Tuan Guru dengan Masa Depan yang Panjang
Oleh:
Dahlan Iskan
Inilah
gubernur yang berani mengkritik pers. Secara terbuka. Di puncak acara Hari Pers
Nasional (HPN) pula. Di depan hampir semua tokoh pers se-Indonesia. Pun, di
depan Presiden Jokowi segala. Di Lombok. Tanggal 9 Februari lalu.
Inilah gubernur yang kalau mengkritik tidak
membuat sasarannya terluka. Bahkan tertawa-tawa. Saking mengenanya.
Dan lucunya. ”Yang akan saya ceritakan ini
tidak terjadi di Indonesia,” kata sang gubernur. ”Ini di Mesir.”
Sang gubernur memang pernah bertahun-tahun
bersekolah di Mesir. Di universitas paling hebat di sana: Al Azhar. Bukan hanya
paling hebat, tapi juga salah satu yang tertua di dunia.
Dari Al Azhar pula, sang gubernur meraih gelar
doktor. Untuk ilmu yang sangat sulit: tafsir Alquran. Inilah satu-satunya kepala
pemerintahan di Indonesia yang hafal Alquran. Dengan artinya, dengan maknanya,
dan dengan tafsirnya.
Mesir memang mirip dengan Indonesia. Di bidang
politik. Dan persnya. Pernah lama diperintah secara otoriter. Lalu, terjadi
reformasi. Bedanya: Demokrasi di Indonesia mengarah ke berhasil. Di Mesir masih
sulit ditafsirkan.
”Di zaman otoriter dulu,” ujar sang gubernur di
depan peserta puncak peringatan Hari Pers Nasional itu, ”tidak ada orang yang
percaya berita koran.” Gubernur sepertinya ingin mengingatkan berita koran di
Indonesia pada zaman Presiden Soeharto. Sama. Tidak bisa dipercaya. Semua
berita harus sesuai dengan kehendak penguasa.
”Satu-satunya berita yang masih bisa dipercaya
hanyalah berita yang dimuat di halaman 10,” ujar sang gubernur.
Di halaman 10 itulah, kata dia, dimuat iklan
dukacita. Gerrrrrrr. Semua hadirin tertawa. Termasuk Presiden Jokowi. Tepuk
tangan pun membahana.
Bagaimana setelah reformasi, ketika pers
menjadi terlalu bebas? ”Masyarakat Mesir malah lebih tidak percaya,” katanya.
”Semua berita memihak,” tambahnya. ”Halaman 10 pun tidak lagi dipercaya,”
guraunya.
Meski hadirin terbahak lebih lebar, sang
gubernur masih perlu klarifikasi. ”Ini bukan di Indonesia lho, ini di Mesir,”
katanya. Hadirin pun kian terpingkal. Semua mafhum. Ini bukan di Mesir. Ini di
Indonesia. Juga.
Saya mengenal banyak gubernur yang amat santun.
Semua gubernur di Papua termasuk yang sangat santun. Yang dulu maupun sekarang.
Tapi, gubernur yang baru mengkritik pers itu luar biasa santun. Itulah gubernur
Nusa Tenggara Barat: Tuan Guru Dr KH Zainul Majdi. Lebih akrab disebut Tuan
Guru Bajang.
Gelar Tuan Guru di depan namanya mencerminkan
bahwa dirinya bukan orang biasa. Dia ulama besar. Tokoh agama paling terhormat
di Lombok. Sejak dari kakeknya. Sang kakek punya nama selangit. Termasuk langit
Arab: Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid.
Di Makkah, sang kakek dihormati sebagai ulama
besar. Buku-bukunya terbit dalam bahasa Arab. Banyak sekali. Di Mesir. Juga di
Lebanon. Jadi pegangan bagi orang yang belajar agama di Makkah.
Sang kakek adalah pendiri organisasi keagamaan
terbesar di Lombok: Nahdlatul Wathan (NW). Setengah penduduk Lombok adalah
warga NW.
Di Lombok, tidak ada NU. NU-nya ya NW ini. Kini
sang cuculah yang menjadi pimpinan puncak NW. Dengan ribuan madrasah di
bawahnya.
Maka, pada zaman demokrasi ini, dengan mudah
Tuan Guru Bajang terpilih menjadi anggota DPR. Semula dari Partai Bulan
Bintang. Lalu dari Partai Demokrat. Dengan mudah pula dia terpilih menjadi
gubernur NTB. Dan terpilih lagi. Untuk periode kedua sekarang ini.
Selama karirnya itu, Tuan Guru Bajang memiliki
track record yang komplet. Ulama sekaligus umara. Ahli agama, intelektual,
legislator, birokrat, dan sosok santun. Tutur bahasanya terstruktur. Pidatonya
selalu berisi. Jalan pikirannya runtut.
Kelebihan lain: masih muda, 43 tahun. Ganteng.
Berkulit jernih. Wajah berseri. Murah senyum. Masa depannya masih panjang.
Pemahamannya pada rakyat bawah nyaris sempurna.
”Bapak Presiden,” katanya di forum tersebut, ”saya
mendengar pemerintah melalui Bulog akan membeli jagung impor 300.000 ton dengan
harga Rp 3.000 per kg.”
Lalu, ini inti pemikirannya: Kalau saja
pemerintah mau membeli jagung hasil petani NTB dengan harga Rp 3.000 per kg,
alangkah sejahtera petani NTB. Selama ini, harga jagung petani di pusat
produksi jagung Dompu, Sumbawa, NTB, hanya Rp 2.000 sampai Rp 2.500 per kg.
Sang gubernur kelihatannya menguasai ilmu
mantiq. Pelajaran penting waktu saya bersekolah di madrasah dulu. Pemahamannya
akan pentingnya pariwisata juga tidak kalah.
”Lombok ini memiliki apa yang dimiliki Bali,
tapi Bali tidak memiliki apa yang dimiliki Lombok,” moto barunya. Memang segala
adat Bali dipraktikkan oleh masyarakat Hindu yang tinggal di Lombok Barat.
Demikian juga pemahamannya tentang vitalnya
infrastruktur. Dia membangun by pass di Lombok. Juga di Sumbawa.
Dia rencanakan pula by pass baru jalur selatan.
Kini sang gubernur lagi merancang berdirinya kota baru. Kota internasional. Di
Lombok Utara.
Sebagai gubernur, Tuan Guru Bajang sangat
mampu. Dan modern. Sebagai ulama, Tuan Guru Bajang sulit diungguli. Inikah
sejarah baru? Lahirnya ulama dengan pemahaman Indonesia yang seutuhnya? (*)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar