Kebebasan Beragama; Asia Pasifik (2)
Oleh: Azyumardi Azra
Kebebasan beragama di Asia Pasifik jelas masih merupakan agenda
yang belum selesai dan karena itu mesti terus diperjuangkan. Pelanggaran
terhadap kebebasan beragama dan persekusi terhadap umat beragama juga masih
terjadi di berbagai negara Asia Pasifik.
Asia Pacific Religious Freedom Forum (APRFF) pertama yang
diselenggarakan di Taoyuan, Taiwan, pada 18-21 Februari 2016 berusaha
menggalang jaringan untuk memperjuangkan dan meningkatkan kebebasan beragama
secara global.
Berbicara dalam diskusi panel APRFF, penulis Resonansi ini
berpendapat, pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan
disebabkan beberapa faktor penting yang terkait satu sama lain. Pertama, adanya
sistem politik dan kekuasaan yang tidak membenarkan kebebasan beragama atas
dasar ideologi negara yang tidak kompatibel dengan agama; atau alasan semangat
“kesatuan bangsa”; atau “pembangunan nasional”.
Tetapi, ada juga sistem politik dan kekuasaan yang memberikan
kebebasan beragama dan berkeyakinan kepada para warga. Bahkan, kebebasan itu
dijamin dalam konstitusi dan perundangan lain.
Namun, pemerintah yang berkuasa dan lembaga penegak hukum tidak
memiliki kemampuan menegakkan kebebasan beragama yang dijamin UU. Akibatnya,
berbagai kelompok intoleran yang melakukan kekerasan terhadap komunitas umat
beragama lain terus dapat melakukan aksinya.
Karena itulah promosi kebebasan beragama memerlukan konsolidasi
demokrasi dan sekaligus penguatan penegakan hukum secara adil, tegas, dan
konsisten. Jika demokrasi dan penegakan hukum masih memble, selama itu pula
negara dan rezim berkuasa gagal menjamin dan menegakkan kebebasan beragama.
Pelanggaran terhadap kebebasan beragama juga terkait banyak dengan
kondisi ekonomi. Semakin lebar jurang antara mereka yang kaya dan mereka yang
miskin, kian besar pula kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dan manipulasi
agama, terutama untuk kepentingan politik dan ekonomi. Keadaan seperti ini
dapat berujung pada peningkatan intoleransi di antara berbagai segmen
masyarakat yang sering tumpang tindih dengan komunitas keagamaan.
Dalam konteks itu, penciptaan kemakmuran dan keadilan ekonomi dan
kesempatan berusaha yang sama menjadi faktor penting bagi penumbuhan sikap
toleransi dalam beragama. Dengan keadilan ekonomi, kehidupan sosial yang lebih
harmonis dapat tercipta; berbagai kesenjangan budaya dan pendidikan di antara
segmen-segmen masyarakat juga sekaligus dapat diatasi atau setidaknya
dikurangi. Tak kurang pentingnya, dengan keadilan ekonomi, kecemburuan sosial
dapat dicegah agar tidak meledak menjadi kekerasan yang bisa menjadi masif.
Pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan juga bisa
bersumber dari sektarianisme agama bernyala-nyala; kian tinggi sektarianisme
intra dan antaragama, semakin besar pula kemungkinan terjadinya pelanggaran
terhadap kebebasan beragama.
Adanya sektarianisme keagamaan memang sulit dihindari karena
seluruh agama mengandung mazhab, aliran, denominasi berbeda; sektarianisme itu
semestinya tidak berkembang menjadi intoleransi satu sama lain.
Karena itulah sektarianisme keagamaan hendaknya tetap terkontrol
dengan penguatan sikap saling menghargai dan menghormati yang menghasilkan moderasi
dan inklusi. Dalam kaitan ini, dialog intra dan antar agama menjadi kebutuhan
yang sangat urgen.
Selaras dengan pandangan penulis Resonansi ini, “Deklarasi Taiwan”
yang dikeluarkan seusai APRFF antara lain menyatakan, “Kemajuan kebebasan
beragama dan keyakinan memiliki korelasi langsung dengan pemajuan demokrasi,
HAM, kemakmuran ekonomi dan masyarakat madani yang bergairah.”
Sebaliknya, pembatasan kebebasan beragama dan persekusi terhadap
umat beragama secara langsung berkontribusi pada migrasi secara terpaksa.
Akibatnya, terjadilah peningkatan jumlah pengungsi yang menyelamatkan diri dari
persekusi yang dilakukan atau dibiarkan pemerintah. Keadaan ini akhirnya
menimbulkan krisis di kawasan Asia Pasifik, seperti di Asia Barat (Timur
Tengah), Myanmar, atau Afghanistan.
Karena itu, seluruh pemangku kepentingan perlu merespons krisis
migrasi dan pengungsi dengan menyediakan tempat perlindungan yang aman dan
memberikan pelayanan kemanusiaan kepada individu dan komunitas yang mengalami
berbagai restriksi dalam kehidupan keagamaan mereka. Pada saat yang sama, perlu
peningkatan kemanfaatan ekonomi bagi setiap dan seluruh mereka yang tersisih.
Akhirnya, untuk promosi kebebasan beragama, Deklarasi Taiwan juga
menyatakan tentang pentingnya pendalaman dan penguatan lembaga-lembaga politik,
budaya, dan pendidikan. Pada saat yang sama, perlu pula penguatan dan
pemberdayaan dialog yang diabdikan untuk pengembangan toleransi beragama. []
REPUBLIKA, 03 Maret 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar