Kamis, 30 Maret 2023

(Ngaji of the Day) Jangan Biarkan Puasa Kita Prematur!

Dalam banyak kesempatan, kita sudah banyak mendengar bahwa orang yang berpuasa seharusnya bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menjaga diri dari segala perbuatan dosa yang bisa membuat pahala puasa menjadi prematur. “Percuma seharian penuh menahan lapar dan dahaga, jika nafsu dibiarkan lepas kendali untuk menuruti kemauannya.”

 

Secara syariat puasa memang sudah dikatakan sah jika seseorang sudah melaksanakan dua rukun, yaitu niat di malam hari dan menahan diri dari hal-hal yang bisa membatalkan pada siang harinya. Akan tetapi, puasa yang baik bukanlah ibadah yang hanya menggugurkan kewajiban, melainkan juga bagaimana puasa yang kita lakukan selama satu bulan penuh mampu mendewasakan rohani dan spiritual.

 

Gugurnya Pahala Puasa

 

Oleh sebab itu, bisa saja puasa seseorang sah secara fiqih, dalam arti menggugurkan kewajiban, akan tetapi pahalanya tidak ia peroleh. Kita bisa sebut ini sebagai “puasa prematur”, statusnya sah tetapi tidak memperoleh pahala ibadah. Hal ini sebagaimana pernah disabdakan oleh Rasulullah saw berikut,

 

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْع وَالْعَطْش

 

Artinya, “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga” (HR An-Nasa’i).

 

Secara tegas hadits di atas menyinggung bahwa sahnya puasa secara fiqih tidak secara otomatis memperoleh pahala ibadah tersebut, bisa jadi ada faktor lain seperti melakukan dosa-dosa yang dapat menggugurkan pahala.

 

Agar lebih gamblang, mari kita simak uraian Habib Zain bin Smith terkait hadits di atas dalam al-Fawâidul Mukhtârah lî Sâliki Tarîqil Âkhirah.

 

Pertama, hadits di atas menegaskan bahwa gugurnya pahala orang yang berpuasa kendati sudah sah secara fiqih. Penyebabnya adalah karena orang itu melakukan dosa-dosa yang bisa menggugurkan pahala seperti menggunjing orang lain, mengadu domba, berdusta, melihat sesuatu dengan syahwat (nafsu), dan melakukan sumpah palsu. Sebagaimana Nabi Muhammad saw pernah bersabda,

 

خَمْسٌ يُفْطِرْنَ الصَّائِمَ: الغِيْبَةُ، وَالنَّمِيْمَةُ، وَالكَذِبُ، وَالنَّظَرُ بِالشَّهْوَةِ، وَاليَمِيْنُ الكَاذِبَةُ

 

Artinya, “Lima hal yang bisa membatalkan pahala orang berpuasa: membicarakan orang lain, mengadu domba, berbohong, melihat dengan syahwat, dan sumpah palsu” (HR Ad-Dailami).

 

Kedua, hal lain yang bisa menggugurkan pahala puasa adalah adanya sifat riya (pamer) pada diri seseorang, atau ia merasa bahwa ibadah puasanya lebih baik dibanding orang lain.

 

Ketiga, berbuka puasa dengan makanan haram. Selain itu, mengkonsumsi makanan haram juga bisa membuat seseorang malas beribadah. Jangan sampai bulan Ramadhan sebagai momen panen pahala disia-siakan begitu saja hanya karena banyak ibadah yang tidak sempurna atau bahkan ditinggalkan akibat malas yang ditimbulkan makanan haram. (Habib Zain bin Smith, al-Fawâidul Mukhtârah lî Sâliki Tarîqil Âkhirah, t.t: 587).

 

Memahami Tujuan Puasa

 

Dalam beberapa keterangan memang dijelaskan bahwa orang yang berpuasa bisa mengontrol syahwat (nafsu) dalam dirinya karena asupan makanan dalam tubuh berkurang sehingga membuatnya tidak mudah terjerumus ke dalam perbuatan maksiat. Tapi dalam praktiknya memang susah. Masih banyak dijumpai orang marah-marah, menggunjing orang lain, bermaksiat mata melalui layar telepon, dan sejumlah kemaksiatan lainnya.

 

Mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa puasa yang dilakukan seseorang tidak menjamin terbebas dari perbuatan-perbuatan dosa? Jawabannya, hemat penulis, karena seseorang belum menghayati hakikat dan tujuan puasa itu sendiri. Akibatnya puasa tak ubahnya ritual ibadah biasa yang tidak banyak berdampak dalam pendewasaan spiritual.

 

Oleh karena itu penting kiranya kita menyimak penjelasan Imam al-Ghazali yang mengatakan bahwa tujuan puasa adalah agar seorang hamba bisa mencontoh sifat Allah swt “ash-shamad” dan bisa lebih mendekatkan diri kepada-Nya melalui pengendalian syahwat. Al-Ghazali memaparkan,

 

فأما علماء الآخرة فيعنون بالصحة القبول وبالقبول الوصول إلى المقصود ويفهمون أن المقصود من الصوم التخلق بخلق من أخلاق الله عز و جل وهو الصمدية والاقتداء بالملائكة في الكف عن الشهوات بحسب الإمكان فإنهم منزهون عن الشهوات.

 

Artinya, “Ulama akhirat menghendaki sahnya puasa dengan diterima, dan yang dimaksud diterima adalah sampai kepada tujuan puasa yaitu meneladani satu dari beberapa sifat-sifat Allah yaitu ‘shamadiyyah’ dan mengikuti perilaku malaikat dengan mencegah diri dari beberapa syahwat dengan segenap kemampuan, sesungguhnya mereka dibersihkan dari syahwat-syahwat.”

 

Secara bahasa kata “ash-shamad” adalah berongga, artinya terbebas atau kosong dari segala sesuatu. Relevansinya adalah orang yang sedang berpuasa harus mengosongkan dan membebaskan dirinya dari segala bentuk perbuatan maksiat yang jelas akan menggugurkan pahala.

 

Kemudian, tujuan orang yang berpuasa juga untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, yaitu dengan melepaskan dirinya dari segala bentuk syahwat yang bisa menjerumuskannya kepada perbuatan maksiat. Jika ia mampu melakukan demikian, maka menurut al-Ghazali orang itu akan mencapai derajat kedekatan dengan Allah sebagaimana para malaikat yang tidak pernah berbuat dosa karena tidak memilki syahwat.

 

Sebaliknya, jika orang tidak mampu mengendalikan syahwatnya hingga terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan, maka derajatnya di sisi Allah akan jatuh bahkan lebih hina daripada binatang. Kalau binatang wajar tidak melakukan tuntutan syariat karena ia tidak memiliki akal. Tapi kalau manusia yang sudah dianugerahi akal tapi tidak taat aturan syariat, berarti ia menyamakan dirinya dengan binatang bahkan lebih hina.

 

Walhasil. Orang yang berpuasa tidak cukup menahan makan dan minum seharian penuh. Sebab hal ini tidak menjamin dirinya untuk melakukan dosa yang bisa menggugurkan pahala. Tetapi ia juga harus memahami dan merenungi betul-betul hakikat dan tujuan puasa itu sendiri, yaitu sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah yang tidak lain adalah dengan menjauhi segala bentuk maksiat. Wallahu a’lam bisshwawab. []

 

Muhamad Abror, penulis keislaman NU Online; alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek-Cirebon dan Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar