Selasa, 19 Juli 2022

(Hikmah of the Day) Sepenggal Kisah tentang Integrasi Ilmu

Kufah merupakan kota yang banyak melahirkan ulama yang berkompeten dalam bidang keislaman, seperti al-Kisa’i dan asy-Syaibani. Keduanya lahir pada abad kedua dan hidup pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid.

 

Imam al-Kisa’i merupakan pakar gramatika Arab klan Kufah sekaligus sebagai salah satu imam qira’at sab’ah. Namanya sangat masyhur dan terkenal hingga mendunia setelah memenangkan debat terkait gramatika Arab dengan Imam Sibawaih.

 

Nama lengkpanya adalah Ali bin Hamzah bin Abdullah bin Utsman. Al-Kisa’i merupakan julukan yang disematkan kepadanya karena menggunakan pakaian kain ihram saat berada di kota Kisa’i. Beliau lahir pada tahun 119 H dan wafat pada tahun 189 H.

 

Sedangkan Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, merupakan murid kinasih Abu Hanifah dan salah satu guru Imam Syafi’i. Seorang yang pakar dalam bidang hukum Islam dan menjadi qadhi setelah Abu Yusuf pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid. Beliau lahir pada tahun 132 H di kota Wasith, tinggal di Baghdad dan wafat pada tahun 189 H.

 

Dari segi kompetensi dan keahlian, keduanya memang memiliki perbedaan, namun bukan berarti keduanya awam dalam persoalan ilmu yang lain. Imam al-Kisa’i sebagai pakar gramatika Arab dan adab juga mahir dalam bidang fiqih, bahkan mampu menjawab persoalan fiqih dengan ber-istisyhad (mengutip petunjuk) dengan gramatika Arab.

 

Bagaimana bila keduanya duduk bersama sambil berdiskusi tentang ilmu?

 

Suatu ketika, keduanya dipertemukan dalam sebuah diskusi yang sangat renyah dan mencerahkan bagi pecinta ilmu gramatika Arab dan fiqih. Dalam pembukaam diskusi, Imam al-Kisa’i menyampaikan sebuah ungkapan Arab yang sangat terkenal,

 

من تبحر في علم يهدي إلى جميع العلوم

 

Artinya: “Barang siapa yang mendalami suatu bidang ilmu, maka dia akan mampu mendalami seluruh bidang ilmu.”

 

Dalam riwayat yang lain dikatakan bahwa Imam asy-Syaibani menyampaikan: “Anda adalah seorang imam dalam bidang gramatika bahasa dan adab, apakah Anda bisa menjelaskannya dengan hukum fiqih? Al-Kisa’i menjawab: “Silakan tanyakan yang kamu mau!” (Abdul Wahid al Ruyani, Bahrul Mazhab fi Furu’ al-Mazhab al Syafi’i/ 167).

 

Imam asy-Syaibani menimpali dengan sebuah pertanyaan: “Apa pendapatmu tentang orang yang lupa sujud sahwi (sujud karena lupa meninggalkan satu sunnat dalam shalat), apakah harus sujud kembali?

 

Imam al-Kisa’i menjawab: “Tidak.”

 

“Kenapa?” Imam asy-Syaibani bertanya kembali.

 

(المُصَغَّرُ لَايُصَغَّرُ) sesuatu yang sudah dikecilkan tidak perlu dikecilkan lagi,” jawab al-Kisa’i.

 

Dalam gramatika Arab, terdapat sebuah kaidah yang disebut tashghir, yaitu kaidah yang mengubah sebuah bentuk kata dengan tujuan memberi makna kecil padanya. Contoh kata “naharun” yang berarti sungai diganti (ditashghir) menjadi “nuhairun” yang artinya sungai kecil. Pada prinsipnya, suatu kata yang sudah diminimalisasi maknanya, tidak boleh dikecilkan lagi. Pun demikian, sujud sahwi merupakan penyempurna atau pengganti dari sebagian pelaksanaan gerakan shalat yang tertinggal, dan sesuatu yang menjadi penyempurna atau pengganti tidak membutuhkan pengganti lagi. ان الجبران لايقضي الجبران".

 

Imam asy-Syaibani bertanya kembali: “Bagaimana pendapatmu tentang ta’liq thalaq/cerai dengan kepemilikan (menggantungkan thalaq/cerai dengan kepemilikan, misalnya ungkapan seorang suami kepada istri ‘Jika aku sudah menikahimu, maka aku akan menceraikanmu’, atau ‘Aku akan menceraikanmu jika memiliki mobil’)?”

 

“Tidak sah,” jawab al-Kisa’i.

 

“Kenapa?” tanya kembali asy-Syaibani.

 

(لأن السيل لايسبق المطر) “Karena banjir tidak mendahului hujan” jawab al-Kisa’i. (Muhammad Sulaiman, Min Akhlaq al-Ulama, h. 152).

 

Maksudnya adalah perceraian tidak terjadi/sah ketika seseorang berucap kepada calon atau istrinya bahwa perceraian tersebut digantungkan kepada suatu hal, sampai suatu hal tersebut terjadi. Seperti halnya banjir yang tidak akan terjadi tanpa diawali hujan lebat. (hukum sebab akibat)

 

Dalam mazhab Syafi’i dijelaskan bahwa kata cerai tidak terjadi/sah bila digantungkan kepada syarat tertentu yang masuk akal (al Syairazi, al Muhadzdzab fi fiqh al- Imam al Syafi’i/3/21). Pendapat para imam mazhab lain juga demikian, yaitu menggantungkan cerai kepada suatu hal, tidaklah terjadi/sah sampai suatu hal tersebut terjadi.

 

Seperti kisah Imam al-Kisa’i di atas, di Indonesia terdapat pula sebuah kisah terkait integrasi sebuah ilmu. Konon diceritakan bahwa Syaikhona Khalil bin Abdul Latif (w 1925 H), mahaguru ulama Jawa dan Madura, mampu menjawab persoalan fiqih dengan menggunakan salah satu kaidah yang ada dalam gramatika Arab. Beliau mampu ber-istisyhad menggunakan bait Nadham Alfiyah karya Ibn Malik.

 

Suatu ketika, Syaikhona Khalil ditanya seseorang tentang hukum menggunakan sendok dan garpu yang kala itu merupakan alat modern dan belum banyak digunakan oleh orang kampung.

 

Secara sepontan Syaikhona Khalil menjawabnya dengan sebuah bait Nadham Alfiyah:

 

وَفِي اخْتِيَارٍ لَايَجِيئُ الْمُنْفَصِلُ * إِذَا تَأَتَّى أَنْ يَجِيئَ الْمُتَّصِلُ

 

Artinya: “Selama masih bisa menggunakan dhamir muttashil, tidak perlu menggunakan dhamir munfashil.”

 

Dalam kaidah gramatika Arab, dhamir munfashil tidak perlu digunakan selama dhamir muttashil masih bisa digunakan. Dari penjabaran ini, dapat dipahami bahwa seseorang yang masih bisa menggunakan tangan secara langsung, maka sebaiknya tidak menggunakan sendok dan garpu. Sebab sendok dan garpu digunakan pada situasi tertentu yang tidak memungkinkan seseorang menggunakan tangannya secara langsung.

 

Dari cerita di atas, terbuktilah apa yang disampaikan oleh Imam al-Kisa’i bahwa seseorang yang memiliki dan mendalami suatu kompetensi keilmuan, dia akan mampu memahami ilmu-ilmu yang lain. Kendati demikian, bukan berarti ungkapan ini merupakan suatu keniscayaan atau bahkan doktrin sehingga menjadikan seseorang tidak mempelajari ilmu-ilmu yang lain. Maksud dari ungkapan tersebut adalah apabila seseorang mendalami suatu kompetensi keilmuan, maka ia akan terkoneksi dengan ilmu-ilmu yang lain. Setiap kompetensi keilmuan terintegrasi dengan ilmu yang lain, sebab semua ilmu, pada dasarnya bersumber dari Dzat Yang Maha Berilmu. []

 

Moh. Fathurrozi, pecinta ilmu qira’at dan pendiri “Al-Qur’an Khairu Jalis”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar