiqomah dalam segala hal,
tentang keistiqomahan ini juga diakui oleh salah satu muridnya yang kini
mengemban amanah sebagai Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU)
Kabupaten Sukoharjo, KH Ahmad Baidlowi.
“Dalam banyak hal, Habib Anis selalu tertata rapi, meskipun di banyak
aktivitasnya sebagai imam sholat, pengajian, menerima tamu, membuka toko dan
sebagainya,”
Dalam dakwahnya, Kiai Baidlowi menuturkan Habib Anis memiliki beberapa konsep,
yang kesemuanya dapat dilihat langsung di Masjid Riyadh sampai sekarang.
“Yakni, masjid sebagai tempat ibadah. Zawiyah, sebagai pusat ilmu dan toko
sebagai media penggerak ekonomi,” ujarnya.
Terkait hal ini, Habib Anis sendiri pernah menyampaikan bahwa ada empat hal
yang penting: “Pertama, kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku
dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada Allah. Kedua,
zawiyah, di situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai akhlak Nabi Muhammad
SAW. Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan, tempat untuk
menuntut ilmu. Dan keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada pertokoan,
karena setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk
mengembangkan dakwah Nabi Muhammad saw.
Ulama asal Pasuruan itu menambahkan, meskipun tidak pernah masuk dalam struktur
NU di Solo, namun peranan Habib Anis atas kemajuan NU di wilayah Soloraya
sangatlah besar. Beberapa muridnya bahkan kini menjadi Rais Syuriyah,
diantaranya KH A. Baidlowi dan KH Abdul Aziz (Wonogiri).
Sebagai penerus kekhalifahan (imam) di Masjid Riyadh, Habib Anis meneruskan
beerbagai kegiatan yang telah dirintis oleh para pendahulunya. Kegiatan seperti
Haul Habib Ali Al-Habsyi, Khatmul Bukhari, dan Maulid yang terselenggara setiap
malam Jumat selalu dihadiri oleh ratusan bahkan puluhan ribu jamaah dari
berbagai daerah. Para ulama terkemuka, seperti TG Zaini Abdul Ghani, Abuya
Dimyati, Kiai Siraj dan lainnya, bahkan pernah hadir di Masjid Riyadh untuk
mengikuti majelis ilmu yang dipimpin Habib Anis.
Sebagai seorang ulama, Habib Anis juga pernah berkeinginan untuk menulis kitab.
Namun, hingga akhir hayat beliau belum berkesempatan untuk merealisasikannya.
“Belum sempat menulis kitab, hanya berencana. tapi kedahuluan dijemput oleh
Allah,” tutur Habib Muhammad.
Pada hari Senin, tanggal 6 November 2006 atau 14 Syawal 1427 H pukul 12.55 WIB,
Habib Anis wafat di RS. Dr. Oen dalam usia 78 tahun. Beliau dimakamkan di
sebelah makam ayahnya, yang terletak di sisi selatan Masjid Riyadh. Kini, meski
telah wafat, hampir setiap hari makamnya dikunjungi para peziarah dan namanya
juga senantiasa disebut setiap ada pembacaan kitab maulid Simtuddurar. []
(Ajie Najmuddin)
Sumber:
Majalah Hidayah edisi 115, Maret 2011 hal. 64-68.
Wawancara Habib
Muhammad bin Husein bin Anis, 28 Februari 2014.
Wawancara KH Ahmad
Baidlowi di Masjid Riyadh Solo, 19 Februari 2014