Jumat, 29 Juli 2022

(Ngaji of the Day) Hukum Gadai Sawah yang Dikelola oleh Pemiliknya

Pertanyaan:

 

Assalamu’alaikum wr. wb. Izin bertanya Redaktur NU Online. Bagaimana hukum gadai sawah dalam kasus sawah tersebut dikelola kembali oleh pemiliknya, dan ada bagi hasil dengan pihak pemilik uang? Terimakasih atas jawabannya.

 

(Hamba Allah).


Jawaban
:


Wa’alaikumussalam wr. wb. Syukur alhamdulillah kita panjatkan ke hadirat Allah Tuhan sekalian alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas Baginda Nabi Muhammad saw beserta seluruh keluarga, kerabat dan handai taulan. 


Penanya budiman, gadai (rahn) pada dasarnya merupakan akad utang dengan jaminan sebagai penguat kepercayaan bahwa utang akan dilunasi tepat waktu oleh pihak yang berhutang (râhin). Apabila pelunasannya telat, maka pihak pegadaian (murtahin) bisa melelang barang yang dijadikan jaminan untuk menutup utang yang sudah jatuh tempo pelunasannya. Syekh Zakaria al-Anshari (wafat 926 H) dalam kitab al-Ghurarul Bahiyah menjelaskan:


وشَرْعًا: جَعْلُ عَيْنِ مالٍ وثِيقَةً بِدَيْنٍ يُسْتَوْفى مِنها عِنْدَ تَعَذُّرِ وفائِهِ

 

Artinya, “ Secara syara', gadai adalah menjadikan suatu harta sebagai jaminan atas utang yang akan digunakan untuk melunasinya ketika sulit melakukan pelunasan.” (Zakaria al-Anshari, al-Ghurarul Bahiyah fî Syarhil Bahjatul Waridah, juz III, halaman 72).


Ketika terjadi akad gadai, maka pada dasarnya yang wajib berlaku adalah sifat keterikatan (luzumah) antara utang dengan jaminannya. ٍSifat keterikatan ini muncul sebab gadai merupakan bagian dari akad dlaman dengan jaminan utang berupa harta. Syekh al-Khathib asy-Syirbini menjelaskan:


بابُ الضَّمانِ هُوَ لُغَةً: الْاِلْتِزَامُ. وشَرْعًا: يُقالُ لِالتِزامِ حَقٍّ ثابِتٍ فِي ذِمَّةِ الغَيْرِ، أوْ إحْضارِ مَن هُوَ عَلَيْهِ، أوْ عَيْنٍ مَضْمُونَةٍ


Artinya, "[Bab Dlaman], secara bahasa bermakna keterikatan. Secara syara’ didefinisikan sebagai keterikatan antara suatu hak dari pihak satu dengan kewajiban atas pihak lain secara otomatis, atau dengan kehadiran pihak yang bersinggungan dengannya, atau dengan barang yang dijaminkan.” (Al-Khatib asy-Syirbini, Hâsyiyyah asy-Syirbini, juz III, halaman 149).


Melalui ta’rif di atas, gadai masuk bagian dari ikatan antara utang dengan barang yang dijaminkan. Ikatan ini ditandai dengan kepastian bisanya barang jaminan (watsîqah) untuk dijual saat jatuh tempo pelunasan utang itu tiba, akan tetapi pihak yang berhutang masih belum bisa menunaikan kewajibannya, sebagaimana definisi sebelumnya.


Adapun masalah barang yang digadaikan (marhûn bih) masih bisa dikelola dan dimanfaatkan oleh pihak yang menggadaikan (râhin), maka hukumnya adalah boleh, sebab status barang gadai tersebut masih merupakan hak milik sah dari penggadai. 


Tentu saja dalam konteks ini pengelolaan terhadap barang gadai tidak boleh hingga menyebabkan rusaknya barang gadai. Sebab ini pula fuqaha juga mensyaratkan bahwa hendaknya pemanfaatan kembali barang gadai oleh penggadai adalah atas dasar ridha pihak pegadaian. 


والذي يركب ويشرب هو المالك للمنفعة وهو الراهن، فله الانتفاع وعليه النفقة. ولكن يشترط في ذلك: أن يكون الانتفاع بالعين المرهونة لا يُلحق بها ضررًا من نقص أو تلف. وأن لا يسافر الراهن بالعين المرهونة، لأن السفر مظنة الخطر، ولا ضرورة له. فإذا أذن المرتهن بما يُمنع منه الراهن جاز له ذلك


Artinya, "Orang yang berhak menaiki hewan dan meminum susu hewan yang digadaikan adalah pemilik manfaat, yaitu râhin (penggadai). Ia boleh mengambil manfaat dari barang yang digadaikan, dan wajib memberikan nafkah terhadap barang gadaian. Akan tetapi, pemanfaatan ini memiliki syarat, yaitu (a) jika pemanfaatan barang gadai tersebut tidak menyebabkan kerugian atas barang gadai, yaitu menyebabkan berkurangnya nilai atau timbulnya kerusakan, dan (b) tidak bepergian dengan menggunakan barang yang digadaikan, sebab membawanya bepergian merupakan tempat bagi timbulnya prasangka kekhawatiran, sementara di satu sisi membawanya bepergian tersebut tidak ada kedlaruratan yang memaksa. Namun apabila pihak pegadaian mengizinkan membawanya pada aktifitas yang sejatinya dilarang, maka hukumnya boleh bagi penggadai membawanya pergi.” (Al-Fiqhul Manhaji ‘alâ Madzhabil Imâmisy Syâfi’i, juz VII, halaman 127). 


Dalam perspektif mazhab Imam Hanafi, ‘illat kerelaan ini diambil dari turunan akad gadai itu sendiri, yaitu bahwa pada dasarnya akad gadai juga bisa disebut sebagai akad bai’u al-uhdah (jual beli yang disertai dengan janji akan ditebus lagi). Sementara itu muqtadla al-’aqdi (intisari tujuan) dari akad jual beli adalah terbitnya ‘an taradlin (saling rela) antara dua pihak yang berakad. 


Apabila terjadi kerusakan yang menyebabkan turunnya nilai barang gadai, maka dalam hal ini berarti telah terjadi tindakan yang melampaui batas sehingga menyebabkan kerugian terhadap pegadaian (murtahin). Karena itu, setiap kerugian yang terjadi atas pihak lain, mensyaratkan adanya ganti rugi (dlaman). 


Kembali soal gadai tanah yang dikelola kembali oleh pihak penggadai. Dalam hal ini, pihak penggadai merupakan pihak pemilik tanah dan bertindak selaku orang yang berutang. Dengan demikian, hukum asal dari pemanfaatan itu adalah boleh sebab barang gadai masih berstatus hak milik penggadai. 

Apabila dalam pengelolaan itu ada ketentuan yang disyaratkan oleh pegadaian berupa bagi hasil dari hasil pengelolaan, maka dalam konteks ini ada kemungkinan 2 pembacaan, yaitu:


Pertama, dilihat dari sisi akad gadai. Jika ditilik dari sisi akad gadai, maka pengelolaan barang gadai oleh penggadai (râhin) itu sendiri merupakan hukumnya sah dan boleh. Namun, ketika ada ketentuan lain berupa wajibnya menyerahkan bagi hasil yang disyaratkan oleh pegadaian (murtahin), maka hukum berubah menjadi tidak boleh (haram). Mengapa? Sebab, barang gadai merupakan  barang yang berkorelasi dengan akad utang. Syarat penyerahan bagi hasil ini menyerupai qardlu jarra naf’an (utang dengan menarik kemanfaatan) sehingga merupakan riba. Riba yang terjadi termasuk ribâ qardl. 


Kedua, dilihat dari sisi akad muzâra’ah. Akad muzâra’ah merupakan akad bagi hasil pertanian disebabkan adanya modal yang disampaikan oleh rabbul mâl (pemilik harta) kepada ‘âmil (petani penggarap). Syarat berlakunya akad ini adalah tanah yang dijadikan lahan untuk bercocok tanam merupakan milik dari rabbul mâl (pemilik modal). Jika bumi tersebut merupakan milik ‘amil (petani penggarap), maka pihak rabbul mâl wajib menyewanya terlebih dulu. Adapun nisbah bagi hasil bisa ditentukan berdasar kesepakatan. 

 

Jika akad ini yang diberlakukan, maka konsekuensi logisnya adalah apabila ada keterlambatan pengembalian utang (modal) dari pihak penggadai ke pegadaian, maka pihak pegadaian tidak boleh melelang tanah yang dijadikan jaminan dan bahkan seharusnya tidak boleh adanya jaminan. Apabila  pihak pegadaian masih melelang tanah yang dijadikan jaminan, maka itu berarti akadnya adalah masih akad gadai, sehingga bagi hasil yang diserahkan oleh pihak penggadai (râhin) ke pegadaian (murtahin) adalah termasuk bagian dari praktik ribâ qardl. Wallâhu a’lam bish shawâb. []

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar