Mondialisasi Islam Moderat
Oleh: Zuhairi Misrawi
Imam Besar Al-Azhar, Mesir, Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Thayyeb,
bersama para ulama dari berbagai dunia Islam, melakukan kunjungan ke Tanah Air
membawa pesan pentingnya Islam Moderat digemakan secara mondial.
Ia memandang Indonesia sebagai negara yang punya latar sejarah dan
masyarakat yang berpegang teguh pada moderasi Islam. Dalam beberapa tahun
terakhir, di tengah ancaman ekstremisme global, dunia internasional mulai
melirik Indonesia sebagai tanah harapan tumbuhnya paham keislaman yang moderat.
Menurut Thayyeb, ”Umat Islam di Indonesia mampu menggali khazanah Islam yang
hanif, termasuk di dalamnya nilai-nilai yang bersifat legalitas-formal dan
etika sosial. Islam menjadi sumber keadilan, egalitarianisme, dan
inklusivisme.”
Ahmad Muslimani (2015), pemikir asal Mesir, dalam Jihad dhidd
al-Jihad memuji Indonesia sebagai contoh terbaik persemaian moderasi Islam di
dunia. Di samping mempunyai para pemikir Muslim yang brilian, negeri ini
beruntung mempunyai Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang selama ini
menjadi lokomotif Islam Moderat.
Muslimani menambahkan, pemikiran Muhammad Abduh tumbuh subur di
Tanah Air, di samping pemikiran-pemikiran progresif lain. Pengaruh pemikiran
progresif Mesir dalam lanskap keberislaman di Tanah Air bukanlah mengada-ada.
Ada ribuan alumnus Universitas Al-Azhar yang saat ini berkiprah di Tanah Air.
KH Abdurrahman Wahid, KH Mustafa Bisri, Quraish Shihab, Alwi Shihab, Tuan Guru
Zainul Majdi, Abdul Ghoful Maemun, dan lain-lain. Mereka menjadi duta-duta
moderasi Islam yang sudah berabad-abad dikembangkan oleh Al-Azhar di Mesir.
Tidak bisa dimungkiri ada benang merah antara moderasi Islam ala
Al-Azhar, Mesir, dan langgam moderasi Islam yang berkembang di Tanah Air, baik
melalui NU-Muhammadiyah maupun pemikiran-pemikiran yang dikembangkan para ulama
dan kaum cendekiawan.
Namun, Islam Moderat dalam beberapa dekade mutakhir sedang
menghadapi tantangan cukup serius. Pertama, tantangan eksternal. Masalah
Palestina masih menjadi batu sandungan yang cukup serius dalam membangun
moderasi Islam. Hampir semua gerakan ekstremis menjadikan Palestina isu utama
untuk membangkitkan ideologi kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Di samping
itu, peta geopolitik di Timur Tengah yang menyebabkan negara-negara adidaya
kerap berkoalisi dengan rezim-rezim yang melindungi kelompok ekstremis juga
menjadi tantangan serius. Akibatnya, kelompok ekstremis mampu memperluas
cengkeraman kekuasaannya, seperti Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ISIS).
Kedua, tantangan internal. Absennya nilai-nilai demokrasi dan
rapuhnya HAM telah menyebabkan instabilitas politik di dunia Islam. Agama kerap
dihadirkan dalam wajahnya yang seram dan menakutkan. Jangankan relasi dengan
agama lain, relasi di antara sesama agama saja penuh kebencian, bahkan
menghalalkan kekerasan dan pembunuhan. Imam Besar Syekh Thayyeb menggarisbawahi
fenomena takfir, yaitu sikap saling mengafirkan antarkelompok. Yang paling
mencuat ke permukaan di Timur Tengah saat ini adalah saling mengafirkan antara
Sunni dan Syiah. Menurut Thayyeb, fenomena ini tidak bisa dibiarkan karena sama
sekali tidak menguntungkan umat Islam.
Sunni dan Syiah merupakan dua sayap dalam Islam. Tak boleh salah
satu di antara mereka saling menegasikan satu dengan yang lain. Keduanya harus
bersatu-padu untuk menggaungkan misi perdamaian dan keramahtamahan dalam Islam.
Sangat disayangkan, ketika di dalam masjid, ayat Al Quran yang dikutip perihal
pentingnya memperkuat persaudaraan dan toleransi. Namun, ketika keluar dari
masjid, justru yang disebarluaskan seruan pada kebencian dan kekerasan.
Realitas ini sangat memilukan.
Indonesia perlu proaktif
Karena itu, Al-Azhar sebagai benteng Islam Moderat bersama para
ulama dari dunia Islam, khususnya dari Indonesia yang diwakili Quraish Shihab
melalui Dewan Muslim Bijak(Majlis Hukama al-Muslimin) memandang perlu untuk
menggemakan kembali Islam Moderat. Indonesia merupakan negara dengan mayoritas
penduduk beragama Islam, dan sejarah sudah membuktikan bahwa ekspresi
keberagamaannya sangat toleran dan ramah. Indonesia diharapkan dapat lebih
proaktif dalam menyuarakan Islam rahmatan lil ’alamin ke seantero dunia.
Menurut Syekh Thayyeb, ada dua hal penting yang harus
dikumandangkan terkait doktrin Islam rahmatan lil ’alamin. Pertama, umat Islam
harus memahami dengan saksama bahwa kasih sayang (rahmah) tujuan utama dari
Islam. Dalam Al Quran terdapat setidaknya 315 kata yang menegaskan pentingnya
kasih sayang. Dalam sebuah hadis Nabi Muhammad SAW disebut sebagai ”Nabi Kasih
Sayang”.
Kedua, umat Islam harus memahami bahwa kasih sayang diamalkan
bukan hanya untuk sesama umat Islam, melainkan semua penghuni alam semesta. Bahkan,
tak hanya kepada sesama manusia apa pun agama dan keyakinannya, tetapi juga
hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda mati. Paradigma Islam Moderat dibangun di
atas prinsip kasih sayang. Paradigma itu harus mengakar kuat dalam tubuh umat
Islam dalam rangka menggeser paradigma kekerasan dan kebencian yang mulai subur
dikampanyekan kaum ekstremis. Salah satu cara paling efektif adalah menjadikan
lembaga pendidikan dan forum keagamaan sebagai kanal untuk menyebarluaskan
paham Islam Moderat.
Maka dari itu, langkah yang diinisiasi Al-Azhar sangat tepat.
Al-Azhar mesti menggandeng dunia Islam yang seluas-luasnya untuk melakukan
mondialisasi Islam Moderat. Gerakan untuk menyebarluaskan paham kasih sayang
harus melibatkan para ulama dan organisasi sosial-kemasyarakatan yang terbukti
mempunyai basis massa yang mengakar kuat.
Hal ini harus dilakukan sesegera dan semasif mungkin untuk
membendung arus mondialisasi radikalisme dan ekstremisme yang kerap menggunakan
jubah agama. Mesti disadari dan diwaspadai bahwa kelompok-kelompok ekstremis
sangat aktif merekrut anak-anak muda dan mereka yang punya pemahaman awam
tentang Islam. Salah satu langkah yang harus dilakukan para ulama adalah
menyebarluaskan paham Islam Moderat melalui media sosial. Kaum ekstremis selama
ini telah berhasil menggunakan media sosial sebagai ajang menawarkan gagasan
mereka sekaligus mendelegitimasi para ulama yang punya pandangan moderat.
NU dan Muhammadiyah sejatinya dapat berperan lebih aktif lagi
untuk mendukung langkah yang diambil Al-Azhar agar Islam Moderat dijadikan
sebagai paham yang mendunia. Saatnya kedua ormas yang sudah terbukti memperkuat
sendi-sendi kebangsaan dan kemanusiaan di negeri ini dapat menginspirasi dunia
agar ekspresi keagamaan dapat mendorong hidup saling menghormati dan menghormati
serta dapat menerima perbedaan dan keragaman.
Saat ini, kita hidup dalam pertarungan untuk menjadikan agama
sebagai sumber kasih sayang atau justru sebaliknya menjadikan agama sumber
kekerasan. Pertarungan ini perlu pemikiran dan kerja nyata. Kita sebagai sebuah
negara-bangsa relatif berhasil menebarkan paham Islam Moderat. Namun, butuh
kerja keras lagi untuk membendung arus ekstremisme yang mengatasnamakan agama
sembari melakukan mondialisasi paham Islam Moderat ke seantero dunia. []
KOMPAS, 4 Maret 2016
Zuhairi Misrawi | Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir;
Ketua Moderate Muslim Society
Tidak ada komentar:
Posting Komentar