Senin, 11 Juli 2022

(Ngaji of the Day) Harta Peninggalan Sayyidina Abdullah

Ketika usianya dianggap cukup dewasa dan matang, Abdul Muthalib meminang Sayyidah Aminah untuk anaknya, Sayyidina Abdullah. Saat itu keduanya datang ke rumah orang tua Sayyidah Aminah, Wahab bin Abdu Manaf. Usai menyampaikan maksud dan tujuannya, Sayyidah Aminah dan ayahnya menerima pinangan mereka dengan suka cita. 


Pesta pernikahan digelar tidak lama setelah itu. Diriwayatkan bahwa pesta pernikahan berlangsung selama tiga hari tiga malam. Sesuai dengan adat masyarakat Makkah ketika itu, Abdullah tinggal di rumah mertuanya selama masa resepsi tersebut. Pada hari keempat, Abdullah dan istrinya baru pindah ke rumah yang telah disiapkan. Abdullah diriwayatkan berusia 24 tahun ketika menikahi Aminah.  


Kebersamaan Abdullah dan Aminah hanya berlangsung selama beberapa hari saja, sekitar 10 hingga 15 hari. Abdullah harus berangkat ke Gaza dan Syam untuk berdagang bersama dengan kafilahnya Suku Quraisy. Bagi suku keluarga Nabi Muhammad, berdagang ke Syam adalah sebuah tradisi yang ‘harus’ dilakukan karena hanya sekali dalam setahun. Hasil perdagangan kafilah dagang Quraisy tidak hanya untuk yang ikut saja, tapi juga dibagikan kepada seluruh anggota suku. Atas dasar itu, Allah memuji Suku Quraisy dalam Al-Qur’an Surat Qurasy.

 

Kafilah dagang Quraisy kembali ke Makkah setelah sebulan lebih berdagang ke Syam dan Gaza. Namun tidak ada Abdullah dalam rombongan tersebut. Ia jatuh sakit di tengah perjalanan sehingga harus tinggal di Madinah untuk berobat. Riwayat lain menyebutkan bahwa Abdullah singgah di rumah saudara ibunya di Madinah, setelah dari Gaza. Tapi ketika hendak balik ke Makkah bersama kafilah, dia jatuh sakit di tempat pamannya itu. 


Kafilah dagang Quraisy tetap melanjutkan perjalanan pulang. Sesampai di Makkah, mereka memberitahu Abdul Muthalib bahwa anaknya tengah sakit. Abdul Muthalib kemudian mengutus anaknya, Al-Harits, untuk menemani dan menjemput Abdullah ketika sehat nantinya. Namun ketika sampai di Madinah, Al-Harits mendapatkan kabar bahwa Abdullah telah wafat dan dikuburkan di sana. Al-Harits kembali ke Makkah dengan membawa kabar pilu dan sedih. Tidak diragukan lagi, kabar tersebut menyayat hati Abdul Muthalib dan Aminah. 


Abdullah wafat meninggalkan istri, Aminah, yang tengah mengandung buah hatinya. Disebutkan bahwa Aminah baru menyadari kalau haidnya terhenti sebulan setelah kepergian suaminya ke Syam dan Gaza untuk berdagang.  


Dalam Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW. Dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-hadis Shahih (M Quraish Shihab, 2018) dan Sejarah Hidup Muhammad (Muhammad Husain Haekal, 2015), disebutkan bahwa ketika wafat Abdullah meninggalkan sejumlah harta peninggalan yang terdiri dari lima ekor unta, sekelompok ternak kambing, dan seorang budak perempuan, Ummu Aiman. Seseorang yang kelak mengasuh Nabi dan Nabi menganggapnya sebagai ibu kedua. 


Bisa jadi peninggalan itu menunjukkan bahwa Abdullah adalah seorang kelas menengah, tidak kaya dan juga tidak miskin. Namun yang pasti, di usianya yang masih cukup muda, 25 tahun, Abdullah sudah mampu bekerja, berusaha mencari kekayaan, hingga akhirnya memberikan harta peninggalannya untuk keluarganya. 

 

Ummu Aiman

 

Nama asli Ummu Aiman adalah Barakah binti Tsa’labah bin Amr bin Hashan bin Malik bin Salamah bin Amr bin Nu’man. Ia seorang kulit hitam dan berasal dari negeri Habasyah (sekarang Ethiopia). Ia juga bukan orang terpandang dan tidak memiliki keluarga yang terkemuka. Namun demikian, Nabi Muhammad sangat menghormati Ummu Aiman karena dedikasinya. Bahkan, beliau menganggap Ummu Aiman sebagai ibu keduanya, setelah Aminah binti Wahab. 

 

“Ummu Aiman adalah ibu setelah ibuku (Aminah binti Wahab),” kata Nabi Muhammad, sebagaimana tertera dalam buku Bilik-bilik Cinta Muhammad (Nizar Abazhah, 2014). 


Ummu Aiman adalah ‘harta peninggalan’ ayah Nabi Muhammad, Abdullah. Ia memang dipersiapkan untuk melayani Aminah yang saat itu sedang mengandung bayi Nabi Muhammad. Semenjak Nabi lahir, Ummu Aiman menjadi pelayan utama. Ia terus menjaga dan tinggal bersama Nabi, baik ketika tinggal di rumah Abdul Muthalib, di rumah Abu Thalib, di rumah Khadijah, bahkan ketika di Madinah.
[]

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar