Senin, 27 Maret 2023

(Ngaji of the Day) 6 Adab Berpuasa menurut Sayyid Abdullah al-Haddad

Puasa adalah rukun Islam ketiga yang harus dilaksanakan dalam bulan Ramadhan. Puasa memiliki rukun-rukunnya yang apabila tidak dilaksanakan akan membatalkan keabsahannya. Puasa juga memiliki adab-adabnya yang apabila dilaksanakan akan dapat menambah pahala berpuasa itu sendiri di bulan Ramadhan.

 

Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad menjelaskan adab-adab berpuasa dalam kitab nya berjudul Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudhâharah wal Muwâzarah sebagai berikut:

 

(وعليك) بتعجيل الفطور عند تيقن الغروب وتأخير السحور ما لم تخش الوقوع في الشك، وبتفطير الصائمين ولو على تمرات أو شربة من الماء؛ فإن من فطر صائماً كان له مثل أجره لا ينقص ذلك من أجره شيئاً، واجتهد أن لا تفطر ولا تفطر صائماً إلا على طعام حلال. (وعليك) بالتقليل من الأكل، وتناول الموجود من الحلال من غير إيثار للطيب الملائم، فإن مقصود الصوم كسر الشهوة، والاتساع في الأكل وقصد الطيبات لا يكسرها ولكنه يقويها ويهيجها.

 

Artinya: "Hendaknya Anda menyegerakan buka puasa ketika telah meyakini terbenamnya matahari. Mengundurkan waktu sahur selama Anda tidak merasa khawatir menjadi ragu (tentang terbitnya fajar atau belum). Biasakanlah pula memberi makan orang lain untuk berbuka puasa walaupun hanya berupa beberapa butir kurma atau bahkan seteguk air. Sebab siapa memberi makan untuk berbuka puasa kepada seseorang yang selesai berpuasa akan beroleh pahala yang setara dengan pahala orang yang berpuasa tersebut tanpa dikurangi pahalanya sedikit pun. Usahakanlah sungguh-sungguh agar Anda tidak berbuka puasa atau memberi makan untuk berbuka kecuali dengan makanan yang halal. Cukupkanlah dirimu dengan makan sedikit saja. Makanlah yang halal tanpa mengutamakan segala yang enak-enak atau lezat-lezat yang lebih sesuai dengan selera Anda. Tujuan puasa adalah mematahkan syahwat hawa nafsu, sedangkan memilih-milih yang lezat tidak mungkin mampu mematahkannya, bahkan akan menguatkannya serta membangkitkannya" (Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad, Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudhâharah wal Muwâzarah (Dar Al-Hawi, 1994, hal.111).

 

Dari kutipan di atas dapat diuraikan enam adab berpuasa sebagai berikut:

 

Pertama, menyegerakan berbuka puasa ketika matahari telah terbenam. Begitu matahari terbenam, saat itulah masuk waktu Maghrib. Batas waktu berpuasa hanya sampai pada saat Maghrib. Menyegerakan berbuka di awal waktu Maghrib merupakan akhlak yang baik dan hukumnya sunnah. Sebaliknya menunda-nunda berbuka tidak baik karena tidak sejalan dengan sunnah Nabi dan bisa mengganggu kesehatan.

 

Kedua, mengundurkan waktu sahur selama Anda tidak khawatir atau menjadi ragu (apakah fajar telah terbit atau belum). Mengakhirkan sahur hingga mepet waktunya dengan saat imsak yang sebenarnya, yakni saat Shubuh tiba, hukumnya sunnah sekaligus merupakan akhlak yang baik. Namun harus tetap diingat bahwa ketika Anda mengundurkan waktu sahur, harus dipastikan bahwa saat itu memang waktu Shubuh belum masuk sehingga Anda memang masih diperbolehkan makan dan minum. Sebaliknya melaksanakan sahur terlalu dini atau pada waktu yang bukan waktu yang disunnahkan sebaiknya dihindari.

 

Ketiga, membiasakan diri menyediakan makanan bagi orang lain untuk berbuka puasa. Kebiasaan ini sangat baik walaupun hanya berupa beberapa butir kurma atau seteguk air saja. Yang lebih penting dari makanan atau minuman tersebut, betapapun sederhananya, adalah keduanya bisa membantu untuk mengakhiri puasa pada hari itu begitu saat Maghrib tiba.

 

Hikmah membiasakan diri menyediakan makanan dan minuman untuk berbuka puasa bagi orang lain adalah Allah akan memberikan pahala yang setara dengan orang yang berpuasa tersebut. Artinya pada hari itu ketika Anda memberikan makanan dan minuman kepada orang lain, Anda mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Pahala pertama, Anda mendapatkannya dari puasa yang Anda lakukan sendiri. Pahala kedua, Anda mendapatkannya dari puasa yang dilakukan orang lain tersebut.

 

Keempat, baik makanan dan minuman yang Anda konsumsi sendiri maupun yang Anda bagi dengan orang lain harus dipastikan merupakan barang-barang halal. Jika tidak, maka haram hukumnya melakukan hal seperti ini dan Anda mendapatkan dosa yang tidak bisa diremehkan karena berlipat ganda. Tentu yang dimaksud barang-barang halal di sini adalah barang-barang yang secara syar’i halal dilihat dari cara mendapatkannya maupun dari substansi barang itu sendiri.

 

Kelima, mencukupkan diri hanya dengan memakan makanan yang sedikit. Salah tujuan dari berpuasa adalah tidak memperturuti hawa nafsu. Orang berpuasa pasti lapar, maka keadaan lapar itu bisa memunculkan nafsu yang kuat untuk memakan sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu, perlu disadari bahwa jika makan sedikit atau secukupnya dirasa sudah cukup mengenyangkan perut, maka sesungguhnya hal itu lebih baik dan sesuai dengan tujuan berpuasa.

 

Keenam, makanlah yang halal tanpa mengutamakan segala yang enak-enak atau lezat-lezat yang lebih sesuai dengan selera Anda. Sekali lagi Salah tujuan dari berpuasa adalah tidak memperturuti hawa nafsu. Oleh karena itu menjadi penting untuk menahan diri tidak menyediakan dan mengonsumsi makanan yang lezat-lezat demi melawan hawa nafsu. Dalam hal ini menjadi penting untuk bersikap qanaah dengan menerima makanan yang telah ada dan tidak mencari-cari makanan lain yang lezat-lezat.

 

Demikianlah enam adab berpuasa sebagaimana dinasihatkan oleh Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam sebuah kitabnya sebagaimana disebutkan di atas. Intinya adalah orang berpuasa harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: Pertama, soal waktu, yakni waktu terbaik untuk berbuka dan waktu terbaik untuk makan sahur. Kedua, soal penyediaan makanan. Orang berpuasa juga dianjurkan berbagi makanan buka kepada orang lain yang berpuasa agar tidak terlalu banyak makanan yang dikonsumsi sendiri. Selain itu, makanan harus dipastikan kehalalannya dan bukan merupakan makanan yang lezat-lezat untuk menuruti selera. []

 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar