Jumat, 15 Juli 2022

(Ngaji of the Day) Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 7

خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ


Khatamallāhu ‘alā qulūbihim, wa ‘alā sam‘ihim, wa ‘alā abshārihim ghisyāwatun, wa lahum ‘adzābun ‘azhīmun.


Artinya, “Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka. Pada penglihatan mereka terdapat tutupan. Bagi mereka siksa yang besar.”


Ragam Tafsir

 

Syekh M Nawawi Banten dalam At-Tafsirul Munir li Ma’alimit Tanzil/Marahul Labid li Kasyfi Ma’na Qur’anin Majid mengatakan, Allah menyebutkan sebab kekufuran orang-orang kafir yang tersebut pada Surat Al-Baqarah ayat 6 dan 7. Allah mencetak hati mereka sehingga keimanan tidak dapat masuk. Demikian juga dengan pendengaran mereka sehingga mereka tidak dapat mengambil manfaat atas kebenaran yang mereka dengar. Kata “sam‘ihim” atau pendengaran diungkapkan dalam bentuk tunggal/mufrad karena ketunggalan objek pendengaran, yaitu suara.

 

“Pada bola-bola mata mereka terdapat tutupan”, pada pandangan mereka terdapat penutup dari Allah sehingga mereka tidak melihat kebenaran. “Mereka akan mendapat siksa yang besar,” yaitu siksa keras di akhirat. Mereka adalah pemuka Yahudi yang digambarkan Allah sebelumnya, yaitu menyembunyikan kebenaran dalam keadaan sadar. Mereka adalah Ka’ab bin Asyraf, Huyay bin Akhthab, dan Jadyu bin Akhthab. Ada ulama lain menafsirkan bahwa mereka adalah musyrikin Kota Makkah, yaitu ‘Utbah, Syaibah, Al-Walid bin Mughirah, dan Abu Jahal.

 

Imam Al-Baghowi (Ma‘alimut Tanzil fit Tafsir wat Ta’wil, [Beirut, Darul Fikr: 2002 M/1422 H], juz I, halaman 25) mengatakan, Allah mengunci, yaitu menutup hati mereka sehingga tidak dapat mendengar dan memahami kebaikan. Hakikat “khatama” atau mengunci adalah mengikatnya rapat dari segala sesuatu sehingga benda di luarnya tidak dapat masuk dan benda di dalamnya tidak dapat keluar. Salah satu pengertian ini adalah mengunci pintu. 

 

Ayat ini tetap terbuka untuk ragam penafsiran. Menurut Ahlussunnah wal Jamaah, Allah telah memutuskan kekufuran di hati mereka sesuai dengan ilmu-Nya yang azali terhadap mereka. Kelompok Muktazilah tidak memahaminya sebagaimana umumnya kalangan Ahlussunnah wal Jamaah. Menurut Muktazilah, Allah menjadikan pada hati mereka tanda yang dapat dikenali para malaikat.


“Pada pendengaran mereka” maksudnya di tempat mereka mendengar sehingga mereka tidak dapat mendengarkan dan tidak dapat mengambil manfaat dari kebenaran. "Pada penglihatan mereka terdapat tutupan" yaitu penghalang sehingga mereka tidak dapat melihat kebenaran. “Bagi mereka siksa yang besar” di akhirat. Ada ulama menafsirkan pembunuhan dan penawanan sebagai siksa di dunia dan siksa abadi di akhirat. Azab atau siksa adalah segala yang membebani dan menyulitkan manusia. Imam Al-Khalil, ahli bahasa, memaknai azab sebagai segala sesuatu yang menghalangi manusia dari tujuannya. Misalnya frasa “al-ma’ul ‘athsyu” atau air tawar karena air itu menghalangi manusia dari rasa haus. (Al-Baghowi, 2002 M/1422 H: I/25).

 

Al-Baidhawi dalam tafsirnya (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], juz I, halaman 76) menafsirkan adzābun azhīm atau siksa yang besar secara bahasa. Kata “azhīm” berlawanan dengan kata “haqīr” atau kecil. Sedangkan kata “kabīr” atau besar berlawanan dengan kata “shagīr” atau kecil. Tetapi kandungan kata “azhīm” lebih tinggi dibanding kata “kabīr”. Adapun pe-nakirah-an kata “ghisyāwatun,” “adzābun,” dan “azhīmun” mengandung pengertian bahwa pandangan mereka tertutupi oleh sejenis penghalang yang mereka tidak sadari, yaitu sejenis penutup yang membuat mereka buta dari ayat-ayat; dan mereka akan mendapat sejenis siksa begitu besar yang kepedihannya hanya diketahui oleh Allah.


Surat Al-Baqarah ayat 7 ini menjadi penjelas kenapa orang kafir percuma diberi peringatan seperti disebut pada ayat sebelumnya, yaitu Al-Baqarah ayat 6.

 

Situasi itu (menyukai kekufuran dan maksiat serta menganggap buruk keimanan dan ketaatan) tercipta karena terlalu larut dalam kesesatan, terlalu mendalam dalam mengikuti tradisi sesat, dan keengganan mereka dari berpikir dengan akal sehat sehingga hati mereka tidak dapat menembus kebenaran, telinga mereka tidak dapat mendengar kebaikan, dan penglihatan mereka terbutakan dari tanda-tanda kebesaran Allah di hati mereka dan pada alam semesta. (Al-Baidhawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil: I/71) dan (Al-Qasimi, Mahasinut Ta’wil).


Syekh Jamaluddin Al-Qasimi dalam tafsirnya, Mahasinut Ta’wil, mengutip pendapat Raghib Al-Isfahani, yang dimaksud dengan kata “qalbun” (tunggal) dan “qulubun” (plural) atau sering diterjemahkan hati pada kebanyakan ayat dalam Al-Qur'an adalah akal sehat dan pengetahuan.

 

Abus Sa’ud dalam tafsirnya, Irsyadus Salim ila Mazayal Kitabil Karim, menjelaskan bahwa aktivitas mengunci hati dan menutup penglihatan serta pendengaran dinisbahkan kepada Allah. Lalu Allah sendiri yang menyiksa mereka. Seolah Allah tidak adil? Padahal ayat ini justru mengabarkan perilaku buruk mereka di dunia dan sakit serta kepedihan mereka di akhirat. Semua itu tidak dapat dinisbahkan kepada Allah, tetapi kepada mereka karena kekufuran, kedurhakaan, kesesatan, dan semua perbuatan buruk mereka. Semua itu dinisbahkan kepada mereka sendiri.


Pernyataan “Allah akhirnya mengunci hati dan akal sehat mereka” bukan mengandung informasi yang menjelaskan, tetapi mengandung penjelasan proses “tartib” atau rangkaian peristiwa atas keburukan yang sebelumnya mereka lakukan sebagaimana dijelaskan sebagai berikut “Allah mengunci mati hati mereka sebab kekufuran mereka” (Surat An-Nisa ayat 155), “Ketika mereka sesat, Allah kemudian menyesatkan mereka,” (Surat As-Shaf ayat 5), dan “Kami bolak-balik hati dan pandangan mereka sebagaimana mereka tidak beriman pada awalnya,” (Surat Al-An‘am ayat 110). (Abus Sa’ud, Irsyadus Salim). Wallahu a’lam. []

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar