Rabu, 06 Juli 2022

(Ngaji of the Day) Perhatikan Lima Etika Ini saat Ziarah ke Makam Rasulullah

Jamaah haji regular asal Indonesia, selain menunaikan rangkaian ibadah haji di Makkah, umumnya juga berkunjung ke Madinah untuk meziarahi makam Rasulullah dan melakukan shalat empat puluh waktu secara berjamaah di Masjid Nabawi atau yang dikenal dengan sebutan shalat arba’în.

 

Madinah adalah tempat hijrah Baginda Nabi. Di situ pula jasad manusia paling mulia dikebumikan. Setiap berada di Madinah, Imam Malik tidak pernah memakai terompah atau sandalnya. Beliau berharap, ada debu yang dulu pernah menempel ke tubuh Rasulullah, sebagian di antaranya menempel juga di kaki Imam Malik.

 

Selain itu, Imam Malik tidak berkenan menunggangi hewan kendaraannya. Beliau beralasan, “Bagaimana aku berani menaiki tungganganku, sedang di dalam tanah Madinah ini terdapat jasad Rasul yang sangat mulia?” Begitu kira-kira alasan Imam Malik.

 

Nabi Muhammad saat ini hidup. Kita wajib meyakini itu. Namun hidupnya adalah hayâtan barzakhiyyatan (kehidupan alam kubur), tidak hidup sebagaimana kehidupan kita di alam dunia seperti ini. Nabi Muhammad derajatnya di atas orang-orang yang mati syahid. Karena itu penting sekali bagi siapa saja yang berada di depan makam beliau menjaga etika berziarah.

 

Berikut ini adalah adab atau etika ziarah ke makam Rasulullah yang disarikan dan dikembangkan dari kitab Al-Hajj-Fadlâil wa Ahkâm karya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliky halaman 284-287:

 

Pertama, makam Rasulullah berada di kompleks Masjid Nabawi. Saat mulai memasuki masjid, hendaknya seseorang bersikap tenang, penuh adab yang mulia. Umar bin Khattab pernah menegur dua orang pria yang bersuara keras waktu di sana. Bersuara keras di dalam Masjid Nabawi merupakan kemungkaran yang paling buruk.

 

Kedua, memang tidak ada kalimat khusus yang diajarkan Rasulullah yang harus dibaca. Namun jika ada yang bershalawat dan salam, maka itu cukup. Misalnya dengan kalimat berikut:

 

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا اَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيْقْ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا اَبَا حَفْصٍ عُمَرَ ابْنِ الْخَطَّابْ

 

Artinya: “Salam sejahtera bagi engkau, wahai Rasulallah. Salam sejahtera bagi engkau, wahai Abu Bakar ash-Shiddiq. Salam sejahtera bagi engkau, wahai ayah Hafsh, Umar bin Khattab.”

 

Berziarah kepada Nabi tidak sebagaimana orang ziarah di Tanah Air yang bisa duduk, membersihkan kuburan, atau aktivitas lainnya. Di sana, ziarah dilakukan sambil berjalan dan berlalu. Putra dari Umar bin Khattab yang bernama Abdullah bin Umar, dalam satu riwayat diceritakan, saat beliau ziarah membaca:

 

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا اَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيْقْ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا اَبَتْ

 

Artinya: “Salam sejahtera bagi engkau, wahai Rasulallah. Salam sejahtera bagi engkau, wahai Abu Bakar ash-Shiddiq. Salam sejahtera bagi engkau, wahai ayahku.”

 

Setelah salam sebagaimana di atas, Ibnu Umar lalu pergi meninggalkan lokasi makam. Mengutip dari Ibnu Taimiyyah, Sayyid Muhammad menyampaikan, hendaknya orang yang berziarah, tidak menyentuh pusara makam Rasul, tidak mengecupnya serta tidak thawaf atau memutar mengelilinya. Hal ini berdasar doa Rasul :

 

اللهم لا تجعل قبري وثنا يعبد

 

Artinya: “Ya Allah, semoga Engkau tidak menjadikan pekuburanku sebagai berhala yang disembah.”

 

Ziarah tetap dianjurkan. Namun Sayyid Muhammad memperingatkan peziarah agar tetap mengikuti aturan ziarah, sehingga tauhid masyarakat tetap terjaga dengan baik.

 

Ketiga, para peziarah hendaknya menjaga adab. Berkeyakinan bahwa ia sedang merasa bersama Baginda Nabi serta Nabi mengetahui atas kedatangan para peziarah, mengetahui posisi tempat masing-masing peziarah. Sesungguhnya menghormati Nabi Muhammad ketika sudah wafat sama halnya dengan menghormati beliau saat jasad beliau masih hidup di dunia. Bahkan Ibnul Qayyim, dalam syairnya mengaku, setiap kali ia akan berziarah ke makam Rasulullah, sebelumnya ia shalat tahiyyatal masjid terlebih dahulu di Masjid Nabawi.

 

Keempat, bagi siapa saja yang sudah mulai menginjakkan kakinya di tanah kota Madinah al-Munawwarah, sebaiknya untuk menata niat secara sungguh-sungguh, akan menjaga shalat dengan melaksanakannya di Masjid Nabawi karena keutamaan shalat di Masjid Nabawi sebagaimana yang disampaikan Rasulullah, shalat di Masjid Nabawi lebih baik daripada shalat seribu rakaat di selain masjid tersebut dan Masjidil Haram.

 

Adapun lokasi yang termasuk kategori Masjid Nabawi adalah semua bangunan yang dibangun sebagai masjid Nabawi, termasuk pemekarannya. Hal ini mengingat, Rasul bersabda bahwa jika masjid tersebut dibangun hingga San’a, Yaman, itu masih sebagaimana masjidnya baginda Nabi.

 

Kelima, sebaiknya tidak meninggalkan shalat di Raudlah, jika memungkinkan. []

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar