Senin, 27 Maret 2023

(Ngaji of the Day) Bulan Pelebur Dosa dan Makna Imanan wa Ihtisaban

Ramadhan 1443 H telah tiba. Segala persiapan dalam penyambutannya (tarhib Ramadhan) dilakukan dengan suka cita, dengan berbagai kegiatan, demi menyambut bulan yang mulia. Kegembiraan ini perlu kita lestarikan. Salah satu alasannya adalah karena bulan Ramadhan memberikan kesempatan untuk melebur dosa kita.

 

Dalam sebuah hadits yang masyhur, dari jalur Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:

 

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

 

“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa masa lalunya akan diampuni.”

 

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari nomor 38, Imam Muslim nomor 1817, Abu Daud nomor 1374, at-Turmudzi nomor 684, an-Nasa’i nomor 2202, Ibnu Majah nomor 1326 Ahmad bin Hanbal nomor 7170 dan beberapa kitab kumpulan hadits lain, dengan ada sedikit perbedaan redaksi.

 

Jika kita mengamati hadits tersebut maka tidaklah salah kesimpulan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan bagi peleburan dosa-dosa kita. Kita menyadari, seiring dengan bertambahnya waktu dan usia, sedikit atau banyak, sengaja maupun tidak, kita pernah tergelincir dalam dosa. Untuk itu, bulan Ramadhan hadir sebagai kesempatan yang tepat, untuk mendapatkan ampunan atas dosa yang telah lampau.

 

Abu al-Husain Ali bin Khalaf bin Abd al-Malik, atau lebih dikenal dengan Ibnu Baththal, saat memberikan penjelasan (syarh) atas kitab Sahih al-Bukhari, memberikan ulasan bahwa “ghufira lahu ma taqaddama min dzanbihi” merupakan kalimat umum yang diharapkan supaya seseorang mendapatkan ampunan atas seluruh dosanya, baik kecil maupun besar (Syarh Sahih al-Bukhari li Ibn Baththal, juz 04 hal.149).

 

Pengetahuan ini, meski telah disampaikan setiap tahun, perlu diulas kembali, agar keutamaan dan keistimewaan bulan Ramadhan sebagai pelebur dosa tidak dianggap “angin lalu” karena sudah terbiasa dan menjadi rutinitas tahunan yang akan selalu berulang.

 

Dengan meyakini atas keistimewaan bulan Ramadhan sebagai bulan pelebur dosa maka kita semakin punya gairah untuk melakukan puasa dengan sebaiknya di siang hari, dan melakukan qiyam Ramadhan di malam hari, dengan berbagai kegiatan ibadah. Menghidupkan malam Ramadhan, sebagaimana riwayat Abu Daud nomor 1374, memiliki fadilah yang sama dalam peleburan dosa sebagaimana puasa.

 

Ramadhan dan Dua Pesan Penting

 

Ada dua pesan penting yang perlu dikemukakan terkait hadits di atas. Pesan tersebut terkandung dalam dua redaksi hadits, yakni terkait îmânan (keimanan) dan iḫtisâban (berharap pahala dari Allah).

 

Saat memberikan komentar atas status gramatikal (tarkîb naḫwî) kedua diksi tersebut, Abu al-Fadl Ahmad bin Ali bin Hajar, atau lebih dikenal dengan Ibnu Hajar al-Asqalani, menjelaskan bahwa status gramatikal 2 kata tersebut bisa menjadi maf’ûl lah atau tamyîz, atau ḫâl di mana bentuk masdar tersebut bermakna isim fâil/pelaku (Fathul Bari Sarh Sahih al-Bukhari li Ibn Hajar, juz 4, h.115). Jika mengikuti tarkib yang terakhir, maka orang yang berpuasa di bulan Ramadhan, dan mendapatkan maghfirah Allah, haruslah berstatus mukmin (orang yang beriman) dan muḫtasib (orang yang berharap pahala dari Allah).

 

Kedua pesan penting ini perlu untuk selalu diselaraskan dan direfleksikan kembali pada tiap rutinitas amal ibadah kita, terutama terkait dengan puasa di Bulan Ramadhan ini. Diksi îmânan (keimanan), memberikan pesan penting bahwa fondasi ibadah puasa ini dilandasi dengan keimanan.

 

Keimanan membuat seseorang meyakini (i’tiqâd) dan membenarkan (tashdîq) dengan sepenuh hati, bahwa ibadah puasa ini merupakan sesuatu yang diwajibkan oleh Allah. Hal ini disampaikan Ibnu al-Mundzir, sebagaimana dinukil Ibnu Baththâl (Syarah Sahih al-Bukhari, juz 04, h. 21 dan 30).

 

Artinya, dengan fondasi keimanan, puasa dijalani dengan penuh kesadaran atas kewajiban, dan keyakinan atas kewajiban tersebut. Tanpa ada keimanan, bisa jadi puasa sekadar tradisi “guyub” karena membersamai keluarga, tetangga, atau teman yang sedang menjalani puasa. Hanya “ikut-ikutan” semata, tanpa ada kesadaran dan keyakinan dari internal pribadi.

 

Oleh karena itu, keimanan ini penting sekali, terutama dalam struktur bangunan amaliah seseorang. Karena kualitas keimanan seseorang, menurut beberapa literatur, ditunjang oleh tiga hal, yaitu pembenaran dalam hati (tashdîq bi al-qalb), pernyataan dengan lisan (iqrâr bi al-lisân), dan perbuatan dengan anggota tubuh (amal bi al-arkân).

 

Dengan keimanan, seseorang melakukan perbuatan ibadah puasa secara sadar atas kewajiban dan ketertundukan pada Allah, sekaligus puasanya menjadi penanda atas keimanan seseorang semakin kuat. Karena dengan berpuasa, dia mengaktualisasikan kepercayaan dalam hati ke dalam praktik nyata amaliah.

 

Diksi kedua adalah iḫtisâban. Makna yang sering disampaikan dan diterjemahkan, bahwa iḫtisâban adalah thalab al-thawâb min Allah, mencari pahala dari Allah. Ibnu Hajar al-Asqalani (Fathul Bari Sarh Sahih al-Bukhari li Ibn Hajar, juz 4, h.115), selain menukil makna tersebut, juga menyajikan pendapat al-Khaththâbi, bahwa iḫtisâban adalah:

 

اِحْتِسَابًا أَيْ عَزِيْمَةٌ وَهُوَأَنْ يَصُوْمَهُ عَلَى مَعْنَى الرُّغْبَةِ فِي ثَوَابِهِ طَيِّبَةِ نَفْسِهِ بِذَلِكَ غَيْرَ مُسْتَثْقِلٍ لِصِيِامِهِ وَلَا مُسْتَطِيْلٍ لِأَيَّامِهِ

 

Artinya, “Iḫtisâb itu berarti tekad yang kuat, yakni seseorang berpuasa atas dasar kecintaannya pada pahala yang terkandung di dalam puasa Ramadhan, (juga atas dasar) kebaikan dirinya dengan tanpa merasa terbebani atas puasa dan tak merasa terlalu panjang hari-hari puasanya.”

 

Dengan iḫtisâb, seseorang berusaha menjalani kewajiban puasa Ramadhan dengan perasaan riang gembira, merasa ringan dalam menjalani puasa bahkan dengan disertai aktivitas ibadah lainnya, serta menghargai setiap detik dan jam yang berlalu selama bulan bulan Ramadhan.

 

Ihtisâb melatih kita bahwa melakukan ibadah mesti disertai dengan ringan hati dan perasaan syukur. Syukur atas karunia dan kandungan yang ada di dalam bulan Ramadhan, dan syukur atas takdir Allah yang memberikan kita kesempatan untuk menjalani ibadah puasa.

 

Ihtisâb juga menjadikan kita semakin menyadari bahwa pengharapan atas apresiasi dan pahala puasa kita mesti tetap dan selalu bersandar pada Allah, wa yanwî bi shiyâmihî wajhallâh (seseorang hendaklah berniat karena Allah atas puasa yang dilakukan), kata Ibnu Baththâl. Bukan bersandar atas apresiasi pimpinan, keluarga, kolega, atau tetangga, yang justru bisa menjadikan kualitas ibadah kita menurun. Dari sini kita semakin memahami makna hadits Qudsi bahwa “Puasa adalah untuk-Ku (Allah) dan Aku yang akan memberi balasan” (al-Bukhari nomor 1894, Muslim nomor 2764). []

 

Mohammad Ikhwanuddin, Wakil Mudir Ma’had Aly An-Nur 1 Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar