Senin, 02 Oktober 2017

Mahfud MD: Peternakan Doktor, Pembibitan Koruptor



Peternakan Doktor, Pembibitan Koruptor
Oleh: Moh Mahfud MD

UNTUK kesekian kalinya saya kaget membaca berita tentang pelanggaran norma dan etika akademik yang luar biasa di perguruan tinggi. Baru-baru ini diberitakan oleh media massa tentang adanya pendidikan doktor super cepat dan instan sehingga banyak yang menyebutnya “peternakan doktor” di perguruan tinggi di Indonesia.

Terjadinya bukan hanya di perguruan tinggi papan nama yang ecek-ecek, melainkan di perguruan tinggi negeri. Bayangkan, ada seorang guru besar di perguruan tinggi bisa membimbing dan melahirkan doktor sampai sebanyak 65 bahkan 118 doktor dalam setahun.

Rasanya itu memang bukan pendidikan doktor, melainkan peternakan doktor. Itu diyakini bukan hanya melanggar norma akademik yang mengharuskan prosedur pembimbingan dan penelitian tertentu, tetapi juga melanggar etika akademik yang menuntut integritas keilmuan baik bagi sang profesor maupun bagi sang doktor yang dicetaknya. Kita tidak bisa membayangkan, bagaimana cara sang profesor membimbing para calon doktor itu.

Sehebat apa pun seorang profesor, sulit dipercaya bisa melahirkan doktor sebanyak itu. Sehebat apa pun seorang calon doktor sulit pula dipercaya dapat lulus pendidikan doktor dalam dua tahun, apalagi hanya berbilang bulan atau minggu. Apalagi yang bersangkutan mengambil doktor hanya sambilan, bukan konsentrasi kuliah atau penelitian untuk disertasinya, karena yang bersangkutan menjadi pejabat di lembaga negara dan pemerintahan.

Pendidikan doktor tidak boleh dilakukan secara main-main. Sebagai gambaran, ketika saya mulai menempuh pendidikan doktor di Universitas Gadjah Mada (1990-1993), persetujuan judul usulan penelitiannya saja perlu berdiskusi dengan pembimbing sampai berminggu-minggu.

Setiap bertemu pembimbing, diberi buku-buku tertentu untuk dibaca dulu dan harus menghadap untuk menjelaskan isinya, padahal pembimbingnya minimal dua profesor. Setelah judul dan rancangan penelitian disetujui oleh promotor, sebelum resmi dilakukan penelitian, harus diuji dulu kelayakannya untuk menjadi kandidat doktor (candidacy) oleh sembilan orang dewan penguji untuk dinilai tujuan dan parameter akademiknya.

Kalau bisa lulus dari sana barulah diberi waktu meneliti di bawah bimbingan yang ketat yang biasanya untuk ilmu-ilmu sosial berlangsung selama sekitar dua tahun. Setelah meneliti dan sudah disusun dalam bentuk draf disertasi, para pembimbing mendalami dan membongkar atau menambah di sana sini.

Jika pembimbing sudah setuju, ditunjuklah sebuah Komisi Penilai Kelayakan Disertasi. Komisi Penilai pun melakukan koreksi-koreksi dan perbaikan. Jika Komisi Penilai menganggap layak sebagai draf disertasi barulah disidangkan di Ujian Tertutup yang pengujinya terdiri dari banyak profesor dan atau doktor.

Sering juga sebuah ujian tertutup tidak langsung lulus tetapi harus merevisi dulu dan ujian lagi. Jika ujian tertutup sudah lulus, barulah dipromosikan (menjadi promovendus) untuk dikukuhkan sebagai doktor. Bayangkan, betapa ketat prosedur dan betapa banyak energi yang harus dikuras untuk menjadi doktor.

Belakangan ini ada sinyalemen kuat, orang lulus doktor secara instan melalui pelanggaran atas norma dan etika akademik. Ada pembimbing yang mengutip uang ekstra (layaknya kemenyan) dari mahasiswa bimbingannya, ada yang membuatkan proposal disertasi mahasiswa bimbingannya sekaligus menuntun kelulusannya.

Banyak pejabat yang dibuatkan disertasi oleh kawan atau stafnya, hanya dari pidato-pidato formalnya yang kemudian disalami orang dan dipuji sebagai pidato yang bagus. Atas pujian itu kemudian sang pejabat menyuruh kawan atau stafnya untuk menulis disertasi doktor atas namanya.

Profesor yang takjub pada jabatan orang, bisa mengkeret dan membantu meluluskan pejabat yang memintanya untuk membimbing dan meluluskannya. Terjadilah pelanggaran norma dan etika akademik itu sekaligus. Sebenarnya di lingkungan Kemenristek Dikti sudah ada Peraturan Menteri Nomor 44 Tahun 2015 yang, antara lain, menentukan bahwa beban seorang promotor maksimun membimbing 10 mahasiswa untuk semua jenjang dalam waktu yang bersamaan.

Tetapi Peraturan Menteri tersebut banyak dilanggar dengan alasan yang sok mulia: membantu negara mempercepat banyaknya jumlah doktor. Gila. Pendidikan doktor abal-abal yang lebih mengesankan “peternakan doktor” yang seperti itu sebenarnya sudah berlangsung sejak akhir 1980-an.

Ditjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada pertengahan 1990-an pernah melaporkannya kepada polisi. Tetapi selalu macet dan tak berlanjut. Pada era Presiden Jokowi, Menpan-RB Yuddy Chrisnandi dan Menristek Dikti M Nasir, pernah marah besar atas banyaknya ijazah yang tidak wajar di kalangan PNS dan penyelenggaraan pendidikan tinggi secara melanggar peraturan. Keduanya mengancam akan menelisik dan menjatuhkan sanksi.

Tetapi sampai sekarang tak ada tindak lanjutnya selain yang sumir-sumir. Kalau di kalangan akademisi ramai adanya bisik-bisik, pemerintah selalu gagal menindak pembuat dan pemilik ijazah haram itu karena banyak orang kuat yang memiliki dan memakainya. Haruslah ada tindakan: cabut gelar-gelar doktor yang tidak wajar itu.

Mungkin itu akan menimbulkan perlawanan, misalnya, digugat ke pengadilan. Tetapi itu harus dilayani untuk kebaikan masa depan pendidikan kita. Negara ini sudah dikepung oleh korupsi, masak dunia pendidikan tinggi kalah juga oleh kepungan korupsi tersebut? []

SINDONEWS, 30 September 2017
Moh Mahfud MD | Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK (2008-2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar